-->

Ikhtilaf Hadist

Sudut Hukum | Ikhtilaf Hadist

    Oleh : Muhammad Kamal S.Th

Hadis Nabi Muhammad yang sampai pada kita hari ini banyak jumlahnya. Tidak semuanya hadis Nabi itu dapat kita terima secara mutlak. Hal ini disebabkan hadis Nabi tersebut masih terbagi ke dalam berbagai bentuk hadis; seperti hadits mutawatir, sahih, hasan dan dhaif serta maudhu’. Untuk sebagai hujjah, hanya hadits mutawatir, sahih, dan hasan yang bisa dipedomani.

Para sabat pada umumnya mulai mengambil bahkan mengamalkan hadis secara langsung dengan melihat atau mendengar hadis. Antara satu hadis dengan hadis yang lain  muncul perbedaan dari segi teksnya dan ini dapat menimbulkan kecurigaan yang menganggap bahwa hadis tersebut tidak shahih. Dari sebab inilah perlu untuk membahas perbedaan hadis atau ikhtilaf hadis, tujuannya adalah untuk memecahkan suatu masalah yaitu bertentangannya dua hadis dari segi matan sedangkan dari segi sanadnya berkualitas Shahih.
M.Kamal S.Th

            Suatu prinsip yang ditekankan As-Syafi’i dalam menghadapi hadis-hadis mukhtalif, terkandung dalam pernyataan sebagai berikut:
Yang artinya: “Jangan sekali-kali mempertentangkan hadis-hadis Rasulullah saw. satu dengan yang lainnya selama mungkin ditemukan jalan (untuk dikompromikan) agar hadis-hadis tersebut dapat sama-ama diamalkan. Jangan telantarkan yang satu lantaran yang lain karena kita punya kewajiban.”

Adanya hadis-hadis mukhtalif (bertentangan) menyangkut suatu masalah tertentu, secara praktis, hal ini dapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil kepastian ajaran (ketentuan hukum) yang mengatur masalah tersebut, yang manakah diantaranya yang harus diikuti dan diamalkan. Supaya kita tidak terjebak di dalam memahami hadits yang kelihatannya bertentangan, maka kita perlu membahas suatu kajian hadis yaitu hadis mukhtalif dan penyelesaiannya.


               Pengertian Ikhtilaf Hadis
Nabi Muhammad saw adalah sumber ilmu bagi para sahabat. Beliau sering diminta petunjuknya dalam kehidupan sehari-hari oleh sahabat. Hal ini berlangsung dalam kehidupan nabi. Segala persoalan sahabat beliau berikan penyelesaian secara tuntas. Nasehat yang diberikan kepada seseorang kadangkala belum dipahami secara penuh oleh sahabat. Di samping itu juga sahabat mengamati perbuatan Rasul dalam kehidupan sehari-hari. Sebagian sahabat melihat perbuatan Rasul dalam kaitannya dengan sebuah ibadah sekilas bertentangan dengan hadis yang disampaikannya dengan lisan. Sehingga pemahaman yang tidak secara komprehensif ini menjadikan dua buah hadis dalam tema yang sama seolah bertentangan.

Kata-kata mukhtalif ada terdapat dalam ilmu hadis baik sanad maupun matan, didalam ilmu kesanadan hadis, mukhtalif dipakai  sebagi mu’talif danmukhtalit yang dimaksud adalah suatu hadis yang di dalam sanadnya ada rawi yang namanya pada tulisan bersamaan dengan rawi lain sedang ucapannya tidak sama.[1] Secara bahasa mukhtalif (مختلف ) adalah bentuk isim fa’il (sabjek) dari kata اختلافا yakni bentuk mashdar dari kata اختلف. Keberadaan ilmu mukhtalif hadis jelas sangat membantu mengatasi kesulitan ini. Selanjutnya ilmu ini tidak hanya dibutuhkan oleh ulama hadis, tetapi juga ulama lain, seperti ulama fiqh.
Sedangkan ikhtilaf yang dimaksud dalam makalah ini adalah perselisihan atau pertentangan. Ikhtilaf berasal dari bahasa Arab yang berarti ketidaksamaan, ketidak serasian, atau ketidakcocokan. Ketika ikhtilaf  diletakkan sebagai subjek  dapat diartikan “tidak sama, yang tidak serasi, yang tidak cocok”. Apabila kata ikhtilaf  dipadukan dengan hadits, maka ia menjadi “ikhtilaf hadits,” yang berarti hadits-hadits yang satu sama lain mengandung ketidaksamaan, ketidakserasian, atau ketidak cocokan.[2] Adalah isim fa’il dari kata “al-ikhtilaf” lawan kata “al-ittifaq”. Sedang makna mukhtaliful hadis adalah hadis-hadis yang bertentangan lagi berbeda, maka jumlahnya sedikit sekali dibandingkan jumlah hadis yang tidak bertentangan.

 Pemikiran ini muncul karena para ulama menemukan realita, bahwa secara harfiyah, hadis itu bertentangan. Menurut para ulama, kalau dapat kandungan hadis yang secara lahiriyah bertentangan itu disatukan disebut al-jamu wa al-taufiq. Kalau tidak dapat, dicari kemungkinannya, yang satu menjadi qaid atau menjadi mukhasshis bagi yang lain. Dengan cara ini maka kedua hadis dapat dimanfaatkan secara proposional. Atau juga, yang satu menjadi nasikh bagi yang lainnya. Karena itu ada yang menyebut ilmu ini dengan nama ikhtilaf  hadismusykil hadista’wil hadis atau talfiq hadis.

Sedangkan menurut istilah ilmu Mukhtalif al-Hadits ialah ilmu yang membahas hadits-hadits, yang menurut lahirnya bertentangan atau berlawanan, kemudian pertentangan tersebut dihilangkan atau dilkompromikan antara keduanya, sebagaimana membahas hadits-hadits yang sulit dipahami kandungannya, dengan menghilangkan kesulitannya serta menjelaskan hakikatnya. (Al-Hafidz Ibnu Katsir, al- Basis al-Hadits; Syarah Ikhtisar ‘Ulum Al-Hadits).[3]

al-Nawawi (w. 676 H), mendifinisikan Ikhtilaf Hadis adalah:

أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما او يرجح أحدهما

“Dua hadis yang secara lahiriah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromikan atau dikuatkan salah satunya.”[4]

Dr. Mahmud al-Thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa mukhtalif hadis adalah:

هُوَ الْحَدِيْثُ الْمَقْبُوْلُ الْمُعَارِضُ بِمِثْلِهِ مَعَ أِمْكَانٍ الْجَمْعِ بَيْنَهُمَا.
Hadis makbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.[5]

Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib mendefiniskan Ilmu Mukhtalîf al-Hadîs waMusyakilihi sebagai:                                                                                                      
 الْعِلْمُ الَّذِيْ يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ ظَاهِرُهَا مُتَعَارِضٌ فَيُزِيْلُ تَعَارُضَهَا أَوْ يُوَفِّقُ بَيْنَهَا كَمَا يَبْحَثُ فِى اْلأَحَادِيْثِ الَّتِيْ يَشْكُلُ فَهْمُهَا أَوْ تَصَوُّرُهَا فَيَدْفَعُ أَشْكَالَهَا وَيُوَضِّحُ حَقِيْقَتَهَا
 Artinya: Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu menghilangkan pertentangan itu, atau mengompromikannya, di samping membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan kesulitan itu dan menjelaskan hakikatnya.[6] 

Menurut Nuruddin ‘Itr, hadits-hadits mukhtalif  ialah hadits-hadits yang secara lahiriah bertentangan dengan kaedah-kaedah yang baku, sehingga mengesankan makna yang batil atau bertentangan dengan nash-nash syara’ yang lain.[7]Jadi ilmu ini berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadits yang bertentangan maknanya. Ilmu ini sangat dibutuhkan oleh ulama’ hadits, ulama’ fiqh, dan lain-lain.[8]

Adalah hadis maqbul yang bertentangan dengan hadis lain yang semisalnya disertai dengan adanya kemungkinan untuk menggabungkan antara keduanya. Yakni hadis shahih atau hadis hasan yang kemudian datang hadis lain yang semisalnya baik dalam tingkatan dan kekuatannya dimana secara dlahir hadis tersebut menentangnya, yang mungkin bagi yang berilmu lagi punya pemahaman kritis akan dapat menggabungkan adalah keduanya dalam bentuk yang dapat diterima.

Perlu diingat bahwa hadis-hadis yang dianggap bertentangan itu adalah hadis yang secara sanad dan matan shahih. Maka dari itu, hadis yang benar-benar lemah sanadnya tidak perlu dikompromikan dengan hadis yang jelas shahih. Hadis yang tampak mukhtalif tidak hanya terjadi antara hadis dengan hadis, bisa juga bertentangan dengan al-Qur’an, rasio, maupun ilmu pengetahuan dan sains modern. Akan tetapi, pertentangan hadis dengan itu semua bisa jadi hanya pada penginterpretasian atau pemahaman hadis tersebut.

Dapat disumpulkan bahwa syarat-syarat terjadinya hadis mukhtalif adalah:
  1. Hadis lebih dari satu.
  2. Sama-sama hadis maqbul.
  3. Konteks hadis dalam persoalan yang sama.
  4. Hadis-hadis tersebut secara lahiriah bertentangan.
  5. Dapat dikompromikan sehingga keduanya dapat diamalkan.

sasaran ilmu ini mengarah pada hadits-hadits yang saling berlawanan untuk dikompromikan kandungannya dengan jalan membatasi (taqyid) kemutlakannya dan seterusnya. Atau yang dalam kitab Manhal al-Lathif biasa disebut al-ahadits allati mutadhadan fi al-ma’na bi hasabi azh-zhahiry. Ilmu ini tidak akan muncul kecuali dari orang yang menguasai hadits dan fiqih. Disebutkan bahwa Imam asy-Syafi`i (w. 204 H) adalah ulama yang memelopori munculnya disiplin ilmu mukhtalif al-hadits. Hal ini terlihat dalam karya besarnya “al-Umm”, meskipun beliau tidak secara khusus mengarang kitab mukhtalif al-hadits, tetapi di dalam kitab al-Umm beliau mencantumkan pembahasan khusus tentang mukhtalif al-hadits.[9]

Adapun kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu Mukhtalif al-HadIts antara lain:
  1. Ikhtilaf al-Hadits karya Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i (150-204 H).
  2. Ta’wil Mukhtalif al-hadits karya Abdullah Ibnu Muslim Ibnu Qutaibah al-Dainuri (213-276 H).
  3. Musykil al-Atsar karya Imarn Abü ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Thahawi (239-321 H).
  4. Musykil al-Hadits wa Bayanuh, karya Abu Bakar Muhammad Ibn Hasan al-Anshari (w. 406) dan sebagainya.
      
Di antara hadits Nabi saw yang terkadang tampak tidak sejalan satu dengan yang lain  adalah hadits-hadits tentang tata cara  pelaksanaan  ibadah. Hadits-hadits semacam ini  disebut dengan istilah  “Hadits-hadits tanawu’ al-ibadah”,  yaitu hadits hadits yang menerangkan praktik ibadah tertentu,  yang dikerjakan  Nabi saw, tetapi antara hadits hadits tersebut terdapat perbedaan, sehingga menggambarkan adanya keragaman bentuk peribadatan.[10] Di antara sekian banyak hadis yang menjelaskan tentang keberagaman dalam praktek ibadah adalah tata cara pelaksanaan wudhuk, tata cara pelaksanaan tayamum, tentang keberagaman bacaan dalam rukû dan sujud.

Tanawwu’ fi al-ibâdah ialah keberagaman praktek ibadah tertentu yang diajarkan oleh Rasulullah akan tetapi antara yang satu dengan yang lain terdapat perbedaan, bukan pertentangan, sehingga menggambarkan keberagaman dalam pelaksanaan ibadah tersebut.[11]


Hadis tanawwu’ al-ibadah ialah hadis-hadis yang menerangkan praktik ibadah tertentu yang dilakukan atau diajarkan oleh Rasulullah saw, akan tetapi antara satu dan lainnya terdapat perbedaan sehingga menggambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanaan ibadah tersebut. Perbedaan atau keberagaman ajaran yang dimaksudkan adakalanya dalam bentuk tatacara pelaksanaan (perbuatan) dan adakalanya dalam bentuk ucapan atau bacaan-bacaan yang dibaca. Hadis-hadis tanawu’ ini juga disebut sebagai hadis-.  hadis mukhtalifdalam arti umum.”.

Dalam menghadapi hadis-hadis tanawu’ Al-Ibadah, pertama harus diperhatikan apakah hadis-hadis tersebut semua dalam kategori hadis makbul atau tidak. Kemudian hendaklah dipelajari apakah perbedaan ajaran yang dikandung oleh masing-masingnya membawa kepada pertentangan atau tidak. Apabila ternyata semua termasuk kategori hadis makbul dan perbedaan yang terdapat antara satu dan lainnya tidak membawa kepada pertentangan yang tidak dapat dikompromikan, maka hadis-hadis tersebut semua haruslah diterima dan diakui kehujjahannya untuk diikuti dan diamalkan.

Imam Syafi’i memberikan sebuah batasan bahwa hadis-hadis yang di golongkan sebagai al ikhtilaf al mubah ini adalah hadis-hadis mukhtalif  yang tidak mengandung hukum-hukum yang berbeda atau berlawanan sehingga salah satunya harus ditinggalkan. Imam Syafi’i berkata:[12] “ Dua hadis tidak disebut ikhtilaf selama keduanya masih ditemukan jalan untuk sama-sama mengamalkan keduanya. Disebut ikhtilaf jika tidak dapat mengamalkan yang satu tanpa meninggalkan yang lain, seperti hadis dalam kasus yang sama, yang satu menghalalkan dan yang lain mengharamkan”.

Jelas terlihat dalam batasan makna yang dikemukakan Imam Syafi’i diatas bahwa dua hadis disebut mukhtalif jika keduanya mengandung makna yang bertentangan, misalnya antara halal dan haram atau makruh dan sunat. Jika ada pertentangan seperti ini, maka hadis-hadis tersebut dapat  dikatakan mukhtalif dan perlu dilakukan penyelesaiaan dengan pendekatan-pendekatan ilmu ikhtilaf al hadis. Selama tidak ada pertentangan seperti itu, hadis-hadis yang tampak ikhtilaf tersebut dikategorikan sebagai hadis al ikhtilaf al mubah, artinya semua hadis tentang ibadah yang beragam ini dapat diamalkan dan tidak perlu dilakukan nasakh atau tarjih.

Merujuk kepada sejarah, begitulah sikap para sahabat, tabi’in serta kalangan mutaqaddimin (masa sebelum akhir abad ketiga) lainnya dalam menyikapi hadis-hadis yang beragam seperti itu. Tidak ditemukan riwayat bahwa mereka bertengkar dalam masalah ibadah ini. Meskipun yang mereka amalkan berbeda, tidak ada diantara mereka yang menyalahkan yang lain atau menyatakan bahwa hadis yang diamalkan orang lain tidak kuat. Akan tetapi, dalam masa selanjutnya muncul kecenderungan sementara orang memilih-milih hadis atau menguatkan yang satu dan melemahkan yang lain.

 Pendekatan dan Metode penyelesaian Menurut Ulama:

Secara garis besar penyelesaian Ta’arudh Al-Adillah terbagai menjadi dua metode yang digunakan oleh mujtahid yaitu Metode Hanafiyah dan Metode Syafi’iyah. Hanafiyah Membagi Usaha-usaha Penyelesaian Ta’arudh al-Adillah menjadi empat tahap yaitu Naskh, Tarjih, Jam’u wa Taufiq, dan Tasaqut al-Dalilain.[13] Sedangkan Metode Syafi’iyah digunakan oleh ulama Syafi’iyah, yang juga digunakan oleh ulama Malikiyah, Hanabilah dan zahariyah. Terbagi menjadi empat tahap yaitu: Al-Jam’u wa Taufiq, Tarjih, Naskh, dan Tasaqut al-Dalilain.[14]

Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar: pertama, mengandungmakna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassar); kedua,mengandung makna umum dan lainnya khusus; ketiga, mengandung makna penghapus dan yang lainnya dihapus; dan keempat, keduanya mungkin dapatdiamalkan.[15] Ibn Qutaybah menambahkan bahwa untuk menilai suatu matanhadis harus menggunakan ilmu asbab wurud al-hadis.

Adapun cara yang ditempuh para ulama untuk menyelesaikan hadis-hadis yang bertentangan ini tidak sama antara yang satu dengan yang lainnya. Ada yang menggunakan satu cara dan ada juga yang menggunakan banyak cara. Metode-metode yang digunakan antara lain :

  1. Al Tarjih, yaitu meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memilki argument lebih kuat.
  2. Al Jam’u/al Taufiq/al Talfiq, yaitu kedua hadis yang bertentangan dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya.
  3. Al Nasikh wa al Mansukh, yaitu petunjuk atau kandungan yang terdapat dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai “penghapus”, sedangkan hadis yang satunya lagi dinyatakan sebagai hadis yang “dihapus”.
  4. Al Tauqif, yaitu menunggu sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangannya.[16]

Pendapat di atas pada dasarnya sama, bahwa metode penyelesaian hadis mukhtalif dapat dilakukan dengan bentuk kompromi, jika tidak mungkin dengan kompromi dilakukan nasakh, kalau nasakh tidak dapat maka dilakukan tarjih. Berikut ini akan dibicarakan satu persatu metode penyelesaian hadis mukhtalif.

 Berikut ini dikemukakan sekedar contoh tentang hadis-hadis yang tampak bertentangan dan cara penyelesaian ulama:

1.        Metode al-Jam’u wa at-Taufiq
Metode ini dinilai lebih baik daripada melakukan tarjih (mengumpulkan salah satu dari dua hadits yang tampak bertentangan). Metode al-jam’u wa at-taufiq ini tidak berlaku bagi hadits-hadits dha’îf (lemah) yang bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih. Maksudnya adalah penyelesaian dengan cara menelusuri titik temu kandungan makna masing-masing sehingga maksud sebenarnya yang dituju oleh hadis-hadis itu dapat dikompromikan. Dengan kata lain, mencari pemahaman yang tepat tentang hadis-hadis yangmenunjukkan kesejalanan dan keterkaitan makna sehingga masing-masingnya dapat diamalkan sesuai dengan tuntunan.

Contoh aplikasi dari metode al-jam’u wa at-taufiq adalah hadits tentang cara berwudhu Rasulullah Saw,. Hadits pertama menyatakan bahwa Rasulullah Saw. berwudhu dengan cara membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sebagaimana tampak dalam hadits berikut ini:

حَدَّثَنَا الْرَّبِيْعُ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَضَّأَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ مَرَّةً مَرَّةً.

Ar-Rabi’ telah bercerita kepada kami, dia berkata: Imam asy-Syafi’i memberi kabar kepada kami, Ia berkata: Abdul Aziz ibn Muhammad telah memberi kabar kepada kami dari Zaid ibn Aslam dari Atha’ ibn Yasar dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. berwudhu membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali-satu kali.

Sementara dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala tiga kali, sebagaimana terbaca dalam hadits berikut ini:

أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ ، عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا.

Imam Asy-Syafi’i telah memberi kabar kepada kami, dia berkata Sufyan ibn ‘Uyainah telah memberi kabar kepada kami, dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, dari Hamran maula “Utsman ibn ‘Affan bahwa Nabi Saw. berwudhu dengan mengulangi tiga kali (dalam membasuh dan mengusap).

Kedua riwayat tersebut tampak bertentangan namun keduanya sama-sama shahih dan akhirnya diselesaikan dengan metode al-Jam’u wa at-Taufîq dengan komentar Imam asy-Syafi’i dalam kitab Ikhtilaf al- Hadits :

قَالَ الشَّافِعِيُّ: وَلاَ يُقَالُ لِشَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الأَحَادِيثِ: مُخْتَلِفٌ مُطْلَقًا، وَلَكِنَّ الْفِعْلَ فِيهَا يَخْتَلِفُ مِنْ وَجْهِ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاِخْتِلاَفِ الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ ، وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، وَلَكِنْ يُقَالُ: أَقَلُّ مَا يَجْزِي مِنَ الْوُضُوءِ مَرَّةٌ، وَأَكْمَلُ مَا يَكُونُ مِنَ الْوُضُوءِ ثَلاَثٌ.

Dengan terjemahan bebasnya adalah Imam asy-Syafi’i berkata: “hadits-hadits itu tidak bisa dikatakan sebagai hadits yang benar–benar kontradiktif. Akan tetapi bisa dikatakan bahwa berwudhu dengan membasuh wajah dan kedua tangannya, serta mengusap kepala satu kali, sudah mencukupi, sedangkan yang lebih sempurna dalam berwudhu adalah mengulanginya tiga kali (dalam hal membasuh wajah dan mengusap tangan serta mengusap kepala).[17]

Contoh Hadis yang lain adalah:

.....ثُمَّ قَالَ لَهُ : كَمْ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ ص ؟ قَالَ : أَرْبَعٌ.
Artinya: …… Kemudian (‘Urwah) bertanya kepada (Ibnu ‘Umar) : “Berapa kalikah nabi saw berumrah? “jawabnya: “empat kali”. (H. R. Bukhari).

عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ أَنَسًا أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُوْلَ الله ص اعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلَّهُنَّ فِي ذِيْ الْقَعْدَةِ إِلاَّ الّتِي مَعَ حَجَّتِهِ.
Artinya: Dari Qatadah, bahwa anas mengkhabarkan kepadanya, bahwa Rasulullah saw. Ber’umroh empat kali, semua ‘umrah itu dalam bulan Dzul-Qa’dah melainkan ‘umrah yang (beliau kerjakan) bersama hajinya. (H.R. Muslim).

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ص اعْتَمَرَ ثَلاَثَ عُمَرٍ.

Artinya: Dari ‘Aisyah, bahwa nabi saw. Ber’umrah tiga ‘umrah.

قَالَ البَراءُ بْنُ عَازِبٍ : اعْتَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ ص فِيْ ذِي الْقَعْدَةِ قَبْلَ أَنْ يَحِجَّ مَرَّتَيْنِ.

Artinya: Telah Bara’ bin ‘Azib: Rasulullah saw pernah ber’umrah dalam bulan Dzul-Qo’dah dua kali, sebelum beliau naik haji. (H. R Bukhari).

Riwayat yang pertama dan kedua, menunjukkan bahwa nabi saw. Ber’umrah empat kali. Riwayat ketiga menyebut tiga kali, sedang riwayat ke empat menyebutkan dua kali. Zhahirnya riwayat-riwayat tersebut berlawanan antara yang satu dan yang lain. Karena itu  riwayat-riwayat itu dikatakan mukhtalif. Sungguhpun begitu, maka keterangan-keterangan yang berlainan itu, bisa kita dudukkan dengan cara demikian:
  1. Umrah Nabi saw adalah empat kali sebagaimana tersebut dalam riwayat yang pertama dan kedua.
  2. Dalam riwayat yang ketiga Aisyah menyebut tiga umrah saja. Yang keempatnya tidak ia nyatakan, karena umrah ini Nabi kerjakan dalam bulan haji, sedangkan yang hendak Aisyah terangkan itu adalah umrah dalam bulan Dzul-Qa’dah saja.
  3. Dalam riwayat keempat Bara’ menyebut dua umrah. Yang dua lagi tidak disebut-sebut.

Umrah yang tidak disebut ini, ialah : 1) umrah Nabi saw bersama hajinya, dan 2) umrah Ji’ranah.
Bara’ tidak membawakan dua umrah, karena:
  1. Umrah bersama haji itu, Nabi mengerjakannya dalam bulan haji, sedang yang mau ditunjukkan kepada orang. Umrah Nabi dalam bulan Dzul-Qa’dah yang tersebut dalam riwayat itu.
  2. Umrah Ji’ranah boleh jadi Bara’ tidak mengetahui, sebagaimana tidak diketahui juga oleh sahabat-sahabat yang lain.

Memang hal Ji’ranah ini tidak umum diketahui sahabat.
  1. Dengan cara mencocokkan ini (jama’) terpakailah semua keterangan yang nampaknya berlawanan itu.  
  2. Mukhtaliful hadis ini, mestinya ada pada hadis yang shah (shahih atau hasan), karena kalau satu hadis berderajat shah, sedang yang lainnya lemah dan kelihatan bertentangan, tidak perlu kita memakai yang lemah, cukup kita mengambil yang shah saja.

2. Metode Tarjih
Dalam pengertian sederhana, tarjih  adalah suatu upaya komparatif untuk menentukan sanad yang lebih kuat pada hadits-hadits yang tampak ikhtilaf. Tarjihmerupakan upaya terakhir yang mungkin dilakukan dalam menyelesaikan hadits-hadits mukhtalif ketika jalan taufiq dan nasakh mengalami kebuntuan. Jika pada langkah terakhir ini ikhtilaf  juga tidak dapat diselesaikan, maka hadits-hadits tersebut terpaksa dinyatakan tidak dapat diamalkan (tawaqquf).[18] Tarjih dapat diartikan sebagai memperbandingkan dalil-dalil yang nampak saling bertentangan untuk dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dibandingkan dengan yang lain. Jadi dalam kasus hadis-hadis mukhtalif yang tidak dapat dikompromikan dan diantaranya tidak terjadi nasakh, maka hadis-hadis tersebut diperbandingkan. Kualitas masing-masing hadis dikaji lebih jauh agar dapat diketahui manakah di antaranya yang lebih kuat dan lebih tinggi nilai hujjahnya dibandingkan yang lainnya.



Metode ini dilakukan setelah upaya kompromi tidak memungkinkan lagi. Maka seorang peneliti perlu memilih dan mengunggulkan mana di antara hadits-hadits yang tampak bertentangan yang kualitasnya lebih baik. Sehingga hadits yang lebih berkualitas itulah yang dijadikan dalil.

Harus diakui bahwa ada beberapa matan (teks) hadits yang saling bertentangan. Bahkan ada juga yang benar-benar bertentangan dengan al-Quran. Antara lain adalah hadits tentang nasib bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup akan berada di neraka. Sebagai contoh adalah hadits berikut ini:

الْوَائِدَةُ وَالْمَوْؤُودَةُ فِي النَّارِ

Perempuan yang mengubur bayi hidup-hidup dan bayinya akan masuk neraka (HR Abu Dawud).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dari Ibnu Mas’ud dan Ibn Abi Hatim. Konteks munculnya hadits tersebut (Sabab Wurudnya) adalah bahwa Salamah Ibn Yazid al-Ju’fi pergi bersama saudaranya menghadap Rasulullah Saw,. Seraya bertanya: “Wahai Rasul sesungguhnya saya percaya Malikah itu dahulu orang yang suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, tetapi ia meninggal dalam keadaan jahiliyah. Apakah amal kebaikannya itu bermanfaat baginya? Nabi menjawab: tidak. Kami berkata: dahulu ia pernah mengubur saudaranya perempuanku hidup-hidup di zaman Jahiliyah. Apakah amal akan kebaikannya bermanfaat baginya? Nabi menjawab: orang yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup dan anak yang dikuburnya berada di neraka, kecuali jika perempuan yang menguburnya itu masuk Islam, lalu Allah memaafkannya. Demikian hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan an- Nasa’i, dan dinilai sebagai hadits hasan secara sanad oleh Imam Ibnu Katsir.[19]

Hadits tersebut dinilai musykil dari sisi matan dan mukhtalif dengan al-Quran surat at-Takwir/81: 8-9 :
وَإِذَا الْمَوْءُودَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ

Dan apabila bayi–bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh?

Kalau seorang perempuan yang mengubur bayinya itu masuk ke neraka dapat dikatakan logis, tetapi ketika sang bayi yang tidak tahu apa-apa itu juga masuk ke neraka, masih perlu adanya tinjauan ulang. Maka dari itu, hadits tersebut harus ditolak meskipun sanadnya hasan, dan juga karena adanya pertentangan dengan hadits lain yang lebih kuat nilainya, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Nabi pernah ditanya oleh paman Khansa’, anak perempuan al- Sharimiyyah: Ya Rasul, siapa yang akan masuk surga? Beliau menjawab: Nabi Muhammad Saw. akan masuk surga, orang yang mati syahid juga akan masuk surga, anak kecil juga akan masuk surga, anak perempuan yang dikubur hidup-hidup juga akan masuk surga. (HR. Ahmad.)
Contoh Hadis lainnya adalah:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ : تَزَوَّجَ رَسُوْلُ اللهِ ص وَهُوَ مُحْرِمٌ.


Artinya: Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia pernah berkata: “Rasulullah saw telah kawin dengan Maimunah, sedang beliau dalam ihram.” (H. R. Muslim).


عَنْ يَزِيْدَ بْنِ الأَصَمِّ قَالَ : حَدَّثَنِيْ مَيْمُوْنَةُ بِنْتُ الحَارِثِ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ ص تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ.

Artinya: dari Yazid bin Al-Asham, ia berkata: “telah menceritakan kepadaku, Maimunah bintul Haris, bahwa Rasulullah saw kawin dengan dia sedang Nabi dalam ihlal.” (H. R. Muslim)

Riwayat yang pertama mengatakan bahwa Nabi kawin dengan Maimunah dalam ihram, sedang yang kedua menetapkan dalam ihlal.

Cerita-cerita ini bertentangan. Oleh karena pertentangan itu, maka dua riwayat tersebut, perlu di jama’ atau di tarjih.
  1. Kita memeriksa, adakah terdapat keterangan yang menguatkan pendapat Ibnu Abbas itu? Sesudah kita selidiki, tidak bertemu satupun bantuan bagi riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan Nabi kawin dalam ihram.
  2. Riwayat kedua, yaitu yang dari Yazid bin Asham. Kita dapati ada yang membantunya, yaitu dari empat jurusan:
  • Yang meriwayatkan dalam ihlal, adalah Mimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima daripada orang lain menceritakannya.
  • Abu Rafi’ meriwayatkan kejadian perkawinan itu, dalam ihlal juga.
  • Diantara sahabat ada yang menyalahkan pendapat Ibnu Abbas tentang dalam ihram, tetapi terhadap riwayat Abu Rafi’ mereka tidak membantah.
  • Omongan Maimunah dalam cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan Nabi saw tentang “tidak boleh kawin dalam ihram”, yaitu
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكِحُ.
Artinya: Rasulullah saw. Bersabda: Orang yang didalam ihram tidak boleh kawin, dan tidak boleh mengawinkan orang lain. (H. R Muslim)

Dengan bantuan empat jurusan itu, jadi kuatlah riwayat yang mengatakan Nabi kawin dalam ihlal, serta tolaklah riwayat yang mengkhabarkan dalam ihram.

Riwayat yang kuat itu disebut: Rajih, artinya: yang berat atau yang kuat. Sedangkan riwayat yang tidak dipakai itu dikatakan: Marjuh, artinya: yang diberati, yakni yang tidak kuat.
3. Metode Nasikh-Mansukh
Mempelajari Nasakh adalah termasuk kewajiban yang penting bagi orang- orang yang memperdalam ilmu syari’at. Karena seorang pembahas ilmu syari’at tidak akan dapat memetik hukum dari dalil-dalil nash. Dalam kaitan ini adalah hadis. Maka dengan mengetahui hadis-hadis yang di nasakh wal mansukh kan mudah dalam menatapkan hukum-hukum syara’. Dengan adanya ilmu nasakh, kita akan mengetahui latar belakang kenapa suatu hadis di nasakh dan  dimansukh.

Nasikh menurut bahasa mempunyai dua makna yaitu, menghapus dan menukil. Sehingga seolah-olah orang yang menasakh telah menghapuskan yang mansukh, lalu menukilkannya kepada hukum yang lain.[20] Sedangkan ilmu Nasikh dan mansukh menurut para muhadditsin ialah:

العام الزي يبحث عن الا حاد يث المتعا رضة التي لا يمكن التو فيق بينها من حييث ا لحكم على بعظها بأنه نا سخ  , وعلى بعظها الاخر بأنه منسخ, فما ثبت تقدمه كان منسو خا وما تأخره كان نا سخا. 

Artinya: Ilmu yang membahas hadis- hadis yang berlawanan yang tidak mengkin untuk dipertemukan, karena materi (ynang berlawanan) yang akhirnya terjadi menghapus dengan ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang datang kemudian Nasikh.[21]

                Pendekatan ini dilakukan jika jalan taufiq tidak dapat dilakukan. Itupun jika data sejarah kedua hadits yang ikhtilaf dapat diketahui dengan jelas. Tanpa mengetahui  taqaddum dan taakhhur dari kedua hadits itu, metode nasakh mustahil dapat dilakukan. [22]Pendekatan nasakh sendiri yaitu menghapus hadits yang turunnya lebih dahulu kemudian mengamalkan hadits yang turunnya kemudian.
                Pernyataan dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti sabda beliau

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَعَنَ زَوَّارَاتِ القُبُورِ.

Abu Hurairah brkata bahwa, “Sesungguhnya Rasulullah saw melaknat untuk ziyarah kubur”.

Pada hadis selanjudnya Nabi SAW bersabda tentang kebolehan berziyarah kubur.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ وَمَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ وَالْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ قَالُوا حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمِ النَّبِيلُ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَلْقَمَةَ بْنِ مَرْثَدٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمَّدٍ فِي زِيَارَةِ قَبْرِ أُمِّهِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْآخِرَةَ قَالَ وَفِي الْبَاب عَنْ أَبِي سَعِيدٍ وَابْنِ مَسْعُودٍ وَأَنَسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَأُمِّ سَلَمَةَ قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ بُرَيْدَةَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا يَرَوْنَ بِزِيَارَةِ الْقُبُورِ بَأْسًا وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْمُبَارَكِ وَالشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ.
               

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar dan Mahmud bin Ghailan dan Al Hasan bin Ali Al Khallal mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim An Nabil telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Alqamah bin Martsad dari Sulaiman bin Buraidah dari Bapaknya berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Saya pernah melarang kalian berziarah kubur. Sekarang telah diizinkan untuk Muhammad menziarahi kuburan ibunya, maka berziarahlah, karena (berziarah kubur itu) dapat mengingatkan akhirat.”

                Dari hadis diatas diketahui bahwa dahulu hukum ziyarah kubur itu dilarang, kemudian diperbolehkan, setelah adanya perintah Rasulullah saw, bahkan dalam riwayat yang kedua  Nabi menyebutkan sisi positif ziyarah kubur yakni karena di dalam ziyarah kubur banyak pelajaran yang bisa diambil, juga karena mengingatkan kematian. Maka hadis yang pertama di atas di hapus oleh hadis yang kedua dengan perkataan rukhsoh tersebut.

                Dalam salah satu jalur sanad Syaddad dijelaskan bahwa hadis itu diucapkan pada tahun 8 hijriyah ketika terjadi pembukaan kota Makkah, sedangkan Ibnu Abbas menemani Rasulallah saw dalam keadaan ihram pada saat haji wada’.

                Kedua hadis di atas berkualitas sahih. Pada hadis pertama, dianggap bertentangan dengan hadis kedua. Hadis pertama berisi ketidaksenangan Nabi yang bisa diartikan sebagai larangan kepada wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur. Sedangkan hadis kedua berisi perintah secara umum baik untuk laki-laki dan perempuan untuk berziarah ke kubur, karena hal tersebut dapatmengingatkan manusia terhadap adanya kematian.Menurut al-Qardawi, sebagaimana ia menukil pendapat al-Qurtubi, bahwa hadis pertama di atas dapat dikumpulkan dengan hadis kedua. Pada hadis pertama disebutkan bahwa yang dilaknat adalah zawwarat (wanita-wanita yangterlalu sering berziarah kubur). Ini berarti ada kemungkinan wanita tersebuttelah meninggalkan kewajibannya yang lain, hanya karena terlalu sering berziarah. Itulah yang menyebabkan mengapa dilarang oleh Nabi. Analisistersebut merupakan suatu analisa yang digunakan oleh Ilmu Mukhtalif al-Hadis,yaitu pertentangan yang terjadi antara hadis-hadis dibawa kepada perbedaan peristiwa masing-masing. Karena peristiwanya berbeda, maka tuntunan terhadap peristiwa itu juga berbeda.[23]

Berkata Asy-Syaukani : “Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikananalan dalam upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.”[24] Hadis larangan untuk ziyarah qubur adlaha shahih dan hadis pada kebolehan untuk ziyarah quburr juga shahih, dan hadis yang kedua menghapus hadis yang pertama. Sedangkan dalam hadis lain rasulullah bersabda:

Ziyarahlah oleh kalian akan kubur dan jangan kalian katakan hujran.[25]
Hadis Yang lainnya adalah: 

قَالَ رَسُوْلُ اللهِِ ص لاَ يَأْكُلَنَّ أَحَدُكُمْ مِنْ نُسُكِهِ بَعْد ثَلاَثٍ.

Artinya: Telah bersabda Rasulullah saw : “Janganlah salah seorang pada kamu,
 makan dari kurbannya sesudah tiga hari. (Syafi’i).

Larangan “tidak boleh makan dari daging kurban sesudah tiga hari”, disebut “hukum”. Hukum ini, sudah di hapuskan oleh nabi Muhammad saw. Sendiri dengan sabdanya:

نَهَيْتُكُمْ عَنْ لُحُوْمِ الأَضَاحِيْ أَنْ لاَ تَأْكُلُوْهَا بَعْدَ ثَلاَثٍ فَكُلُوْا وَانْتَفِعُوا بِهَا فِيْ أَسْفَارِكُمْ.

Artinya: Aku pernah melarang kamu tentang daging kurban, bahwa: “jangan kamu makan dia sesudah tiga hari”, tetapi (sekarang) makanlah dan gunakan dia dalam pelayaran-pelayaran kamu.

  1. Hadis yang pertama itu, dinamakan mansukh, artinya yang dihapuskan, karena hukum yang ada padanya sudah tidak terpakai lagi.
  2.  Hadis yang kedua disebut nasikh, artinya yang menghapuskan, karena hadis ini menghapuskan hukum yang ada pada hadis pertama.
  3. Hadis yang sudah dihapuskan hukumnya itu, tentu tidak boleh dipakai lagi.

Sebenarnya ilmu nasikh dan mansukh itu sudah ada sejak pedewanan hadis pada awal abad pertama, akan tetapi belum muncul dalam bentuk ilmu yang berdiri sendiri.  Kelahirannya sebagai ilmu dipromotori oleh Qatadah bin Di’amah As sudusy (61-118) . dengan tulisan beliau yang diberi judul “An- Nasikh Wa’I- Mansukh”.[26]

 Contoh-contoh Hadis Tanawwu’ fi Al-ibadah   
                                                         
Contoh hadis tanawwu’ fi ibadah menyangkut tata cara pelaksanaan wudhu’.

 عَنْ اِبْنُ عَبَّاْسٍ،قَالَ: أَلَا أَخْبِرُكُمْ بِوُضُوءِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَتَوَضَّأَ مَرَّةً مَرَّةً

Artinya: Dari Ibnu Abbas, dia berkata, Maukah kalian aku kabarkan tentang cara wudhuk Rasulullah SAW ?Beliau SAW berwudhuk satu kali-satu kali (untuk tiap anggota wudhu’).[27]

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمّنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى قاَلَ رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِي اللَّهُم عَنْهُم تَوَضَّأَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَ ثًا وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَ ثًا وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَاحِدَةً ثُمَّ قَالَ هَكَذَا تَوَضَّأَ رَسُوْلُ اللَّهِ لَلَّهُمَّ وَسَلَّمَ.
Artinya: Dari Abdirrahman bin Abu Laila, dia berkata, “saya pernah melihat Ali RA berwudhu’, maka dia mencuci mukanya tiga kali,mencuci kedua lengannya tiga kali, dan menyapu kepalanya satu kali, kemudian berkata, “Demikianlah Rasulullah SAW berwudhuk.[28]

عَنْ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُمَرَ،أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثَلاَثًا ثَلاَثًا،يُسْنِدُ ذَلِكَ اِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya: Dari Abdullah bin Umar bahwa beliau berwudhuk tiga kali-tiga kali. Dia menyandarkan hal itu kepada Rasulullah SAW.[29]
Tiga buah hadis di atas sama-sama menerangkan tata cara berwudhu’ Rasulullah, khususnya dalam membasuh anggota wudhu’nya. Akan tetapi satu dengan yang lainnya mengandungi ajaran yang berbeda sehingga dapat menimbulkan kesan sebagai tidak adanya ketegasan dalam masalah tersebut.

Cara penyelesainnya di atas adalah semua hadis-hadis tanawwu’ al-ibadahboleh diikuti dan diamalkan, tetapi yang manakah diantaranya lebih baik “afdhal” untuk diikuti dan diamalkan, jawabannya adalah yang lebih sempurna. Diantarnya, khusus menyangkut hadis-hadis tentang tata cara berwudhu’ Rasulullah, dikatakan oleh Syafi’i bahwa dari ketiga hadis tersebut sebenarnya dapat ditarik suatu ajaran bahwa cara minimal yang dituntut untuk sahnya wudhu’ adalah membasuh anggota wudhu’ masing-masing satu kali (berdasarkan hadis Ibn Abbas), dan sempurnanya, adalah dengan membasuh masing-masing tiga kali (bersasarkan hadis Abdullah bin Umar). Jadi, yang afdhal untuk didahulukan mengamalkan yang lebih sempurna diantaranya sesuai dengan penjelasan diatas  yakni, hadis riwayat Abdullah bin Umar.

Dengan demikian, selanjutnya dapat dikatakan bahwa cara terbaik bagi sesorang dalam berwudhu’ ialah  dengan membasuh anggota wudhu’nya masing-masing tiga kali. Boleh juga memilih masing-masing dua kali. Bahkan dalam situasi tertentu mungkin saja yang dilakukan oleh Rasulullah. Dari keberagaman tersebut ada yang bernilai lebih afdhal dari pada yang lain, patut dimaklumi bahwa keutamaan tersebut sangat tergantung dengan kondisi waktu, tempat, dan kondisi hati orang yang beramal.


Imam abu bakar bin khuzaimah mengatakan bahwa tidak ada disana (hadis) yang bertentangan keduanya dari tiap2 wajah, dan baran siapa yang mendapatkannay (iktilaf) maka berikanlah kepada saya supaya saya  damaikan keduanya.[30]
Hal ini dilakukan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasul menyampaikan suatu ajaran (hadis-hadis) yang antara satu dengan yang lainnya bertentangan. Jika bertemu dua buah hadis saling bertentangan, maka akan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, ada kekeliruan di dalam menilai hadis, mungkin saja salah satu di antaranya bukanlah hadis maqbul. Kemungkinan ke dua, barangkali di antara hadis-hadis ini adalah hadis ghair al-ma’mul (hadis yang tidak diperintahkan untuk mengamalkannya).


 KESIMPULAN

Dari uraian di atas ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil, yaitu:

1.      Ilmu mukhtalif al-hadits adalah hadis-hadis yang tampak saling bertentangan satu sama lain. Termasuk dalam pengertian hadis mukhtalif adalah hadis-hadis yang sulit dipahami karena ada kata-kata janggal atau sulit dipahami (musykil). Akan tetapi, hendaknya kitatidak terburu buru menolak suatu hadis yang dinilai kontradiktif, sebelum benar-benar melakukan verifikasi secara mendalam. Hal ini karena hadis-hadis tersebut boleh jadi tidak benar-benar kontradiktif, sehingga masih bisa diberikan solusi.
2.      Paling tidak ada lima metode yang bisa dipakai untuk menyelesaikan hadis-hadis mukhtalif, yaitu: 1) aljam’u wa al-taufiq, 2) al-tarjih ,3) nâskh-mansukh.
Perbaikan:
Menurut para ulama, kalau dapat, kandungan hadis yang secara lahiriyah bertentangan itu di satukan, disebut dengan al-jam’u wattaufiq. Kalau tidak dapat, dicari kemungkinannya, yang satu menjadi qaid atau menjadi mukkasshis bagi yang lain. Dengan cara ini maka kedua hadis dapat dimanfaatkan secara proporsional. Atau juga , yang satu menjadi nasikh bagi yang lainnya. Karena itu ada yang menyebut ilmu ini dengan nama ikhtilag hadis, atau musykil hadis, atau takwil hadis. Keberadaan ilmu mukhtalif hadis jelas sangat membantu mengatasi kesulitan ini.[31]

Hadis Nabi sebagai pedoman ke dua umat Islam mesti dipahami secara komprehensif. Dengan demikian dapat dihindari kesalahan di dalam memahami hadis. Maka dari itu pula para ulama telah berijtihad dengan beberapa penyelesaiannya. Sehingga tidak ada lagi tuduhan bahwa hadis Nabi memiliki makna yang bertentangan satu sama lain.



[1] A. Qadir, lmu Mushtalah Hadis, (Bandung: Diponegoro, 2002). Hal. 322.
[2] Quraish Shihab, Membumikan al-Quran,(Bandung:Mizan:1994) . Hal. 27.
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 42
[4] Jalaluddin al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi Syarah Taqrib al-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits, 2004), Hal. 467.
[5] Abdul Majid Khon, Pemikiran Modern Dalam Sunah,(Jakarta: Prenada Media Group, 2011). Hal. 201.
[6] Muhammad ‘Ajaj Al-Khathib, Ushul Al Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya  Media Pratama,2007). Hal. 254.
[7] Nuruddin ‘Itr, “Ulum al-Hadts”, diterjemahkan oleh Mujiyo dari Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadîts (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994). Hal. 114.
[8] Ibid, Hal. 43.
[9] Munzier Suparta,  Ilmu Hadis, Hal. 45. 
[10] Ibnu Taimiyah, Mu’jam ala-Fatawa, ( Bairut : Dar al-Arabiyah,  1398 H)  juz ke 22. Hal. 335
[11] Edi Safri, al-Imam al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press, 1999). Hal. 81-82
[12] Daniel Djuned, Paradigma Baru Studi Ilmu Hadis, Cet. I, (Banda Aceh: Citra Jaya, 2002). Hal. 113.
[13] Firdaus, Ushul Fiqh : Metode Mengkaji Dan Memahami Hukum Islam Secara Komprehensip, (Jakarta: Zikrul Hakim, 2004). Hal. 193-198.
[14] Ibid.,. Hal.198-201.
[15] Abu Abdullah Muhammad Idris al-Syafi’i, Kitab Ikhtilaf al-Hadis, (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/1973M).  Hal. 98-99.
[16] M. Syuhudi, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual, (Jakarta, PT Bulan Bintang, 1994) . Hal. 73.
[17] Abdul Mustaqim,  Ilmu Ma’ânil Hadîts, (Yogyakarta : Idea Press, 2008). Hal. 87.
[18] Daniel Juned, Ilmu Hadis, (Jakarta: Erlangga, 2010). Hal. 149.
[19] Ibid..., Hal. 88-90.
[20] Manna’al qaththan , pengantar studi Ilmu hadits, terj. Mifdhol abdurrahman, (Jakarta timur: pustaka al- kautsar, 2005) . Hal. 117
[21] Totok Jumantoro, kamus ilmu hadis, cet 2 (Jakarta: PT bumi aksara,.2002), hal. 200- 201.
[22] Daniel Juned, Ilmu Hadis, (Jakarta: Erlangga,  2010). Hal. 130.
[23] Yusuf Qardhawi, Bagaimana memahami hadis Nabi, (Cet. 5, Bandung: Karisma, 1997). Hal.  122.
[24] Ibid...., Hal. 122.
[25] Umar bin ahmad bin Usman, Nasikh Walmansukh min al-hadis, (Beirut: Darul Kitab Al-Alamiyah, 1992). Hal.  174.
[26] Fathur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul hadis,1974, (Bandung: PT Alma ‘arif). Hal. 34.
[27] Muhammad  Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i jilid I, cet 2 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007). Hal. 36.
[28] Muhammad  Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) . Hal 44
[29] Muhammad  Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Nasa’i Jilid I… Hal. 36 .
[30]Abu Fida’ Alhafiz bin kasir addamsyiqi. Ikhtisar ulumul hadis, (Beirut, darul kitab alalamiyah, 1989). Hal. 118.
[31] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi Telaah Historis & Mentodologis, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2011), hal.139-140


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel