-->

[Tokoh] Biografi Dan Karya Ali Harb

SUDUT HUKUM | Ali Harb, penulis, pemikir dan filosof kelahiran Lebanon 1941, menyelesaikan pendidikan akademisnya di Universitas Lebanon dan meraih gelar Master dalam bidang filsafat pada tahun 1978.[1] Sejak tahun 1976 hingga 1993, dia mengajar filsafat Arab dan Yunani pada tahun akademis 1995-1996, dia mendapatkan kesempatan menempuh gelar Agreation dari Universitas Paris, Prancis.[2] Sejak tahun 1979, dia telah aktif menulis artikel dan diterbitkan dalam berbagai surat kabar Lebanon serta jurnal-jurnal kebudayaan Arab. Dia juga aktif menyampaikan kuliah dalam berbagai simposium dan seminar.

Persoalan ini tak pelak menyiratkan upaya pencarian jati diri bangsa Arab paska kekalahan politik tersebut. Di satu sisi, mereka diterpa persoalan untuk membenahi diri demi tuntunan modernitas diperbagai bidang; politik, ekonomi, sosial, dan budaya, disisi lain, mereka mempertanyakan tradisi (turâts) yang selama ini menjadi identitasnya sebagai bangsa Arab. 

Maka mencuat persoalan apakah tradisi mereka masih cocok dengan moderntas dan pembaharuan ataukah tidak, antara orisinilitas dan pembaharuan, dan seterusnya.[3] Dalam konteks demikian, Ali Harb melihat bahwa para pemikir Arab kontemporer memiliki kecenderuangan berpikir didalam kerangka ciri khas kultural, nasional atau pun keagamaan.

Hal demikian jelas tercermin dari tema yang mereka sodorkan, seperti Tajdîd Al-Fikr Al-‘Arabî (pembaharuan pemikiran Arab), Naqd Al-Fikr Al-‘Arabî (Kritik Nalar Arab), Naqd al-Fikr al-Islâmî (kritik nalar Islam), dan tema-tema yang menyemangatkan atribut-atribut identitasnya. Baginya, hal ini menunjukan bahwa pemikir Arab kontemporer senantiasa berpikir dalam tekanan kesadaran identitas kolektifnya.

Dalam pengamatanya, ini jelas berbeda dengan yang terjadi pada masa lalu Arab atau pemikiran Barat modern. Di era klasik, karya-karya pemikiran justru tidak menunjukan identitas rasial, keagamaan, atau geografis. Misalnya saja al-Farabi dengan al-madînah al fâdilah-nya, Ibnu Khaldun dengan konsep ’Ilm al-‘Umrân-nya. Di Barat modern, misalnya Kant dengan Kritik Nalar Murni-nya, Martin Heidegger dengan Being and Time-nya, dan sebagainya. Tema-tema semacam ini, jelas tidak berada dalam kerangka ciri-ciri khas nasional atau pun kultural tertentu. 

Sebaliknya, semua ini menunjukan pada keterlibatan seorang pemikir dalam problematika pemikiran secara umum, baik berkaitan dengan nalar, makna pengetahuan wujud, kekuasan, maupun pemikiran itu sendiri memang tidak serta merta identitas menghambat suatu pemikiran, akan tetapi yang dipersoalkannya kemudian adalah bagaimana seorang pemikir itu sendiri dalam berinteraksi dengan identitas dan juga pemikirannya sendiri. Pendirian Ali Harb berujung pada persoalan ketertutupan dan keterbukaan pemikiran dan juga nalar.

Baginya, pemikiran yang tertutup adalah pemikiran yang memandang pemikiran lain melalui identitas kultural, rasial, bahasa, madzhab, dan agamanya. Jika sesuai maka dia akan menerimanya, dan begitu sebaliknya, jika tidak sesuai atau tidak identik denganya maka ditolak. Sedangkan pemikiran terbuka adalah pemikiran yang tidak mempersoalkan identitas-identitas tersebut untuk diterimanya.


Keterbukannya inilah yang dicoba dilakukan Ali Harb melalui kritik teksnya. Satu teks memiliki berbagai tradisi, beragam aspek, aneka pertentangan, kekaburan, celah dan lubang bahkan juga memiliki realitas maya dan ruang kosong.[4] Karenanya, sebuah teks dibaca dengan linguistik atau membaca kemungkinan-kemungkinan semantisnya, atau mengungkap struktur maknanya atau ekspansi bidang garapannya. 

Berdasarkan pertimbangan di atas sebuah teks mungkin untuk diteliti dan dibaca atau dianggap sebagai wacana yang bergerak tanpa titik akhir atau paparan yang tidak untuk dihentikan, pembacaan sebagai bentuk perlakuan terhadap teks dapat dianggap sebagai ruang yang terbuka, dimana di dalamnya dapat diselidiki kemungkinan-kemungkinan rasionalnya atau kekayaan strukturalnya, sehingga penelitian terhadap kekuatan interpretasinya sebagai kekuatan yang mencerahkan menjadi keniscayaan.[5]

Karya-karya dan tulisannya banyak mengungkapkan persoalan dan metodologi.[6] Teori-teori yang dirumuskannya dari disiplin ini dihasilkan melalui kritik teks dan analisis wacana. Metodologi kritisnya memiliki keistimewaan berupa kemampuan potensi pemikir yang dapat melampaui batas wacana hingga ke wilayah yang sangat luas dan tertutup, termasuk mengalihkan perhatian dari eksistensi pemikiran menuju metode pemerlakuan, pengelolaan, penggunaan serta aplikasinya. 

Dalam tulisan ini, mengemukakan analisa kritisnya tentang bagaimana berhubungan dengan pemikiran di tengah usaha-usaha kritis untuk memecah beragam problem, persoalan dan pemahaman, seperti teks, hakikat kebenaran, ideologi, esensi, kesatuan dialog, demokratisasi, liberalisme, dan tema-tema lain yang berputar di sekitar wacana dan hasil karyanya.


Ali Harb selama ini lebih dikenal melalui kritik teks-nya. Karyanya secara khusus mengenai kritiknya ini adalah serial bertajuk An-Nashsh wa Al- Haqîqah (teks dan kebenaran), yang terdiri dari Naqd An-Nashsh (1993), Naqd Al-Haqîqah (1993), dan Al-Mamnûi wa al Mumtani’ Naqd adz-Dzât al- Mufakkirah (1996). Selain karya buku ini, karya-karya Ali Harb lainnya, diantaranya adalah : A-ta’wĭl al-Haqîqah (1985), Al-Hubb wa al fanâ’ (1990), lu’bah al-ma’nâ (1991), as’ilah al haqiqah qa rihânât al-fikr (1994), Al- Mâhiyah wa al-‘Ilâqah (1998), Al-Akhtâm al-Ushûliyyah wa asy-sya’a’ir at- Taqaddumiyyah (2001), Ashnâm an-Nazhariyyah Wa Athyât al-Hurriyah (2001), dan masih banyak lagi buku dan artikel yang telah ditelitinya.

Sedangkan karya terjemahannya diantaranya adalah Ashl al-‘anf wa ad- Daulah (1985) karya Marcel Gauehet dan Pierre Clastres dan manthiq al- ‘Âlam al-Hayy (1989) karya Fran Cois Jakob, secara umum karya-karya Ali Harb berasal dari kumpulan makalah yang telah diterbitkan dalam beberapa jurnal Arab dan juga hasil wawancara dan simposium-simposium serta diskusi-diskusi yang diikutinya. (*Nur Fatoni)

Fotenote:
[1] Ali Harb, Hermenutika Kebenaran, terj. Sunarwoto Dema Yogyakarta, LKiS, 2003, hlm. I
[2] Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur'an, terj. M. Faisol Fatawi, LKiS, Yogyakarta, 2003, hlm. 456
[3] Menurut analisis Hasan Hanafi, sikap pada tradisi dalam kaitanya dengan pembaharuan atau modernts ini terbagi dalam tiga sikap. Sikap pertama adalah al-iktifâ adz-dzâtî li at-turâts (mencakup pada tradisi). Sikap ini memandang keharusan pembahuran Islam bertumpu sepenuhnya pada turâts. Dalam konsepsi ini, pembahruan berarti pembahruan kembali pada sumber asal itu sendiri, yakni Al-Quran dan sunah Nabi. Sikap kedua adalah al-kifâ adz-dzâtî li aljadid (mencukupkan diri dengan yang baru) sikap ini menentang sama sekali tradisi yang dipandang sudah tidak relevan. Sedangkan sikap terakhir at-taufiq bain at-turâts wa al-jadid sikap yang mengkompromikan keduanya. Bagi sikap ini, tradisi tidak harus dicampakan dan dibuang, tetapi dikaji secara kritis sehingga dapat ditemukan unsur-unsur yang relevan dengan pembahruan.
[4]Ali Harb, Relativitas Kebenaran Agama, Krtik dan Dialog, terj. Umar Bukhory, Yogyakarta, 20001, hlm. 16
[5] Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualis Al-Qur'an terj. Khoirun Nahdliyyin, Yogyakarta, LKiS, 2003, hlm. 12
[6] Ali Harb, relavitas kebenaran, Op.cit,. hlm. 363

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel