-->

Amil Zakat

1. Pengertian Amil
Kata amil berasal dari kata ‘amal yang biasa diterjemahkan dengan “yang mengerjakan atau pelaksana”.[1] Amil zakat adalah petugas yang ditunjuk oleh pemerintah atau masyarakat untuk mengumpulkan zakat, menyimpan, dan kemudian membagi-bagikannya kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). 

Menurut Ahmad Azhar Basyir, yang dimaksud dengan amil zakat adalah orang yang bekerja untuk memungut zakat dari wajib zakat, orang yang membukukan hasil pemungutan zakat, orang yang menyimpan harta zakat, orang yang membagi-bagikan harta zakat kepada mereka yang berhak, dan sebagainya. Dalam hal para amil itu adalah pegawai negeri yang mendapat tugas resmi bertindak sebagai amil, bagian para amil itu masuk kepada pemerintah, tidak diberikan kepada para petugas bersangkutan. Hal ini berarti bahwa pendapatan negara antara lain dapat diperoleh dari harta zakat.[2]

Amil Zakat
Menurut ensiklopedi hukum islam, yang dimaksud dengan amil adalah orang atau badan yang mengurus soal zakat dan shadaqah dengan cara mengumpulkan, mencatat, dan menyalurkan atau membagikannya kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan agama islam. Secara bahasa amil berarti wakil, agen, kuasa, dan langganan. Kata ini berasal dari kata amila yang berarti pekerja, tukang, dan pengatur pekerjaan. Pengertian amil dalam artinya yang sekarang bermula pada masa nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW menggunakan istilah tersebut bagi orang-orang yang ditunjuk olehnya sebagai petugas yang mengumpulkan dan yang menyalurkan shadaqah dan zakat kepada mereka yang berhak menerimanya.[3]

Pasal 3 Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menyatakan bahwa yang dimaksud dengan amil zakat adalah pengelola zakat yang diorganisasikan dalam suatu badan atau lembaga. Sebagaimana penafsiran tekstual dalam Al-Qur’an Surat At-Taubah ayat 103, yang menyebutkan kata "amilina􀂶alaiha" sebagai salah satu pihak yang berhak atas bagian zakat, kemudian diterjemahkan sebagai pengurus zakat yang bertugas mengambil dan menjemput zakat tersebut. Rasulullah SAW juga mempekerjakan seseorang mengurus keperluan zakat. Kemudian sunnah ini dilanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin setelahnya.[4]

Di Indonesia ini sudah ada satu organisasi yang menangani masalah zakat ini, yaitu BAZIS (Badan Amil Zakat, Infak, dan Sedekah). Badan ini belum merata untuk seluruh Indonesia. Pembentukan badan ini dipelopori oleh DKI.[5]

Karena Indonesia bukan negara Islam, maka pelaksanaan pengumpulan zakat, terpisah dari penarikan pajak, dan administrasinya juga terpisah; sebab penerimaan zakat dan pajak berbeda begitu juga pengeluarannya (sasarannya) berbeda dalam hal-hal tertentu. Al-Qur'an membenarkan, bila amil pun mengambil bagiannya dari zakat, sebab kalau amil itu difungsikan, maka tugasnya cukup banyak, seperti pendataan wajib zakat yang berbeda-beda tugasnya, seperti petani, saudagar, dan kegiatan lain yang menghasilkan uang atau harta kekayaan.

2. Kewajiban Amil
Para amil mengingatkan para wajib zakat, seperti petani pada waktu panen dan bidang-bidang lain, karena ada kemungkinan para wajib zakat tidak mengerti dan ada pula kemungkinan karena kikir.

Para amil juga mendata siapa-siapa yang wajib menerima zakat di lingkungannya tempat bertugas secara teliti, agar jangan sampai terjadi, para mustahiq tidak menerima zakat dan sebaliknya yang tidak berhak menerimanya. 

Ketelitian dalam pendataan ini amat penting, sebab ada kemungkinan ada orang yang sengsara hidupnya, tetapi dia tidak mau memperlihatkan kesengsaraan hidupnya kepada orang lain. Adalah sangat baik apabila para amil mengetahui pemasukan (income) setiap orang yang dipandang berhak menerima zakat. Hal ini sangat menentukan pembagian zakat, karena pembagiannya tidak mesti sama rata atau sama besarnya, perhatian pertama tentu ditujukan kepada fakir miskin.[6]

4. Hak Amil
Demi sukses dan terpeliharanya pengumpulan dan pembagian zakat, menetapkan bagi para petugas zakat bagian yang berhak menerimanya dari harta zakat yang dikumpulkan itu. Hanya saja para ulama berbeda pendapat tentang jumlah yang berhak diterimanya.[7]

Dalam Q.S. [9]: 60 disebutkan bahwa delapan ashnaf mereka secara keseluruhan atau sebagian diberikan harta zakat yang telah terkumpul. Tetapi apakah masing-masing mendapat seperdelapan, atau jumlah yang diperoleh masing-masing diserahkan ketetapannya kepada kebijaksanaan imam atau wakilnya. Merujuk pada firman Allah SWT dalam Q.S. [9] : 103 yang menjelaskan bahwa salah satu unsur yang terpenting dalam pengelolaan zakat adalah dibentuknya suatu lembaga zakat atau amil zakat.

3. Tujuan Amil
Dalam Bab II Pasal 5 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 dikemukakan bahwa pengelolaan zakat, melalui amil zakat bertujuan:
  • Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntutan agama;
  • Meningkatkan fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial;
  • Meningkatkan hasil guna dan daya guna zakat.[8]

Amil ini memiliki kekuatan hukum secara formal untuk mengelola zakat. Dengan adanya Amil, menurut Abdurrahman Qadir akan memiliki beberapa keuntungan formal, antara lain:
  • Menjamin kepastian dan disiplin pembayaran zakat.
  • Menjaga perasaan rendah din para mustahiq zakat.
  • Untuk mencapai efisien dan efektivitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas yang ada pada suatu tempat.
  • Memperlihatkan syi'ar Islam dalam semangat penyelenggaraan pemerintahan yang Islami.

Sebaliknya, jika zakat diserahkan secara langsung kepada mustahiq, adalah sah, tetapi mengabaikan hal-hal tersebut di atas. Di samping itu hikmah dan fungsi zakat untuk mewujudkan kesejahteraan umat akan sulit diwujudkan.

Dengan adanya kelompok "amil zakat" jelas bahwa zakat bukanlah merupakan pekerjaan yang sepenuhnya diserahkan kepada perasaan dan kehendak individu. Akan tetapi zakat haruslah ditangani oleh pemerintah atau lembaga. Dalam hal ini pemerintah atau lembaga mengangkat orang-orang yang mengurus pelaksanaan zakat itu, mulai dari pemungutannya, pemeliharaannya sampai kepada pembagiannya. Dengan adanya pengurus zakat yang ditentukan oleh pemerintah atau lembaga diharapkan zakat dapat dilaksanakan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan lembaga zakat itu sendiri yaitu meratakan rezeki dan menciptakan keadilan sosial. Meskipun demikian dalam mengangkat pengurus zakat ('amil) ada beberapa hal yang harus dipenuhi.

4. Syarat-Syarat Amil
Menurut Yusuf al-Qardhawi, syarat-syarat "amil zakat" itu antara lain adalah:
  • Muslim, karena zakat itu urusan kaum muslim.
  • Mukallaf, artinya orang dewasa yang sehat akal dan pikirannya.
  • Jujur, dapat dipercaya, karena nanti ia akan dipercaya untuk memegang harta kaum muslimin.
  • Memahami hukum-hukum zakat. Sebab jika ia tidak memahami hal tersebut, berarti ia bukan orang yang cukup baik untuk mengemban tugas yang dibebankan kepadanya, dan memungkinkan untuk melakukan banyak kesalahan dalam tugasnya.
  • Memenuhi syarat untuk dapat melaksanakan tugasnya dan sanggup memikul tugas itu.
  • Sebagian ulama melarang kerabat Nabi Muhammad Saw untuk menjadi "amil zakat". Namun syarat ini banyak dipertentangkan.
  • Sebagian ulama mensyaratkan "amil zakat" itu laki-laki. Tetapi hal ini nampaknya tidak menutup kemungkinan wanita untuk menjadi "amil zakat" selagi tugasnya itu sesuai dengan fitrahnya sebagai wanita.
  • Sebagian ulama juga mensyaratkan "amil zakat" itu harus orang merdeka, bukan seorang hamba.




[1] M.Quraish Shihab, Membumikan Al Quran Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung : Mizan, Cet. Ke-2, 1992, hlm. 325
[2] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 73-74
[3] M.Quraish Shihab (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid l, Cet. I, tth, hlm. 1989
[4] Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Pemberdayaan Zakat, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, hlm. 24-25.
[5] M. Ali Hasan, Zakat dan Infak Salah Satu Solusi Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 96.
[6] Ibid, hlm. 96.
[7] M.Quraish Shihab, Op. Cit, hlm. 329
[8] Tim Redaksi Pustaka Yustisia, Undang-Undang Zakat, Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2009, hlm.8

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel