-->

Pengertian Bunga Bank

Sudut Hukum | Bank adalah suatu lembaga bisnis, dan sistem bunga adalah satu mekanisme bank untuk pengelolaan peredaran dana masyarakat. Anggota masyarakat yang memiliki dana, dapat – bahkan diimbau untuk - menitipkan dana mereka yang tidak digunkan pada bank untuk jangka waktu tertentu. Kemudian bank meminjamkan dana itu kepada anggota masyarakat lain yang membutuhkan dana untuk usaha dalam jangka waktu tertentu pula. Anggota masyarakat yang meminjam dana dari bank pada umumnya untuk dipergunakan sebagai modal usaha, bukan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Dan dia akan mendapat keuntungan dari usahanya yang dimodali oleh bank tersebut.[1]


http://s-hukum.blogspot.com/
Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga itu timbul dari sejumlah uang pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital” atau “modal”[2] berupa uang. Dan bunga itu juga dapat disebut dengan istilah “rente” juga dikenal dengan “interest”.[3] Menurut Goedhart bunga atau rente itu adalah perbedaan nilai, tergantung pada perbedaan waktu yang berdasarkan atas perhitungan ekonomi.[4]

Persoalan halal tidaknya bunga (interest) sebagai instrumen keuangan merupakan sumber kontroversi di seluruh dunia Islam sejak lama. Sumber kontroversi ini adalah ayat-ayat al-Qur'an yang melarang riba – sebuah praktek Arab kuno – yakni apabila seseorang berhutang, hutangnya akan berlipat jika ia menunggak lagi, hutangnya akan berlipat lagi. Selama berabad-abad, banyak kaum muslim yang menyimpulkan ayat-ayat tersebut bahwa kontrak pinjaman yang menetapkan keuntungan tertentu bagi si pemberi pinjaman adalah perbuatan yang tidak bermoral, tidak sah atau haram-terlepas dari tujuan, jumlah pinjaman, maupun lembaga yang terlibat.[5]

Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga[6] kepada deposan (yang memiliki simpanan) dan kreditur (nasabah yang memperoleh pinjaman) yang harus dibayar kepada bank. Institusi bunga bank yang dalam hal ini adalah bunga yang bukan termasuk riba atau dapat dikatakan dengan bagi hasil menurut syari’at Islam (perbankkan syari’ah) telah menjadi bagian penting dari sistem perekonomian bangsa Arab seperti halnya sistem ekonomi di negaranegara lain (non muslim).

Sesungguhnya, bunga telah dianggap penting demi keberhasilan pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam mempertimbangkan bunga itu sebagai kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan dalam kehidupan.[7] Al-Qur'an mengakui bahwa meminum-minuman keras itu bukan tidak ada manfaatnya sama sekali, tetapi Islam mengharamkannya karena akibat-akibat buruk yang diakibatkan oleh minuman-minuman keras itu jauh lebih besar daripada manfaatnya. Kita mengakui bahwa sistem bunga dalam bank itu dalam pelaksanaanya tidak selalu baik, dan dapat mencelakakan nasabah yang meminjam uang dari bank, tetapi jumlah yang merasa tertolong oleh sistem bunga yang diperlakukan oleh bank-bank konvensional itu jauh lebih banyak dari pada mereka yang dirugikan. Maka analog dengan hukumnya minum-minuman keras, sistem bunga dalam bank konvensional itu tidak haram.[8]
Dalam literatur ulama fiqh klasik tidak dijumpai pembahasan yang mengkaitkan antara riba dan bunga perbankan. Sebab lembaga perbankan seperti yang berkembang sekarang ini tidak dijumpai dalam zaman mereka. Bahasan bunga bank apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai literatur fiqh kontemporer.[]


Rujukan:



[1] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997, Hlm. 14
[2] Modal (capital) adalah istilah untuk menyatakan sisa hak atas harta didalam perusahaan perusahaan setelah dikurangi dengan seluruh utang perusahaan. Dan modal itu ada tiga yaitu modal sendiri, modal sumbangan, modal penilaian kembali. Sri Purwaningsih, SE, Poniman, SE, Akuntansi pengantar I untuk Sekretaris, Semarang: Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Semarang, 1999, Hlm.21-22
[3] Drs. Syahirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993, Hlm. 18
[4] Ibid, Hlm. 19
[5] Ensiklopedi-Oxford Dunia Dalam Islam, Eva Y.N., Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Diterjemahkan dari The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Bandung: Mizan, Jilid 6, 2001, Hlm. 313. Lihat juga dalam Reportase, “Agama-agama Menolak Riba”, dalam Modal No. 14/II-Desember 2003
[6] Menurut Ibn Khaldun, harga merupakan nilai atau patokan suatu barang yang mendatangkan suatu keuntungan dari berbagai bidang, lihat Ibn Khaldun, Muqadimah, Terj. Ahmadie Thoha, Muqoddimah Ibnu Khaldun, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000, Hlm. 473
[7] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, cet. II, 2002, Hlm. 76
[8] Prof. Dr. H. Munawir Sjadzali, MA, op. cit, Hlm. 65

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel