Nafkah Wajib kepada Istri Menurut Pendapat Yusuf Qardhawi
Sunday, 6 November 2016
SUDUT HUKUM | Menurut Qardhawi:
Sangat disesalkan bahwa masih banyak ditemukan sikap suami yang tidak baik dalam cara memberikan nafkah kepada isterinya. Terdapat dua sikap yang bertentangan. Pertama, ada suami yang memberikan keluasan kepada isterinya dengan seluas-luasnya untuk berbuat tabdzir (konsumerisme), menghamburkan harta, dan berbelanja sekehendak hatinya, baik yang ada manfaatnya maupun tidak, yang diperlukan maupun tidak. Secara gila-gilaan sang isteri berlomba-lomba dalam membeli pakaian. Mereka meniru mode Eropa atau Amerika dengan tidak memperhatikan kepentingan keluarga, tanah air dan bangsanya, serta tidak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi hari esok. Kedua, sebaliknya, yaitu ada juga suami-suami yang kikir dan pelit terhadap isterinya, membelenggu lehernya, tidak memberinya belanja yang mencukupi dan dapat memenuhi kebutuhankebutuhannya yang logis. Padahal, Allah dalam kitab-Nya mewajibkan sikap tengah-tengah antara israf (berlebihan) dan pelit dalam belanja.[1]
Firman-Nya:
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya, karena akibatnya kamu menjadi tercela dan menyesal." (Al Isra': 29).
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan harta, mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian." (Al Furqan: 67).
Menurut Qardhawi:
Syara' tidak membatasi (tidak menentukan batas) nafkah terhadap isteri ini dengan kadar tertentu berapa dirham atau berapa rupiah besarnya. Tetapi yang wajib ialah memenuhi kebutuhan secara patut. Kebutuhan itu berbeda-beda antara satu masa dengan yang lain, antara satu lingkungan dengan lingkungan lain, antara satu kondisi dengan kondisi lain, dan antara seseorang dengan lainnya. Karena itu, kebutuhan hidup di kota tidak sama dengan kebutuhan hidup di desa, kebutuhan hidup masyarakat yang telah maju berbeda dengan kebutuhan hidup masyarakat yang masih terbelakang, kebutuhan hidup masyarakat yang berperadaban berbeda dengan masyarakat yang masih bodoh, yang berpendidikan tinggi dengan yang rendah, antara yang dibesarkan di tengahtengah gelimangan nikmat dengan yang dibesarkan dalam keluarga yang hidupnya susah, dan berbeda pula kebutuhan isteri orang kaya dengan isteri orang yang ekonominya sedang serta isteri orang yang miskin. Hal ini juga diisyaratkan oleh Al Qur'an: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya ..." (Ath Thalaq: 7)[2]
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya ...."(Ath Thalaq: 7).
Dalam membicarakan mut’ah
(perbekalan) bagi wanita yang ditalak, Allah juga mengingatkan makna ini
dengan flrman-Nya;
... Dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (Al Baqarah: 236).
Menurut Qardhawi alangkah baiknya
menyimak apa yang dikemukakan Imam Ghazali dalam kitabnya ihya' Ulumuddin mengenai
adab nikah tentang keadilan dalam nafkah. Menurut Ghazali, "Maka tidak selayaknya
suami bersikap kikir dalam memberi belanja kepada isteri, tetapi juga jangan
bersikap israf, namun hendaklah bersikap sedang. Firman Allah:
... Makanlah dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan ...."(Al-A'raf: 31).
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya..." (Al Isra': 29).
Diceritakan bahwa Ali mempunyai
empat orang isteri, maka setiap empat hari sekali beliau membelikan daging
seharga satu dirham untuk tiaptiap isterinya.
Ibnu Sirin berkata, "Disukai
bagi seseorang setiap Jum'at membuat kue poding untuk
keluarganya." Imam Ghazali berkata, "Seolah-olah membuat kue-kue itu meskipun
tidak penting, tetapi meninggalkannya sama sekali merupakan sikap pelit
menurut adat.”[3]
Tidak sepatutnya seseorang
menjauhkan diri dari keluarganya ketika memakan sesuatu yang enak, lantas tidak
memberikannya kepada mereka untuk dimakan, karena yang demikian dapat
menimbulkan kemarahan dalam hati dan menjauhkan pergaulan yang baik.
Kalau ia berhasrat memakannya
(sedang jatah untuk keluarga tidak ada), hendaklah ia makan secara
sembunyi-sembunyi yang sekiranya keluarganya tidak tahu, dan janganlah ia
ceritakan kepada keluarganya sifatsifat makanan yang tidak dapat ia berikan
kepada mereka. Jika makan,
hendaklah bersama-sama
keluarganya duduk di depan meja makan ...."
Selanjutnya Qardhawi mengajukan
pertanyaan sendiri, kalau begitu, bagaimana nafkah dan tuntutan hidup yang
diwajibkan syara' untuk isteri? Baiklah kita dengarkan saja fiqih yang mengacu
pada Al Qur'an dan As Sunnah mengenai masalah ini. Syekhul Islam Ibnu Qudamah
Al Hanbali berkata di dalam kitabnya Al Kafi sebagai berikut:
"Wajib memberi naflkah kepada isteri dengan kadar yang mencukupinya
menurut cara yang patut.
Firman Allah:
... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf..." (Al Baqarah: 233).
Menurut Qardhawi yang dimaksud
dengan ma'ruf (patut) itu ialah ukuran yang mencukupi. Karena nafkah itu
diwajibkan demi menutup atau memenuhi kebutuhan, maka ia diperkirakan menurut
ukuran yang mencukupi seperti menafkahkan barang yang dimiliki. Apabila nafkah
itu tidak ditentukan ukurannya, dapat diajukan kepada hakim untuk menentukannya
yang sekiranya mencukupi yang dapat berupa roti dan lauk-pauknya, dan ia wajib
diberi makanan pokok berupa roti, yang menjadi kebiasaan mereka.
Dalam menafsirkan ayat:
"Dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu" (Al Mai'dah:
89), Ibnu Abbas berkata "Yaitu roti dan minyak." Ibnu Umar,
"Yaitu roti dan mentega, roti dan minyak (zait), dan roti dan
kurma. Dan makanan yang lebih utama kamu berikan kepada mereka ialah roti dan
daging.
la wajib juga diberi jatah untuk
lauk-pauk sesuai dengan kadar keperluannya menurut kebiasaan yang berlaku di
negeri itu seperti minyak zait, minyak bijan, mentega, susu, daging, dan
lauk-pauk apa saja yang biasa diperlukan, karena yang demikian itu termasuk
nafkah secara ma'ruf, sebagaimana diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
Semua itu berbeda antara suami
yang satu dengan yang lain, sesuai dengan kondisi ekonomi masing-masing, sesuai
dengan kelapangan dan kesempitan rezeki mereka, karena Allah telah berfirman:
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya; dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dan harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya ...."(Ath Thalaq: 7)
Demikian pula wanita (isteri),
kebutuhannya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Menurut Qardhawi simak
kembali hadits Nabi kepada Hindun (isteri Abu Sufyan): "Ambillah apa yang
mencukupi bagimu dan bagi anakmu menurut cara yang ma'ruf (patut)."
Dengan demikian menurut Qardhawi,
seorang wanita kaya yang menjadi isteri laki-laki yang kaya wajib diberi nafkah
(makan) berupa roti dan lauk-pauk yang paling tinggi mutunya menurut kebiasaan
yang berlaku di negerinya, dan wanita fakir yang menjadi isteri dari laki-laki
yang fakir wajib diberi nafkah (makan) roti dan lauk-pauk sesuai dengan
kondisinya, demikian pula bagi yang ekonominya sedang.[4]
Apabila yang satu kaya dan yang
satunya lagi miskin, maka dalam kehidupan bersama sebagai suami isteri ini
tidak lantas nafkahnya disesuaikan dengan kondisi masing-masing sebelumnya.
Sebab, orang yang kaya harus memberi nafkah kepada yang miskin, dan jika orang
kaya memberi nafkah (kepada isterinya) seperti layaknya orang miskin (member nafkah
kepada isterinya) itu tidak termasuk cara yang ma'ruf. Kalau itu dilakukan,
dapat menimbulkan madarat bagi yang lain.
Wajib pula memberi pakaian
berdasarkan ayat dan hadits di atas karena hal ini diperlukan untuk melindungi
badan. Karena itu, memberi pakaian ini adalah wajib sebagaimana halnya memberi
nafkah. Wanita yang kaya yang menjadi isteri laki-laki yang kaya wajib diberi
pakaian yang bermutu tinggi yang biasa berlaku di negerinya seperti sutera,
wool, katun, dan lain-lain, sedangkan wanita yang fakir yang menjadi isteri
laki-laki yang fakir cukup dengan pakaian katun atau kain yang kasar, sedangkan
yang berekonomi sedang dengan pakaian yang sedang pula. Adapun jika salah satunya kaya dan satunya
miskin, maka diberlakukanlah bagaimana kebiasaan
pakaian mereka, sebagaimana
halnya nafkah.[5]
Jika ia tidak dapat menjalankan
tugas sendiri karena pekerjaan atau statusnya, atau karena sakit, maka ia harus
diberi pembantu, berdasarkan firman Allah:
... Dan pergaulilah mereka dengan cara yang ma'ruf...." (An -Nissa': 19).
Menurut Qardhawi menyediakan
pembantu untuk isteri termasuk mempergaulinya adalah dengan cara yang ma'ruf.
Pembantu ini tidak harus lebih dari seorang, karena yang berhak
dibantu/dilayani ini adalah dirinya sendiri dan hal ini cukup dengan seorang
pembantu. Tidak boleh menjadi pembantu atau pelayan isteri itu melainkan
perempuan atau laki-laki yang masih keluarga dan mahramnya sendiri, atau anak
kecil (yang belum dewasa)."
Menurut Qardhawi pengarang kitab Ar
Raudhatun Nadiyyah dalam menjelaskan kewajiban suami
(memberi nafkah kepada isteri), mengatakan:
Hal ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat, kondisi dan orangnya. Memberi nafkah secara ma'ruf pada musim subur (banyak penghasilan) tidak sama dengan memberi nafkah secara ma'ruf pada musim paceklik. Memberi nafkah yang ma'ruf bagi orang desa tidak sama dengan memberi nafkah yang ma'ruf bagi orang kota. Demikian pula nafkah yang ma'ruf bagi orang kaya, sesuai dengan tingkat masing-masing, tidak sama dengan nafkah yang ma'ruf untuk orang fakir, dan nafkah yang ma'ruf bagi orang yang status sosialnya tinggi tidak sama dengan nafkah yang ma'ruf bagi yang status sosialnya rendah. Adapun yang diisyaratkan dalam hadits itu bukan merupakan batas dan ukuran, tetapi menunjukkan perbedaan situasi dan kondisi."
Menurut Qardhawi ada perbedaan
pendapat mengenai ukuran nafkah dengan kadar tertentu dan pendapat yang
mengatakan tidak adanya batasan tertentu mengenai ukuran nafkah. Qardhawi
berpendapat bahwa tidak ada kriteria tertentu untuk nafkah melainkan dengan
ukuran kecukupan. Adapun mengenai pendapat fuqaha yang mengatakan adanya
kriteria tertentu bagi nafkah, terdapat riwayat yang berbeda-beda. Imam Syafi'i
berkata, "Orang miskin yang dapat berusaha wajib memberi nafkah satu mud,
bagi orang yang kaya dua mud, dan bagi yang ekonominya sedang satu setengah
mud." Abu Hanifah berkata, "Orang yang lapang (kaya) wajib memberi
nafkah kepada isteri sebesar tujuh sampai delapan dirham setiap bulan, sedang
orang yang ekonominya sulit memberi nafkah sebesar empat sampai lima
dirham."
Sebagian murid beliau berkata,
"Ukuran ini adalah pada waktu pangan murah, adapun pada waktu lain diukur
menurut kecukupan."
Menurut Qardhawi yang benar ialah
pendapat yang mengatakan tidak adanya kriteria tertentu karena perbedaan waktu,
tempat, kondisi, dan orangnya. Sebab, tidak diragukan lagi bahwa pada masa
tertentu diperlukan makan yang lebih banyak daripada masa yang lain, demikian
juga dengan tempat atau daerah, karena di suatu daerah penduduknya biasa makan
dua kali sehari, sedang di daerah lain penduduknya makan tiga kali sehari,
bahkan ada pula yang empat kali sehari. Demikian pula dengan kondisi, pada
musim kurang penghasilan ukuran pangan lebih ketat daripada ketika musim panen.
Begitu juga dengan orangnya, karena sebagian orang ada yang makannya menghabiskan
satu sha' atau lebih, ada yang cuma setengah sha', dan ada pula
yang kurang dari itu.
Menurut Qardhawi adanya perbedaan
ini merupakan kesimpulan induktif yang sempurna, dan dengan adanya
perbedaan-perbedaan ini, maka menentukan ukuran nafkah dengan satu kriteria itu
merupakan penganiayaan dan penyelewengan.
Menurut Qardhawi tidak ditemukan
satu pun dalil dalam syari'ah yang menentukan nafkah dengan kriteria tertentu,
bahkan Nabi saw. Hanya memberikan batasan dengan kecukupan menurut yang ma'ruf, karena Allah telah
berfirman:
... Orang yang mampu menurut kemampuannya, dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula) ..." (Al Baqarah: 236).
Firman Allah dalam Al-Qur'an
surat al-Baqarah (2) ayat 233:
Kewajiban suami untuk menanggung biaya hidup dan pakaian secara patut. (Q.S. al-Baqarah: 233)
Hadis Nabi dari Aisyah yang
mengatakan:
Telah mengabarkan kepada kami, Muhammad bin al-Mutsanna dari Yahya dari Hisyam dari Abi dari 'Aisyah r.a..Hind binti 'Utbah berkata: "Ya Rasulullah, suamiku Abu Sofyan adalah seorang yang amat kikir. la tidak pernah memberikan belanja yang cukup untuk saya dan anak-anak, kecuali kalau saya mengambil uangnya tanpa pengetahuannya." Rasul menjawab: "Ambil sajalah secukupnya untuk engkau dengan anakmu, dengan cara yang baik dan pantas. (H.R. al-Bukhari).
[1]
Yusuf Qarḍhawi, Fatwa-Fatwa
Kontemporer, Jilid 1, Terjemah, As’ad Yasin, Jakarta:
Gema Insani Press, 2008, hlm. 674-675.
[2] Yusuf Qarḍhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, op.cit.,
hlm. 674-675
[3] Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer,
Jilid 1, hlm. 679.
[4] Qardhawi, op.cit., hlm.
681.
[5] Ibid., hlm. 681.