-->

[Opini] Hukuman Tambahan bagi Koruptor

OPINI | ADA ungkapan di dalam masyarakat Aceh: Na nyang pajoeh gajah habeh gadeng-gadeng, na nyang pajoeh kareng ka teuglong aneuk mata (Kata kiasan yang bermakna ada orang yang karena kepiawaiannya sanggup menelan gajah berikut dengan gadingnya, tapi ada yang karena tidak lihai, tertelan ikan teri tersangkut di kerongkongan sampai mata terbelalak). Ungkapan ini menandakan betapa kalau pelaku korupsi itu adalah orang-orang lihai dan di dalam penanganan kasus korupsi terlihat bahwa yang terjerat kebanyakan yang belum lihai bermain. Korupsi memang tergolong white collar crime (kejahatan kerah putih) yang pengungkapan dan penanganannya relatif sukar, karena terkadang kemampuan “sumber daya manusia” (SDM) Korupsi itu lebih tinggi dari SDM aparat penegak hukum.







[Opini] Hukuman Tambahan bagi Koruptor
gambar: inilah.com
Dalam white collar crime pelakunya memang orang-orang terpelajar dengan modus yang canggih. Pelaku dapat membuat skenario bahwa apa yang dilakukan bukanlah pelanggaran, pelaku dapat membungkus kesalahan dengan seolah-olah benar. Sebagai white collar crime dan digolongkan ke dalam kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), kejahatan ini sangat dikutuk oleh semua masyarakat dunia, karena terbukti bahwa korupsi sudah menjadikan perekonomian Negara menjadi hancur, sasaran pembangunan yang dicita-citakan menuju masyarakat adil dan makmur menjadi punah karena perilaku korupsi dari segelintir orang, apalagi kalau di Indonesia sering dikatakan korupsi itu dilakukan secara “berjamaah”.

Dari karakternya memang korupsi itu sepertinya sedikit kemungkinan dapat dilakukan secara tersendiri, kalaupun ada, dapat dipastikan “pahalanya” kecil, atau korupsi kecil-kecilan, namun dalam skala yang besar tentu akan melibatkan pihak lain dan semakin banyak jamaahnya tentu semakin banyak “pahalanya”, barangkali terlalu berburuk sangka kalau kita katakan bahwa di Indonesia korupsi dilakukan secara massif, yakni satu pola korupsi yang disebut dengan corruption by design, pada pola corruption by design ini dibuat aturan-aturan sedemikian rupa, sehingga melalui aturan itu dilakukan suatu perbuatan yang dianggap tidak corrupt karena sudah ada aturannya.

 Perilaku korupsi
Menyikapi hal tersebut, maka wujud kutukan terhadap perilaku korupsi dituangkan dalam bentuk hukuman (pidana) dan di dalam sistem hukum di Indonesia mengenal pidana mati terhadap pelaku korupsi. Sangat diharapkan supaya terhadap koruptor dikenakan pidana yang maksimal. Pidana maksimal di sini bukan hanya dimaksudkan pidana yang tertinggi, malainkan segala bentuk hukuman yang dikenal di dalam system hokum pidana kita, yaitu pidana pokok, pidana tambahan serta di dalam perkembangannya dalam pemidanaan perlu penggunaan double track system di mana terhadap pelaku kejahatan perlu penggunaan dua jalur di samping pidana juga ada tindakan.

Adanya wacana akhir-akhir ini untuk membuka S1 di Lembaga Pemasyarakatan, sepertinya ada beberapa Guru besar yang dipidana karena korupsi diminta untuk mengajar tanpa diberikan honor, ini saya kira sebagai salah satu bentuk tindakan, atau kita buat nama lain bahwa bagi koruptor perlu dikenakan hukuman tambahan dan “tambahan hukuman”. Tapi memang untuk hal seperti ini tidak dapat langsung diterapkan, karena di dalam hukum pidana dikenal adanya azaz legalitas, namun setidaknya sarana hukuman yang sudah ada, yaitu pidana tambahan mutlak diperlukan.

Sistem pemidanaan di dalam hukum pidana terdiri dari dua, yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok yang dikenal antara lain pidana mati, penjara dan denda, sedangkan pidana tambahan antara lain di dalam KUHP Pasal 10 huruf a angka 1 yang menyebutkan bahwa pidana tambahan dapat berupa “pencabutan hak-hak tertentu”. Hak tertentu yang dimaksud dapat berupa hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan yang tertentu yang diatur dalam Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP, atau hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP.

Di dalam UU korupsi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Pasal 18 ayat (1) huruf d ditegaskan bahwa: “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai pidana tambahan adalah pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana”. Hak-hak tersebut adalah seperti hak untuk menduduki jabatan tertentu dan hak politik. Dengan demikian, sebenarnya untuk memaksimalkan hukuman bagi koruptor dengan pidana tambahan tersebut sudah memiliki landasan yang kuat.
Selama ini hukuman tambahan belum banyak diterapkan dalam kasus-kasus korupsi, baru pada akhir-akhir ini ada beberapa kasus, yaitu antara lain putusan kasasi Mahkamah Agung yang memperberat hukuman mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq. Hukuman Luthfi ditambah menjadi 18 tahun penjara dari 16 tahun penjara. Dalam putusan kasasinya, MA juga mencabut hak politik Luthfi untuk dipilih dalam jabatan publik. Kasus lainnya adalah Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara kepada mantan Gubernur Riau Rusli Zainal karena kasus korupsi yang menjeratnya. MA juga mencabut hak politiknya.

 Tak berlaku lagi

Semua pihak tentu mengapresiasi putusan ini dan selayaknya memang begitu, sebab fenomena yang memilukan dewasa ini adalah apa yang kita kenal pada masa dulu sebagai “sanksi sosial”, sepertinya, tidak berlaku lagi. Dulu sering dikatakan bahwa sanksi yang diberikan oleh masyarakat itu jauh lebih berat dari sanksi di dalam peradilan formal, kiranya hal yang seperti ini sekarang sudah berbalik 180 derjat. Masyarakat sepertinya tidak lagi ambil peduli dengan hal-hal yang demikian. Ada orang yang sudah dikecam oleh public karena prilakunya yang tidak sononoh, tapi apa yang terjadi, ketika ia mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, malah mendapat suara yang dalam katagori terbanyak di daerah pemilihannya. Banyak lagi fenomena lain yang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, malah mendapat tempat atau karirnya justru meningkat setelah kejadian itu.

Media sering melansir bahwa ada beberapa “tokoh” korupsi yang justru terpilih menjadi anggota legeslatif. Begitu juga tentang jabatan Publik yang diduduki oleh oknum yang terindikasi terlibat masalah hukum. Jadi dengan demikian sebenarnya sanksi sosial yang dikatakan berat itu hanya ada pada masa-masa yang lalu. Karena itulah pentingnya menjatuhkan pidana tambahan kepada koruptor, yang berupa pencabutan hak politiknya dan hak untuk menduduki jabatan tertentu. Hal ini dimaksudkan bukan hanya sebagai prevensi khusus kepada yang bersangkutan, malainkan juga sebagai prevensi umum kepada orang lain bahwa sekali melakukan korupsi, dia akan kehilangan hak politiknya seumur hidup. Wallahua’lam (*serambi indonesia)

* Dr. Mohd. Din, S.H., M.H., Dosen Fakultas Hukum dan Sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Darussalam, Banda Aceh.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel