Harmonisasi Qanun Acara Jinayat
Wednesday, 16 July 2014
Sudut hukum | Harmonisasi Qanun Acara Jinayat
Oleh : Jabbar Sabil MA
A. Pendahuluan
Qanun Acara Jinayat merupakan hukum formil yang akan menjalankan Qanun
Jinayat sebagai hukum materil di Aceh. Keterkaitan kedua qanun ini tentu
meng-haruskan adanya harmonisasi sehingga menjadi padu sebagai satu kesatuan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian yang dapat memperlihatkan adanya
kepaduan antara Qanun Jinayat sebagai hukum materil dengan Qanun Acara Jinayat
sebagai perangkat yang akan menjalankan materi hukum Qanun Jinayat.
Diasumsikan bahwa kedua qanun ini disusun secara paralel dengan
mempertimbangkan butir-butir hukum materil yang ada sehingga dapat dijalankan
dengan maksimal. Namun demikian, ditemukan adanya kesan bahwa Qanun Acara
Jinayat juga dipersiapkan untuk mengakomodir ketentuan jināyah lain
yang belum diatur dalam Qanun Jinayat sekarang.
Misalnya jināyah pembunuhan yang dikenakan hukuman qisas.
Dari kesan ini terbuka kemungkinan adanya disharmonisasi antara Qanun Jinayat
dengan Qanun Acara Jinayat. Sebab dimungkinkan beberapa sisi dari Qanun Jinayat
terabaikan karena obsesi menyusun Qanun Acara yang mampu mengakomodir
perkembangan Qanun Jinayat, saat jarīmah yang diatur
bertambah.
Berangkat dari asumsi ini, tulisan ini berusaha melakukan penelitian dengan
melakukan penelusuran terhadap Qanun Jinayat dalam konteks beracara. Usaha
penelusuran lewat makalah ini diharapkan dapat mengkritisi sisi harmoni dan
disharmoni Qanun Acara Jinayat dengan Qanun Jinayat, dan dengan Filsafat Hukum
di sisi lain.
B. Gambaran
Umum Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat
Untuk memperoleh gambaran tentang harmonisasi Hukum Acara Jinayat, perlu
ditelusuri jenis pelanggaran yang diatur dan ketentuan-ketentuan hukum yang
diancamkan sebagai hukuman.
a. Ringkasan
Ketentuan Hukum yang Diacarakan
Berikut ini dipetik ringkasan ketentuan dalam Qanun Jinayat yang akan
dijalankan oleh Qanun Acara Jinayat.
Ketentuan Hukum Materil
Qanun Jinayat
No.
|
Jenis ‘Uqubat
|
Pasal
|
Ketentuan Hukuman
|
Keterangan
|
|
Ayat 1
|
Ayat 2
|
||||
1
|
‘Uqubat Khamr
|
Pasal 13
|
40 x cambuk
|
Ta’zir 40 x cambuk/
penjara maks. 40 bulan
|
|
2
|
Produsen khamr
|
Pasal 14
|
80 x cambuk/ denda 80
gr emas murni/ penjara 80 bln.
|
Penjual; 20 x cambuk/
denda 200 gr emas murni/ penjara 20 bln.
|
|
3
|
Maisir
|
Pasal 17
|
60 x cambuk/ denda 600
gr emas murni/ penjara 60 bln
|
Penyelenggara; 120 x
cambuk/ denda 1200 gr emas murni/ penjara 120 bln
|
|
4
|
Khalwat
|
Pasal 20
|
10 x cambuk/ denda
100 gr emas murni/ penjara 10 bln.
|
-
|
|
5
|
Ikhtilat
|
Pasal 22
|
60 x cambuk/denda 600
gr emas murni/ penjara 60 bln.
|
-
|
|
6
|
Zina
|
Pasal 24
|
100 x cambuk/ rajam
|
‘Uqubat ta’zir 40 bln
penjara
|
|
7
|
Pelecehah Seksual
|
Pasal 27
|
60 x cambuk/ denda
600 gr emas murni/ penjara 60 bln.
|
||
8
|
Pelecehan seksual
terhadap anak-anak
|
Pasal 28
|
120 x cambuk/ 1200 gr
emas murni/ 120 bln penjara
|
-
|
|
9
|
Pemerkosaan
|
Pasal 29
|
100-200 x cambuk/
100-200 bln penjara
|
Zina terhadap
anak-anak diancam dg hukuman yang sama.
|
|
10
|
Pemerkosaan thd.
anak-anak
|
Pasal 30
|
100-400 x cambuk/
100-400 bln penjara
|
-
|
|
11
|
Konpensasi
|
Pasal 31
|
4000 gr emas murni/
penjara 100-400 bln.
|
-
|
|
12
|
Qazhaf
|
Pasal 32
|
80 x cambuk
|
Penjara 40 bln.
|
|
13
|
Liwath/ Musahaqah
|
Pasal 33
|
100 x cambuk/ 1000 gr
emas murni/ 100 bln penjara
|
Promotor; 80 x
cambuk/ 800 gr emas murni/ 80 bln penjara
|
|
14
|
Liwath/ Musahaqah
thd. anak-anak
|
Pasal 34
|
200 x cambuk/ 2000 gr
emas murni/ penjara 200 bln penjara
|
-
|
Dari pemetaan di atas, tampak bahwa kebanyakan tindak pidana yang diatur
merupakan delik pengaduan. Dengan demikian, delik seperti ini menuntut adanya
mekanisme beracara yang dapat memberi pembuktian dengan baik. Keterangan para
saksi memegang peranan kunci dalam delik seperti ini. Berikut ini diberi
gambaran tentang ringkasan isi Qanun Acara Jinayat.
b. Kandungan
Qanun Acara Jinayat
Adapun kandungan Qanun Acara Jinayat dapat digambarkan sebagai berikut:
No.
|
BAB
|
Pasal per Bagian
|
Jumlah Pasal
|
|
Bagian
|
Pasal
|
|||
1
|
Ketentuan Umum
|
-
|
Pasal 1
|
1
|
2
|
Ruang Lingkup Berlakunya Qanun
|
-
|
Pasal 2
|
1
|
3
|
Dasar Peradilan
|
-
|
Pasal 3
|
1
|
4
|
Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum
|
1.
Penyelidik dan Penyidik
|
Pasal 4-9
|
6
|
2.
Penyidik Pembantu
|
Pasal 10-12
|
3
|
||
3.
Penuntut Umum
|
Pasal 13-14
|
2
|
||
5
|
Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan
Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan dan Pemeriksaan Surat
|
1.
Penangkapan
|
Pasal 15-18
|
4
|
2.
Penahanan
|
Pasal 19-29
|
11
|
||
3.
Jaminan Penangguhan Penahanan
|
Pasal 30-33
|
4
|
||
4.
Penggeledahan
|
Pasal 34-39
|
6
|
||
5.
Penyitaan
|
Pasal 40-48
|
9
|
||
6.
Pemeriksaan Surat
|
Pasal 49-51
|
3
|
||
6
|
Tersangka dan Terdakwa
|
-
|
Pasal 52-70
|
19
|
7
|
Bantuan Hukum
|
-
|
Pasal 71-74
|
4
|
8
|
Berita Acara
|
-
|
Pasal 75-76
|
2
|
9
|
Sumpah
|
-
|
Pasal 77
|
1
|
10
|
Wewenang Mahkamah untuk Mengadili
|
1.
Praperadilan
|
Pasal 78-84
|
7
|
2.
Mahkamah Syar'iyah
|
Pasal 85-86
|
2
|
||
3.
Mahkamah Syar'iyah Aceh
|
Pasal 87
|
1
|
||
4.
Mahkamah Agung
|
Pasal 88
|
1
|
||
11
|
Koneksitas
|
-
|
Pasal 89-90
|
2
|
12
|
Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
|
1.
Ganti Kerugian
|
Pasal 91-92
|
2
|
2.
Rehabilitasi
|
Pasal 93-94
|
2
|
||
13
|
Penggabungan Perkara Gugatan Ganti
Kerugian
|
-
|
Pasal 95-97
|
3
|
14
|
Penyidikan
|
1.
Penyelidikan
|
Pasal 98-101
|
4
|
2.
Penyidikan
|
Pasal 102-130
|
29
|
||
15
|
Penuntutan
|
-
|
Pasal 131-138
|
8
|
16
|
Pemeriksaan di Sidang Mahkamah
|
1.
Panggilan dan Dakwaan
|
Pasal 139-140
|
2
|
2.
Memutus Sengketa mengenai Wewenang Mengadili
|
Pasal 141-145
|
5
|
||
3.
Acara Pemeriksaan Biasa
|
Pasal 146-176
|
31
|
||
4.
Pembuktian dan Putusan dalam Acara Pemeriksaan Biasa
|
Pasal 177-198
|
22
|
||
5.
Acara Pemeriksaan Singkat
|
Pasal 199
|
1
|
||
6.
Pelbagai Ketentuan
|
Pasal 200-215
|
16
|
||
17
|
Upaya Hukum Biasa
|
1.
Pemeriksaan Tingkat Banding
|
Pasal 216-226
|
11
|
2.
Pemeriksaan untuk Kasasi
|
Pasal 227
|
1
|
||
18
|
Upaya Hukum Luar Biasa
|
1.
Pemeriksaan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum
|
Pasal 228
|
1
|
2.
Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum
Tetap
|
Pasal 229-236
|
8
|
||
19
|
Pelaksanaan Putusan Mahkamah
|
-
|
Pasal 237-244
|
8
|
20
|
Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan
Putusan Mahkamah
|
-
|
Pasal 245-251
|
7
|
21
|
Ketentuan Peralihan
|
-
|
Pasal 252
|
1
|
22
|
Ketentuan Penutup
|
-
|
Pasal 253
|
1
|
Jumlah Pasal
|
253
|
Dari gambaran di atas terlihat bahwa Qanun Acara Jinayat telah mengatur
segala sisi yang dapat memaksimalkan pelaksanaan hukum materil Qanun Jinayat.
Makalah ini tidak akan mengkritisi semua bagian dalam Qanun Acara Jinayat, tapi
hanya menelusuri satu hal yang dianggap sangat berpengaruh bagi pelaksanaan
qanun ini. Hal tersebut adalah tentang pijakan transendental yang memberi sikap
menerima dari masyarakat, keberadaan penyelidik, dan tentang pembuktian.
C. Pijakan
Transenden Keberlakuan Qanun
Secara umum Islam tidak menentukan bentuk negara tertentu untuk menjalankan
hukum Islam, akibatnya muncul beda pendapat tentang bagaimana menjalankan hukum
Islam di tengah bentuk negara bangsa sekarang ini. Persoalannya adalah
bagaimana mengakomodasi pluralisme agama dan etnis dalam negara bangsa. Dan ini
bukan hanya menjadi tantangan bagi umat Islam, tapi juga bagi Kristen dan
Yahudi di Barat.[1] Inti persoalan –menurut ‘Abid
al-Jabiri- adalah pada keberadaan negara sebagai kekuasaan yang melaksanakan
hukum syariat di satu sisi, dan negara sebagai lembaga sosial di sisi lain.[2]
Dalam konteks ini, menjalankan hukum Islam sebagai bentuk ketaatan agama
tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Diperlukan tahap positivisasi ketentuan
hukum Islam itu agar dapat dijalankan dalam konstelasi lembaga negara modern.
Selain itu, tidak semua aturan yang dikehendaki dapat ditemukan dalam bentuk
siap pakai dalam Islam, dibutuhkan usahaijtihād untuk menemukannya.
Hal ini menjadi alasan lain bagi pentingnya usaha positivisasi.
Lebih jauh lagi setiap aturan yang dipandang maslahat bagi kehidupan
manusia dapat dinyatakan sebagai ketentuan yang Islami selama tidak
bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu, para ulama merumuskan kriteria
tertentu sebagai indikator yang menjadi ukuran untuk menyatakan bahwa suatu
ketentuan yang diputuskan tidak bertentangan dengan hukum Islam.[3] Lalu untuk kekuatan keberlakuannya,
sebagian ulama mengembalikannya kepada filosofi kehendak komunal seperti
pendapat Stammler (Kritisches Rechtspositivismus).[4] Amir Syarifuddin mencontohkan aturan
tentang pencatatan perkawinan secara resmi. Aturan ini berlaku karena
kesepakatan bersama akan pentingnya keteraturan suatu perkawinan sehingga wajib
dicatat.[5] Dalam hal ini, keberadaan parlemen
(anggota DPR) dalam format lembaga negara modern, dipandang sebagai
representasi kehendak yang bersama memiliki kekuatan dalam rangka positivisasi
hukum Islam.
Namun demikian, watak hukum Islam yang deduktif memposisikan setiap
ketentuan baru (yang tidak memiliki rujukan tekstual kepada nass)
dalam kecurigaan, dipandang rentan ditunggangi oleh hawa nafsu. Hal ini tentu
harus dijawab dengan menunjukkan sisi maslahah yang
mempertautkan ketentuan baru tersebut dengan nass umum dalam
teori maqāsidsebagaimana dikemukakan oleh al-Syātibī.[6] Kesan ini juga tidak lepas dari
Qanun Jinayat dan Acara Jinayat sebagaimana terlihat pada beberapa bagian yang
dikritisi berikut ini.
Dengan memperhatikan daftar di atas, tampak bahwa secara umum, beberapa
‘uqubat yang diancamkan dengan hukuman cambuk dalam Qanun Jinayat diatur
berdasar ketentuan yang telah dirumuskan dalam fikih. Oleh karena itu, tulisan
ini berangkat dari asumsi bahwa semua ketentuan cambuk itu memiliki rujukan
kepada nass melalui per-istinbāt-anfuqahā’ klasik
tanpa perlu mengkritisinya. Dengan demikian tulisan ini menjadi fokus dan konsentrasinya
tidak terganggu oleh pertanyaan tentang kekuatan pijakan bagi ancaman cambuk
yang ditetapkan.
Konsentrasi bagian ini adalah kepada ditetapkannya ketentuan lain sebagai
alternatif setelah cambuk, yaitu denda dengan emas murni dan penjara yang berimplikasi
bagi disharmonisasi materi hukum ini dalam pengambilan keputusan oleh hakin
saat beracara. Hal ini akan dibahas secara terpisah dalam poin berikut;
1. Dasar
penetapan kadar denda dalam ukuran emas murni
Dalam 14 perbuatan yang diancam dengan ‘uqubat[7] cambuk dalam qanun jinayat[8] pada daftar di atas, dari sisi
ancamannya, terlihat adanya keragaman jarīmah.[9] Ada jarīmah yang
diancam dengan hudūd,[10] dan ada yang diancam dengan ta‘zīr.[11] Dari keempat belas jarīmah itu,
hanya hudūd pada zina yang tidak diperselisihkan. Oleh karena
itu, pasal 24 tidak membuka ruang ijtihād kepada hakim,
hukumannya sudah pasti, cambuk 100 kali untuk yang belum menikah, dan rajam
untuk pezina yang telah menikah.
Adapun pada ‘uqubat khamr (Pasal 13), meskipun telah
ditetapkan hudūd-nya 40 kali cambuk, namun masih ada peluang
menerapkan ta‘zīr, maka ayat dua dalam pasal 13 mengatur tentang
hal ini. Lain halnya pada pemerkosaan, kelihatannya Islam tidak memperkenalkan
istilah ini, dan perkosaan dianggap sama dengan zina. Namun qanun ini memandang
perkosaan sebagai sesuatu yang lebih berat dari zina (Pasal 29) sehingga dikenakan ta‘zīr yang
lebih berat dari hadd zina. Ketentuan hukumnya boleh mencapai
200 kali cambuk, dan dapat dikenakan ta‘zīr penjara maksimal
200 bulan. Bahkan perkosaan terhadap anak-anak (Pasal 30) dapat dihukum sampai
dua kali lipat perkosaan biasa, mencapai 400 kali cambuk.
Selain dari tiga hal di atas (khamr, zina dan perkosaan), ‘uqubat
yang dikenakan terkesan berpola dalam tiga tingkatan. Pertama cambuk, lalu
denda, dan ketiga penjara. Pertanyaannya, susunan yang berpola ini mengandung
makna peringkat sehingga harus berurutan dalam penjatuhannya? Atau ini hanya
menunjukkan keragaman jenis ‘uqūbah yang dibolehkan bagi hakim
untuk memilih hakim? Jawaban atas pertanyaan ini kembali kepada filsafat
penghukuman, bahwa penghukuman adalah untuk memberi efek jera, atau sebagai
pelajaran dan pembinaan bagi pelaku jarīmah.
Kenyataan beragamnya kemampuan terdakwa terkait ketiga jenis ‘uqubat di
atas, mengharuskan adanya kebebasan bagi hakim untuk ber-ijtihād. Namun
sayang, qanun ini tidak mengatur hal ini, bahkan secara prinsip, positivisasi
ini justru mengikat hakim untuk hanya menghukum sesuai dengan butir-butir pasal
qanun. Oleh karena itu, penulis melihat adanya peluang disharmoni pada masalah
ini sebagaimana perbandingan berikut;
Misalnya
dalam pasal 13 tentang khamr, Ayat (1) menyatakan ketentuan hudūd yang
pasti sejumlah 40 kali cambuk.[12] Lalu pada kasus ini diberi peluang
menambah-kan ‘uqubat lain berupa ta‘zīr (denda atau penjara).[13] Dan jika terdakwa ditahan selama
pemeriksaan, masa tahanan itu dapat dimasukkan oleh hakim sebagai bagian
dari ta‘zīrtanpa rasa was-was akan keliru dalam memutuskan perkara.[14] Menurut penulis, rasa was-was di
sini wajar adanya, menjalankan ketentuan jinayat berarti membuat keputusan atas
nama agama.
Sebaliknya
pada ketentuan yang lain seperti pada pelecehan seksual (pasal 27),[15] Qanun Jinayat menetapkan
hukuman ta‘zīr bersamaan dengan denda, lalu dialternatifkan
dengan penjara. Maka dalam beracara, apa yang dapat dipedomani hakim sebagai
dasar menentukan jumlah cambukan dan besar denda. Selain itu, jika ia akan
berpindah kepada ‘uqubat penjara, apa dasar keberpindahannya?
2. Dasar
penetapan masa tahanan
Dilihat dari penetapan ‘uqubat dalam Qanun Jinayat secara umum, terkesan
bahwa ‘uqubat intinya adalah cambuk, karena cambuk dikenakan pada hudūd dan ta‘zīr.
Kesan ini juga tampak dari ketentuan denda dan masa tahanan yang tampak terpola
mengikuti jumlah bilangan cambuk. Namun Qanun Jinayat tidak menjadikan denda
sebagai alternatif setelah cambuk, tapi menjadikan denda sebagai hukuman yang
dikenakan bersamaan dengan cambuk. Hal in terlihat dengan penggunaan kata “dan”
dalam setiap pasal yang memberlakukan cambuk sebagai ta‘zīr. Kata
‘dan’ memberi makna bahwa hukuman cambuk dan denda ditimpakan bersamaan kepada
terdakwa, misalnya Pasal 14[16] tentang produsen/importer khamr,
Pasal 17 tentang maisir, dan pasal-pasal lain yang sejenis.
Namun bunyi pasal yang hanya menyebut batas tertinggi dari hukuman (baik
cambuk, denda maupun penjara), memberi kesan mempermudah bagi hakim untuk bisa
beralih dari ketentuan cambuk dan denda yang disebut pertama pada kasus orang
yang tidak mampu membayar denda. Sebaliknya, hakim bisa dengan mudah
mengabaikan hukuman penjara untuk orang yang mampu membayar denda. Bisa saja
hakim membuat perjanjian dengan terdakwa untuk jumlah angka tertentu, lalu
mengurangi jumlah yang harus dibayarkan sebagai denda. Hal seperti ini tidak
diantisipasi oleh Qanun Acara Jinayat, maka tidak salah jika sebagian orang
menyatakan adanya kesan bahwa orang yang bisa membayar akan dapat terbebas dari
hukum.
Dari sudut pandang ini, perlu adanya aturan yang beracara yang membatasi
wilayah filosofis yang terlalu luas dan ambigu. Harus perjelas alasan-alasan
yang tegas tentang kondisi yang membolehkan hakim untuk beralih dari satu
‘uqubat ke alternatif ‘uqubat lainnya. Kalau tidak, hal ini akan memberikan
ketidakpastian hukum, dan membuka peluang dipermainkannya hukum sampai
kehilangan supremasi.
3. Dasar
pembedaan ‘uqubah pada kasus yang korbannya anak-anak
Hal lain yang juga menyulitkan dalam beracara adalah tidak jelasnya dasar
pertimbangan dalam pembatasan usia anak-anak.[17] Dalam Qanun Jinayat, masa anak-anak
didefinisikan dengan batas usia delapan belas tahun tanpa penjelasan logika apa
yang menjadi pertimbangannya. Mungkin orang-orang akan menduga, bahwa
ditetap-kannya ‘uqubat yang lebih berat pada jarīmah yang
dilakukan terhadap anak-anak, karena ia di bawah umur. Ketidakmengertian
tentang seks berefek trauma psikis bagi diri anak-anak sehingga cukup layak
dikenakan ‘uqūbah dua kali lipat.
Logika yang menduga-duga ini cukup relevan dan mendapat pembenaran saat
dihadapkan kepada kasus pemerkosaan[18] terhadap anak-anak,[19] dan kasus pelecehan seksual[20] terhadap anak-anak.[21] Tapi logika ini segera terbantah
saat dalam Pasal 21[22] tentang khalwat,[23] membatasi perbuatan khalwat
terhadap anak-anak hanya jika dilakukan dengan anak-anak di atas usia 12 tahun.[24]
Pasal ini menggiring logika makna kata anak-anak dalam dua dimensi, usia 12
tahun sebagai sudah mengerti masalah seksual sehingga bisa berkhalwat, dan di
bawah 12 tahun yang tidak dianggap khalwat. Masalah ini berlanjut dalam pasal
ikhtilat,[25] dalam pasal 23 tidak dibatasi
anak-anak dalam usia tertentu seperti pada pasal khalwat. Hal ini dapat
mengakibatkan bias dalam beracara, sebab bisa saja seseorang dituduh
berikhtilath, padahal ia mencium seorang anak perempuan yang usianya belum
sampai dalam batas yang disyahwati pria.
Dasar filosofi yang jelas bagi pendefinisian anak-anak dalam pasal-pasal di
atas sangat penting diperjelas karena pasal-pasal ini sangat mugkin dipolitisir
untuk kepentingan yang bersifat menjebak. Mungkin sangat tepat jika standar
makna maksud dari anak-anak dalam Qanun Jinayat dibatasi dalam kontek batas
syahwat. Dengan batasan ini, hubungan intim antar anak yang telah baligh secara
syahwat, tetap dianggap zina karena ia terbukti telah memahami masalah seksual.
Fakta adanya zina di kalangan anak berusia di bawah 18 tahun, membuktikan bahwa
secara biologis ia tidak bisa lagi dianggap anak-anak, meski secara finansial
ia belum siap menjadi ayah dan ibu.
PENUTUP
Demikianlah sekilas pembahasan tentang Harmonisasi Qanun Acara Jinayat
dengan Qanun Jinayat. Penulis sadar bahwa makalah ini baru menyentuh satu sisi
saja, bahwa sebenarnya masih banyak sisi urgen yang belum terangkat.
Wa Allāh A’lām bi al-sawāb.
Daftar Pustaka
‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan
Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, Yogyakarta: Fajar Pustaka,
2001
Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan
Undang-undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam
Masyarakat yang Majemuk, Jakarta: UI Press, 1995
Hefner, Rober. W, Islam
di Era Negara Bangsa, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
Qanun Aceh, Nomor
… Tahun 2009 Tentang Hukum Jinayat
Qanun Aceh Nomor … Tahun 2009
Tentang Hukum Acara Jinayat
Syarifuddin,
Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, Jakarta: Ciputat Press, 2005
Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt
fī Usūl al-Syarī‘ah, Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.
Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius, 1982
[1] Hefner, Rober. W, Islam di Era Negara Bangsa, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 51
[2] ‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001) hlm. 62
[3] Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 12
1. Isinya sesuai atau sejalan, atau tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2. Peraturan itu meletakkan persamaan kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan.
3. Tidak memberatkan masyarakat
4. Untukmenegakkan keadilan
5. Dapat mewujudkan kemaslahatan masyarakat
6. Prosedur pembentukannya melalui musyawarah.
[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 154
[5] Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 77
[6] Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Syarī‘ah, (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 29
[7] Pasal 1, ayat 11; ‘Uqubat adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelanggaran jarimah.
[8] Pasal 1, ayat 9; Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang jarimah dan ’uqubat.
[9] pasal 1, ayat 10; Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta‘zīr.
[10] Pasal 1, ayat 12; Hudud adalah jenis ‘uqubat yang jumlahnya telah ditentukan dalam qanun ini dan dijatuhkan oleh hakim tanpa menambah atau menguranginya.
[11] Pasal 1, ayat 13; Ta’zir adalah jenis ‘uqubat pilihan yang telah ditentukan dalam qanun ini dan dapat dijatuhkan oleh hakim dalam batas tertinggi dan/atau terendah.
[12] Pasal 13 ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja meminum khamar diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk”.
[13] Ayat (2); “Pelaku jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dikenakan ‘uqubat ta’zir cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali atau penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan”.
[14] Ayat (3) “Masa penahanan atas pelaku jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan tersebut dihitung sebagai ‘uqubat ta’zir”.
[15] Pasal 27; “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pelecehan seksual, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali dan denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan”.
[16] Berikut kutipan bunyi ayat dalam pasal tersebut;
Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, menyimpan/menimbun, mempromosikan, memasukkan khamar baik legal maupun illegal, atau mengimpor khamar dari luar negeri baik legal maupun illegal diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali dan denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan.
Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja menjual/membeli, membawa/mengangkut, atau menghadiahkan khamar diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[17] Pasal 1 ayat, 35; Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah.
[18] Pasal 1, ayat 24; Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban, tidak termasuk hubungan seksual yang dilakukan dengan suami atau isteri.
[19] Pasal 29 ayat (2); Setiap orang yang melakukan zina dengan anak-anak dianggap melakukan pemerkosaan diancam dengan ‘uqubat cambuk paling sedikit 100 (seratus) kali dan paling banyak 200 (dua ratus) kali atau penjara paling sedikit 100 (seratus) bulan dan paling lama 200 (dua ratus) bulan
[20] Pasal 1, ayat 21; Pelecehan Seksual adalah perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang lain tanpa kerelaannya.
[21] Pasal 28; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 (pelecehan seksual, pen.) terhadap anak-anak, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 120 (seratus dua puluh) kali dan denda paling banyak 1200 (seribu dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan.
[22] Pasal 21; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 (khalwat, pen.) terhadap anak yang berumur di atas 12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[23] Pasal 1 ayat (16); Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan.
[24] Pasal 21 ayat (2); Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 terhadap anak yang berumur di atas 12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[25] Pasal 1, ayat 17; Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka.
[2] ‘Abid al-Jabiri, Agama, Negara dan Penerapan Syariah, terj. Mujiburrahman, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2001) hlm. 62
[3] Ahmad Sukarja, Piagam Madinah dan Undang-undang Dasar 1945; Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, (Jakarta: UI Press, 1995), hlm. 12
1. Isinya sesuai atau sejalan, atau tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2. Peraturan itu meletakkan persamaan kedudukan manusia di depan hukum dan pemerintahan.
3. Tidak memberatkan masyarakat
4. Untukmenegakkan keadilan
5. Dapat mewujudkan kemaslahatan masyarakat
6. Prosedur pembentukannya melalui musyawarah.
[4] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hal. 154
[5] Syarifuddin, Amir, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), hlm. 77
[6] Al-Syātibī, al-Muwāfaqāt fī Usūl al-Syarī‘ah, (Kairo: Maktabah al-Tawfīqiyyah, t.th.), jld. I, hlm. 29
[7] Pasal 1, ayat 11; ‘Uqubat adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelanggaran jarimah.
[8] Pasal 1, ayat 9; Hukum Jinayat adalah hukum yang mengatur tentang jarimah dan ’uqubat.
[9] pasal 1, ayat 10; Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh Syariat Islam yang dalam qanun ini diancam dengan ‘uqubat hudud dan/atau ta‘zīr.
[10] Pasal 1, ayat 12; Hudud adalah jenis ‘uqubat yang jumlahnya telah ditentukan dalam qanun ini dan dijatuhkan oleh hakim tanpa menambah atau menguranginya.
[11] Pasal 1, ayat 13; Ta’zir adalah jenis ‘uqubat pilihan yang telah ditentukan dalam qanun ini dan dapat dijatuhkan oleh hakim dalam batas tertinggi dan/atau terendah.
[12] Pasal 13 ayat (1) “Setiap orang yang dengan sengaja meminum khamar diancam dengan ‘uqubat hudud 40 (empat puluh) kali cambuk”.
[13] Ayat (2); “Pelaku jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dikenakan ‘uqubat ta’zir cambuk paling banyak 40 (empat puluh) kali atau penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan”.
[14] Ayat (3) “Masa penahanan atas pelaku jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan tersebut dihitung sebagai ‘uqubat ta’zir”.
[15] Pasal 27; “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pelecehan seksual, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 60 (enam puluh) kali dan denda paling banyak 600 (enam ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 60 (enam puluh) bulan”.
[16] Berikut kutipan bunyi ayat dalam pasal tersebut;
Ayat (1) Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi, menyimpan/menimbun, mempromosikan, memasukkan khamar baik legal maupun illegal, atau mengimpor khamar dari luar negeri baik legal maupun illegal diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 80 (delapan puluh) kali dan denda paling banyak 800 (delapan ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 80 (delapan puluh) bulan.
Ayat (2) Setiap orang yang dengan sengaja menjual/membeli, membawa/mengangkut, atau menghadiahkan khamar diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[17] Pasal 1 ayat, 35; Anak adalah orang yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah.
[18] Pasal 1, ayat 24; Pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur korban dengan zakar pelaku atau benda lainnya yang digunakan pelaku atau terhadap faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau terhadap mulut korban dengan zakar pelaku, dengan kekerasan atau paksaan atau ancaman terhadap korban, tidak termasuk hubungan seksual yang dilakukan dengan suami atau isteri.
[19] Pasal 29 ayat (2); Setiap orang yang melakukan zina dengan anak-anak dianggap melakukan pemerkosaan diancam dengan ‘uqubat cambuk paling sedikit 100 (seratus) kali dan paling banyak 200 (dua ratus) kali atau penjara paling sedikit 100 (seratus) bulan dan paling lama 200 (dua ratus) bulan
[20] Pasal 1, ayat 21; Pelecehan Seksual adalah perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang lain tanpa kerelaannya.
[21] Pasal 28; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 (pelecehan seksual, pen.) terhadap anak-anak, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 120 (seratus dua puluh) kali dan denda paling banyak 1200 (seribu dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 120 (seratus dua puluh) bulan.
[22] Pasal 21; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 (khalwat, pen.) terhadap anak yang berumur di atas 12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[23] Pasal 1 ayat (16); Khalwat adalah perbuatan berada pada tempat tertutup atau tersembunyi antara 2 (dua) orang yang berlainan jenis kelamin yang bukan mahram dan tanpa ikatan perkawinan.
[24] Pasal 21 ayat (2); Setiap orang yang dengan sengaja melakukan jarimah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 terhadap anak yang berumur di atas 12 (dua belas) tahun, diancam dengan ‘uqubat cambuk paling banyak 20 (dua puluh) kali dan denda paling banyak 200 (dua ratus) gram emas murni atau penjara paling lama 20 (dua puluh) bulan.
[25] Pasal 1, ayat 17; Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri atau mahram baik pada tempat tertutup atau terbuka.