Biografi Ibnu Qudamah
Friday, 8 August 2014
SUDUT HUKUM | Ibnu Qudamah memiliki
nama lengkap yaitu Syaikh Muwaffiq al-Din Abu Muhammad,
Abdullah bin Ahmad Ibn Muhammad Ibnu Qudamah al-Hanbali bin Miqdam Ibnu Abdullah al-Maqdisi
al-Dimasyqi. Seorang ulama‟ besar
dibidang ilmu fiqh, yang kitab-kitab fiqhnya merupakan standar bagi madzhab
Hanbali, dan beliau lahir pada bulan Sya‟ban tahun 541H/1147M di Jama‟i
Damaskus Syuriah.
Ibnu
Qudamah menurut sejarawan merupakan keturunan Umar Ibnu Khatab r.a. melalui
jalur Abdullah Ibnu Umar Ibnu al-Khatab (Ibnu Umar). Pada tahun 551H (usia 10
tahun) ayahnya yaitu Abul Abbas Ahmad bin Muhammad Ibnu Qudamah, hijrah bersama
keluarganya dengan kedua anaknya, Abu Umar dan Ibnu Qudamah, juga saudara
sepupu mereka, Abdul Ghani al- Maqdisi, berhijrah dan mengasingkan diri ke
Yerussalem selama dua tahun. Yaitu di lereng bukit Ash-Shaliya, Damaskus.
Setelah dua tahun di sana, mereka pindah ke kaki gunung Qaisyun di Shalihia,
Damaskus, sebuah desa di Libanon. Ibnu Qudamah menghafal Al Quran dan menimba
ilmu-ilmu dasar kepada ayahnya, Abul Abbas, seorang ulama‟ yang memiliki
kedudukan mulia serta seorang yang zuhud. Di desa inilah beliau memulai
pendidikannya dengan mempelajari Al-Qur‟an dan menghafal Mukhtasyar
al-Kharaqi dari ayahnya sendiri. Selain dengan seorang ayah, beliau juga
belajar dengan Abu al-Makarim, Abu al-Ma‟ali, Ibnu Shabir serta beberapa Syaikh
di daerah itu.
Pada
tahun 561H dengan ditemani putra pamannya Al-Hafidz Abdul Ghoni, Ibnu Qudamah
berangkat ke Baghdad Irak untuk menimba ilmu, khususnya dibidang fiqh.
Beliau
menimba ilmu di Irak dari beberapa Syaikh, diantaranya Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani (470H/1077M-561H/1166M) Saat itu Syaikh berumur 90 tahun. beliau
mengaji kepadanya “Mukhtasar
Al-Khiraqi” dengan penuh ketelitian
dan pemahaman yang dalam, karena beliau telah hafal kitab itu sejak di Damaskus.
Kemudian wafatlah Syaikh Abdul Qodir Jailani rahimahullah.
Pada
tahun 574 H beliau pergi ke mekkah untuk menunaikan ibadah haji, sekaligus
menimba ilmu dari syaikh Al-Mubarok Ali Ibnu al-Husain Ibnu Abdillah Ibn
Muhammad al-Thabakh al-Baghdadil (wafat 575 H), seorang ulama‟ besar madzhab
Hanbali dibidang fiqh dan ushul fiqh, Kemudian kembali ke Baghdad dan berguru
selama satu tahun kepada Abu Al-Fath Ibn al-Manni, yang juga seorang ulama‟
besar madzhab Hanbali dibidang fiqh dan ushul fiqh.
Setelah
itu kembali ke Damaskus untuk mengembangkan ilmunya dengan mengajar dan menulis buku. Selanjutnya beliau belajar dengan
Syaikh Nasih al-Islam Abul Fath Ibnu
Manni
mengenai madzhab Ahmad dan perbandingan madzhab. beliau menetap di Baghdad selama 4 tahun. Di kota itu
juga beliau mengaji hadits dengan sanadnya
secara
langsung mendengar dari Imam Hibatullah Ibnu Ad-Daqqaq dan ulama’lain.
Diantaranya
Ibnu Bathi Sa‟addullah bin Dujaji, Ibnu Taj al-Qara, Ibnu Syafi‟i, Abu Zuriah,
dan Yahya Ibnu Tsabit. Setelah itu beliau pulang ke Damaskus dan menetap sebentar di
keluarganya. Lalu kembali ke Baghdad tahun 576 H.
Dalam
kunjungannya yang kedua di Baghdad, beliau melanjutkan untuk mengaji hadits
selama satu tahun, mendengar langsung dengan sanadnya dari Abdul Fath Ibn
Al-Manni. Setelah itu beliau kembali ke Damaskus, di sana dia mulai menyusun
kitabnya “Al-Mughni Syarh Mukhtasar Al-Khiraqi” (fiqih madzhab Imam
Ahmad bin Hanbal). Kitab ini tergolong kitab kajian terbesar dalam masalah
fiqih secara umum, dan khususnya di madzhab Imam Ahmad bin Hanbal.
Sampai-sampai Imam „Izzudin Ibn Abdus Salam As-Syafi‟i, yang digelari Sulthanul
ulama„ mengatakan tentang kitab ini: “Saya merasa kurang puas dalam berfatwa
sebelum saya menyanding kitab Al-Mughni.”
Banyak
para santri yang menimba ilmu hadis kepadanya, fiqih, dan ilmuilmu lainnya. Dan
banyak pula yang menjadi ulama fiqih setelah mengaji kepadanya. Diantaranya,
keponakannya sendiri, seorang qadhi terkemuka, Syaikh Syamsuddin Abdur Rahman
bin Abu Umar dan ulama lain seangkatannya. Di samping itu beliau masih terus
menulis karya-karya ilmiah di berbagai disiplin ilmu, lebih-lebih di bidang
fiqih yang dikuasainya dengan matang.
Murid-muridnya
yang menonjol antara lain adalah dua orang anak kandungnya, yakni Abu al-Fajr
Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu Qudamah, ketika itu (ketua mahkamah agung di
Damaskus). Dan al-Imam Ibrahim Ibnu Abdul Wahib Ibnu Ali Ibnu Surur al-Maqdisi
al-Dimasqy (di kemudian hari menjadi ulama‟ besar dikalangan madzhab Hanbali)
sejak menjadikan dirinya sebagai pengajar di daerah itu sampai wafat pada tahun
620 H/ 1224 M.
Ibnu
Qudamah selain sibuk dengan mengajar dan menulis buku, sisa hidupnya juga
diabadikannya untuk menghadapi perang salib melalui pidatopidatonnya yang tajam
dan membakar semangat umat Islam. Beliau sebagai ulama‟ besar Hanabilah yang zuhud,
wara‟,
dan ahli ibadah serta mengusai semua bidang ilmu, baik Al-Qur‟an dan tafsirnya,
ilmu hadis, fiqh dan ushul fiqh, faraid, nahwu, hisab dan lain sebagainya.
Gurunya
sendiri Al-Fath Ibn al-Manni mengakui keunggulan dan kecerdasan Ibnu Qudamah,
sehingga ketika beliau akan meninggalkan Irak setelah berguru kepadanya,
gurunya ini enggan melepasnya, seraya berkata; “Tinggalah engkau di Irak ini
karena jika engkau pergi, tidak ada lagi ulama‟ yang sebanding dengan engkau
disini.”
Sebagaimana
yang diceritakan oleh Sabth Ibn al-Jauzi di mana beliau pernah berkata dalam
hati (ber-‟azam)
seandainya aku mampu, pasti akan kubangun sebuah madrasah untuk Ibnu Qudamah
dan akan aku beri seribu Dirham setiap harinya. Selang beberapa hari beliau
bertandang ke kediaman Ibnu Qudamah untuk bersilaturrahmi, seraya tersenyum,
Ibnu Qudamah berkata kepadanya, “Ketika seorang berniat melakukan sesuatu yang
baik, maka dicatat baginya pahala niat tersebut.” Pengakuan ulama‟ besar
terhadap luasnya Ibnu Qudamah dapat dibuktikan zaman sekarang melalui
karya-karya tulis yang ditinggalkannya.
Sebagai
seorang ulama‟ besar dikalangan madzhab Hanbali, beliau meninggalkan beberapa
karya besar yang menjadi standar dalam madzhab Hanbali. Karyanya dalam bidang
ushuluddin sangat bagus, kebanyakan menggunakan metode para muhaditsin yang
dipenuhi hadits-hadits atsar beserta sanadnya, sebagaimana metode yang
digunakan oleh Imam Ahmad Ibn Hanbal dan Imam-imam hadits lainnya.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Abdul Aziz Abdurrahman Al- Said, seorang tokoh
fiqh arab Saudi, karya-karya Ibnu Qudamah dalam berbagai bidang ilmu seluruhnya
berjumlah 31 karya atau buah, dalam ukuran besar dan kecil.
Imam
Ibnu Qudamah wafat pada hari Sabtu, tepat di hari Idul Fitri tahun 629 H.
Beliau dimakamkan di kaki gunung Qasiun di Shalihiya, di sebuah lereng di atas
Jami‟ Al-Hanabilah (masjid besar para pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal).
(INAYATUS SHOLIKHAH)