-->

Hukum Pidana dalam Yurisprudensi

YURISPRUDENSI, ARTI DAN PERANANNYA BAGI HUKUM PIDANA
Tidak dapat disangkal bahwa tugas darpada seorang hakim adalah berbeda, berlainan dari pada tugas dan kewenangan dari pembentuk undang-undang. Dapat dikatakan bahwa baik hakim maupun pembentuk undang-undang menentukan atau menetapkan hokum yang dapat diartikan dalam arti yang berbeda pula. Pembentuk undang-undang membentuk hokum secara in abstracto yaitu merumuskan peraturan hukum secara umu yang berlaku bagi semua orang yang tunduk pada ketentuan undang-undang. Lain halnya kedudukan hakim, ia sebaliknya yaitu menetapkan hukum secara in concreto dimana hakim menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan kepadanya untuk diadili dan diputus.
Terkait hal ini, dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah menggariskan tentang tugas hakim sebagai berikut :
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih, bahwa hukum tidak atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya.
Menurut pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 digariskan lebih lanjut tentang kewajiban hakim, sebagai berikut :
Hakim sebagi penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
Lebih lanjut dapat dikatakan disini, bahwa bagi hakim pidana berlaku pula asas “nullum delictum, nulla poena sine praevia lege ponali”, sebagaimana dapat ditarik dari isi ketentuan pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang menandung arti bahwa perbuatan apa dan yang bagaimanakah yang dilarang diperbuat orang serta yang diancam dengan pidana barang siapa yang melanggar larangan tersebut, diletkan sepenuhnya dalam kekuasaan pada (badan) pementuk undang-undang pidana.
Akan tetapi dilain pihak, untuk menilai sereta selanjutnya menentukan apakah sesuatu kata dalam perumusan ketntuan undang-undang pidana adalah jelas ataupun tidak hal itu harus ditetapkan oleh hakim (pidana) sesuai tugas serta kewenangannya menetapkan hukum pidana secara in concreto seperti apa yang telah digariskan dalam pasal 14 (1) tersebut diatas. Oleh karena itu, kiranya tidak ada seorangpun yang menolak hak hakim pidana untuk menafsirkan undang-undang pidana didalam rangka menjalankan tugas serta kewenangannya menerapkan hukum pidana secara in concreto itu.
Didalam putusannya itu. hakim pidana, menurut pendapat R. Sardjono sebagaimana dikemukakan dalam Raker Hakim dan Panitera dalam wilayah hukum Pengadilan Tinggi Jakarta pada tahun 1972, antara lain :
  1. Merupakan suatu pertanggungan jawab dari hakim mengenai alasa-alasan yang menjadi dasar putusannya itu terhadap masyarakat dan negara dalam kedudukannya sebagai alat perlengkapan negara, yang dibuatnya dengan jalan menyusun pertimbangan putusan tersebut.
  2. Pertimbangan-pertimbangan itu harus merupakan keseluruhan yang lengkap, tersusun secara sistematis dan satu sama lainnya mempunyai hubungan yang logis tidak ada pertentangan (tegenstrijdigheid) satu sama lain (innerlijke tegenstrijdigheid), pertentangan-pertentangan mana juga tidak boleh terdapat antara pertimbangan-pertimbangan putusan dan dictum putusan.
  3. Hakim harus menilai kekuatan pembuktian tiap alat bukti dan memberi kesimpulannya mengenai soal terbukti atau tidaknya tuduhan terhadap si terdakwa.
  4. Hakim dalam mempertimbangkan perkara adalah tidak bebas, melainkan terikat pada hukum, undang-undang dan rasa keadilan, sehingga dengan demikian segala kesan bahwa hakim bertindak sewenang-wenag sekaligus dapat dilenyapkan.
  5. Hubungan antara dictum (amar) putusan dan pertimbangan adalah bahwa setiap bagian dari dictum putusan harus didukung oleh pertimbangan tertentu.
Dengan demikian telah diketahui bahwa hakim dilarang secara tegas untuk menolak mengadili suatu perkara (pidana) yang dihadapkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Sedangkan dilain pihak haikm diwajibkan pula untuk menggali, mengikutidan memahami nilai-nilai hukum yang hidup didalam masyarakat.
SURAT DAKWAAN, ISI SERTA PERANANNYA MENURUT YURISPRUDENSI DEWASA INI
Surat dakwaan menurut hukum acara pidana, sepertipun yang termuat dalam KUHAP jo Undang-undang No. 8 Tahun 1981 mempunyai peranan yang sangat penting, karena surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa dalam kedudukannya sebagai Penuntut Umum menjadi dasar pemeriksaan disidang pengadilan. Kemudian surat dakwaan itu menjadi pula dasar dari putusan hakim (Majelis Hakim). Betapa pentingnya surat dakwaan itu dapat terlihat dari bunyi pasal 197 KUHP, dalam hal putusan pemidanaan, haruslah didasarkan kepada dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. Sebagai konsekuensi logis dari sifat dan hakikat surat dakwaan digariskan dalam KUHAP seperti dikemukakan diatas, musayawarah-terakhir untuk mengambil keputusan Majelis Hakim wajib mendasarkannya kepada isi surat dakwaan (pasal 182 ayat 4 KUHAP).
Dari hal tersebut diatas jelas kiranya bahwa betapa pentingnya peranan yang dijalankan oleh surat dakwaan dalam proses pemeriksaan perkara pidan. Surat dakwaan dengan demikian merupakan dasar hukum acar pidana, sehingga seorang terdakwa yang diajukan ke depan persidangan atas dakwaan melakukan suatu kejahatan, akan diperiksa, diadili dan diputus atas dasar surat dakwaan yang telah disusun secara terperinci dan jelas oleh Jaksa selaku Penuntut Umum dan bukan oleh hakim seperti halnya diatur dalam HIR sebelum berlakunya Undang-undang No. 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan RI.
Dalam pada itu, seperti halnya ditegaskan dalam Bab “memutuskan” dari Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP telah mencabut “Het Herziene Inlandsch Reglement” Stbl Tahun 1941 No. 44 jo Undang-undang No. 1 Tahun 1951 L.N 1951 Nomor 9 “sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana”, sehingga atas dasar itu dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengubah atau merubah surat dakwaan, seperti ditentukan dalam pasal 14 dari Undang-undang Darurat diaksud tersebut tadi. Dalam kaitan ini MA dalam putusannya No. 589K/ Pid/1984 tanggal 17 Oktober 1984 menggariskan “Pengadilan Tinggi tidak berhak merubah dakwaan”.
Karena pentingnya surat dakwaan ini didalam pemeriksaan perkara sehingga walaupun terdakwa memang benar telah terbukti melakukan perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam dakwaan Jaksa, akan tetapi apabila ternyata perbuatan-perbuatan yang didakwaan dalam surat dakwaan Jaksa adalah tidak sesuai atau tidak selaras dengan teks aslinya dari rumusan delik yang didakwakan telah dilanggar oleh terdakwa maka dakwaan itu harus dinyatakan “tidak dapat diterima dan terdakwa harus segera dikeluarkan dari tahanan”.
Dalam rangka pembahasan tentang surat dakwaan ini, perlu dikatahui bahwa menurut pengetahuan dan juga yurisprudensi, surat dakwaan itu dapat disusun dan dirumuskan dala beberapa bentuk, yakni :
1. Dakwaan Tunggal.
Hal ini disusun dalam bentuk paling sederhana dalam hal seseorang atau lebih terdakwa disangka telah melakukan satu perbuatan atau satu tindak pidana saja. Misalnya melakukan tindak pidana “pencurian” jo pelanggaran, pasal 362 KUHAP.
2. Dakwaan Alternatief.
Memang benar dalam dakwaan itu sendiri tercantum beberapa perbuatan tetapi yang harus dapat dibuktikan adalah hanya satu perbuatan saja, dipilih diantara yang didakwakan itu satu (perbuatan). Sehubungan dengan hal tersebut, dakwaan ini  disebut pula “dakwaan pilihan”.
Dakwaan dengan cara ini dibuat dalam hal, Penuntut Umum ragu-ragu menerapkan pasal manakah dari perbuatan yang dilakukan terdakwa itu paling tepat sehingga dapat dibuktikan dalam persidangan nanti.
Dalam dakwaan alternatief ini masing-masing dakwaan akan saling mengecualikan satu sama lain. Hakim akan memilih salah satu perbuatan yang didakwakan terbukti menurut keyakinannya tanpa memeriksa dan memutus dakwaan lainnya.
3. Dakwaan Subsidair.
Seperti halnya apa yang dikemukakan diatas, dalam hal dapat diadakan pilihan diantara beberapa perbuatan yang ddakwakan disebut pula pendakwaan secara alternatief atau subsidair. Didalam praktek menurut Van Bemmelen kedua istilah ini seringkali dipergunakan secara campur aduk, akan tetapi pada hakekatnya diantara kedua bentuk itu terlihat ada perbedaannya yaitu pendakwaan secara alternatief dianggap sebagai pernyataan yang lebih luas dan mencakup pula pendakwaan secara subsidair dalam arti sempit.
Dalam hal pendakwaan secara alternatief hakim harus melakukan pilihan, untuk selanjtnya ia mempunyai kebebasan untuk menyatakan perbuatan sebagaimana dirumuskan kedua dinyatakan sebagai terbukti tanpa terlebih dahulu adanya kewajiban untuk menyatakan perbuatan yang pertama-tama didakwakan.
Lain halnya dalam hal pendakwaan subsidair dalam arti yang sesungguhnya, disini adanya maksud atau tujuan dari perumusan dakwaan bahwa hakim pertama-tama harus memeriksa perbuatan yang erdahulu dicantumkan dalam surat dakwaan, dakwaan primair itulah yang harus diperiksa dan dalam hal dakwaan primair ini tidak dapat dibuktikan barulah diperiksa dakwaan dibawahnya ataupun yang disebut “pendakwaan subsidair”.
4. Dakwaan Kumulatief.
Tidak ada satu ketentuanpun dalam KUHAP yang melarang diadakan pendakwaan lebih dari satu perbuatan, sehubungan dengan hal itu ada kemungkinan beberapa perbuatan tidak ada sangkut pautnya satu sama lain telah dilakukan seseorang pada saat-saat yang berlainan pula. Umpamanya saja, seseorang telah melakukan pencurian pada bulan Juli dan berbuat penipuan pada bulan Agustus dalam tahun yang sama, dalam hal yang demikian ini telah terjadi “meerdaadsesamenloop” atau “perbarengan perbuatan”. Beberapa perbuatan diminta supaya diadili secara sekaligus. Pada terdakawa dalam pendakwaan didakwakan beberapa (cumulatief) perbuatan.
Pembuatan surat dakwaan diatas harus memenuhi dua syarat yang pokok yaitu :
a)      Syarat Formal
Surat dakwaan mutlak harus berisi syarat-syarat formal ini, meskipun demikian, jika tidak dipenuhi syarat-syarat formal ini, tidak diancam pembatalan.
Syarat-syarat formal dibuat dalam surat dakwaan adalah guna dapat meneliti “identitas”, apakah benar terdakwa inilah yang harus dihadapkan ke sidang pengadilan ataukah orang lain. Yang terpenting adalah bahwa surat dakwaan itu harus disampaikan kepada :
-  Tersangka atau kuasanya (penasehat hukumnya).
-  Penyidik.
Pasal 143 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani, berisikan nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama serta pekerjaan tersangka.
b)      Syarat Materiil.
Menurut ketentuan perundang-undangan, tidak dipenuhinya syarat materiil ini dalam dakwaan, membawa akibat batalnya dakwaan.
Adapun syarat materiil ini adalah berupa “uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan”.
Pentingnya penyebutan waktu dan tempat dlam surat dakwaan adalah untuk menentukan pengadilan yang manakah yang berwenang mengadili dan juga untuk membuktikan ketika terdapat alibi (berada ditempat lain) dari terdakwa saat dalam proses persidangan.( R. Ahmad. S. Soema Di Pradja )

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel