Pandangan Maliki dan Syafii tentang Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Dzakar
Saturday 7 March 2015
Sudut Hukum | Pandangan Maliki dan Syafii tentang Batalnya Wudhu Karena Menyentuh Dzakar
Madzhab Maliki (Al-Malikiyyah)
Mereka berkata bahwa wudhu itu
menjadi batal karena menyentuh dzakar dengan beberapa syarat:
- Menyentuh dzakarnya sendiri yang masih melekat padanya. Jika seseorang menyentuh dzakar orang lain berlakulah baginya hukum menyentuh orang lain secara umum.
- Orang yang menyentuh itu telah dewasa, meskipun ia seorang banci (wadam); maka dengan menyentuh dzakar ini wudhu seorang yang masih belum dewasa tidak batal.
- Sentuhan itu dilakukan dengan tanpa satir.
- Sentuhan itu dengan telapak tangan bagian dalam atau bagian pinggir, atau dengan jari bagian dalam, pinggir atau ujungnya, meskipun jari tambahan yang mempunyai kesamaan dengan jari asli dalam hal penggunaan dan merasakan. Tidak batal wudhu jika sentuhan itu dilakukan dengan anggota badan yang lain seperti paha atau lengan, sebagaimana jika sentuhan itu dilakukan dengan kayu atau dengan memakai satir (penghalang).
Wudhu menjadi batal lantaran sentuhan yang memenuhi
syarat- syarat tersebut diatas; baik ia merasakan nikmat atau tidak, baik
dengan sengaja atau lupa. Wudhu seorang wanita tidak menjadi batal
karena ia menyentuh kemaluannya, meskipun ia sampai memasukkan jarinya dan
merasakan nikmat. Dan wudhu seseorang tidak menjadi batal karena
menyentuh lingkaran dubur atau memasukkan jari ke dalamnya.
Demikian menurut pendapat yang rajih (kuat), meskipun hal
itu haram hukumnya, jika dilakukan tanpa ada kebutuhan yang mendesak.
Wudhu juga tidak menjadi batal karena menyentuh sisa
dzakar yang terpotong, bagian bawah dzakar atau rambut
sekitarnya, meskipun ia merasakan nikmat. Adapun menyentuh dubur orang lain atau kemaluan
seorang perempuan, maka yang berlaku baginya adalah hukum menyentuh orang lain
secara umum.
Madzhab Syafi'i (Asy Syafi’iyyah)
Mereka berkata bahwa wudhu itu menjadi
batal karena menyentuh dzakar, baik yang masih melekat atau yang sudah terpisah
dari pemiliknya, asal tidak dipotong-potong yang mengakibatkan ia kehilangan
namanya. Dan juga wudhu itu dapat batal karena menyentuh tempat bekas
potongan dzakar. menyentuh dzakar itu benar-benar dapat membatalkan wudhujika memenuhi beberapa syarat:
- Tanpa satir
- Dengan telapak tangan bagian dalam atau jari-jarinya.
Yang dimaksud telapak tangan atau
jari-jari bagian dalam adalah bagian yang tidak tampak ketika telapak tangan yang satu ditutupkan
pada yang lain dengan menekan sedikit. Maka wudhu
tidak menjadi batal karena menyentuh dzakar dengan telapak tangan bagian
pinggir atau ujung jari atau bagian di antara jari-jari itu.
Demikianlah bahwa Ulama Syafi'iyyah
sebagaimana Ulama Hanafiyyah tidak mengkhususkan batalnya wudhu karena
menyentuh hanya pada dzakarnya sendiri, tetapi menurut pendapat mereka juga
menyekup dzakar orang lain. Oleh karena itulah mereka berkata bahwa menyentuh
dzakar itu membatalkan wudhu secara mutlak baik milik sendiri atau milik
orang lain, meskipun kepunyaan anak kecil atau seorang yang telah meninggal
dunia (mayit).
Hanya saja yang dihukumi batal adalah wudhu
orang yang menyentuh, tidak orang yang dzakarnya disentuh. Demikian juga wudhu
seorang wanita menjadi batal karena menyentuh kemaluannya, sebagaimana wudhu
orang lain yang menyentuhnya. Lingkaran dubur hukumnya sama dengan kemaluan
menurut mereka. Berbeda dengan kantung sperma di bawah dzakar dan rambut
disekitarnya menyentuh kedua bagian itu tidak membatalkan wudhu.
Keterangan lain dapat ditemukan misalnya
dalam kitab Bidayat al Mujtahid wan Nihayat al-Muqtasid. Penyusun kitab ini mengelompokkan pendapat
para ulama yang dapat dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama menyatakan bahwa menyentuh zakar
dengan cara apapun, itu membatalkan wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi'i dan pengikutnya, Ahmad, dan
Dawud. Kelompok kedua berpendapat bahwa menyentuh zakar itu sama sekali tidak membatalkan
wudhu. Pendapat ini dipegangi oleh Abu Hanifah dan pengikutnya. Dua
kelompok di atas sama-sama mempunyai legitimasi pendapat di kalangan sahabat
dan tabiin.
Kelompok ketiga membedakan cara menyentuh
zakar itu yang terbagi atas beberapa pendapat:
- Pendapat yang membedakan antara sentuhan yang terasa enak dan tidak. Jika terasa nikmat membatalkan wudhu dan jika sebaliknya tidak membatalkan.
- Pendapat yang membedakan antara sentuhan dengan telapak tangan dan sentuhan dengan lainnya. Jika menyentuh dengan telapak tangan membatalkan wudhu, dan jika tidak dengan telapak tangan tidak membatalkan. Dua pendapat di atas diriwayatkan dari Malik dan muridmuridnya. Mungkin menurut kelompok ini telapak tangan dianggap membawa kenikmatan khusus.
- Pendapat yang membedakan antara sengaja dan lupa. Jika menyentuh zakar secara sengaja dengan telapak tangan, maka itu membatalkan wudu. Tetapi jika menyentuhnya karena lupa, maka itu tidak membatalkan.
Pendapat ini diriwayatkan dari Malik yang
didukung oleh Dawud dan para pengikutnya. Sebagian lagi ada ulama yang menyatakan bahwa
keharusan wudhu karena menyentuh zakar itu hanya sunat, bukan wajib.
Menurut Imam Taqi al-Diin, di antara hal
yang merusak wudhu ialah menyentuh farjinya anak Adam, baik farjinya
sendiri atau milik orang lain. Farjinya perempuan maupun farjinya laki-laki,
anak kecil maupun orang dewasa. Orangnya masih hidup maupun sudah mati, dan yang disentuh
itu qubul maupun dubur. Sebab kata farji itu mencakup makna hal-hal tersebut.
Menyentuh zakar yang sudah terpotong,
atau menyentuh zakar yang masih ada bentuknya, atau menyentuh zakar dengan tangan yang lumpuh dapat membatalkan wudhu menurut
qaul yang rajih. Andaikata orang itu menyentuh dengan tangan tambahan, maka
jika tangannya itu genap jari-jarinya, dapat membatalkan wudhu. Jika
tidak genap (tidak sempurna), tidak membatalkan wudhu. Sedangkan Imam
An-Nawawi sebagaimana dikutif oleh Zakiah Daradjat, mengatakan yang membatalkan
wudhu di antaranya adalah memegang kemaluan. Namun tentang hal ini hukumnya
masih diperselisihkan ulama.