Analogi dalam hukum positif Indonesia
Thursday, 27 February 2014
Dalam acara ILC beberapa waktu lalu sempat
membahas tentang masalah pemilu serentak. Awal tahun 2014 mahkamah Konstitusi
(MK) telah mensahkan pemilu serantak, namun dengan persyaratan bahwa putusan
itu tidak dijalankan pada pemilu 2014 ini, namun di tahun 2019.
Pak karni Ilyas, selaku pemandu acara,
memberikan kesempatan pada pak Yusril (YIM) untuk memberikan pendapatnya
tentang putusan ini. Dalam penjelasannya,
pak YIM menyamakan putusan ini seperti kumpul kebo. Beliay mengibaratkan,
suami istri yang mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, lalu suami istri tersebut bercerai, dan ikrarnya
diucapkan dipengadilan, namun dalam putusan pengadilan disebutkan bahwa putusan
itu baru berlaku 3 tahun kedepan.
Lalu, setelah bercerai mereka tetap pulang
kerumah, tidur bersama, makan bersama, segalanya bersama, hal ini dikarenakan
dalam putusan tercantum bahwa putusan itu berlaku 3 tahun lagi. Sehingga Pak YIM mengatakan ini sama saja dengan kumpul
kebo.
Dipenghujung acara, pak Karni memberikan
kesempatan pada peserta lain untuk berbicara. Beliau mengatakan, jangan
menganalogikan seperti itu, analogi seperti itu hanya akan menguntungkan para
pengajukan yudicial review, karena kalau kita mau menganalogi, ada juga
analogi yang menguntungkan MK, yaitu kawin gantung. Kawinyya sekarang,
bertempurnya 3 tahun lagi.
Dalam percakapan diatas dapat kita lihat
bahwa, ada yang menerima analogi, ada juga yang menolak analogi, kedua teori
ini diakui dalam ilmu hukum. Bahkan masing-masing punya aliran tersendiri.
Analogi bukanlah masalah baru dalam hukum
positif, penerapan tentang analogi sudah jauh-jauh hari dilakukan, seperti
dalam masalah pencurian listrik di Belanda. Pada saat itu dalam hukum pidana
belanda tidak mengatur tentang masalah pencurian listrik, disisi lain,
pencurian listrik juga tidak bisa dibiarkan karena dapat mengganggu orang lain.
Maka dalam masalah ini, pengadilan di Belanda menggunakan analogi untuk
menyelesaikannya.
Pada tahap selanjutnya, anaolgi juga
diterapkan dalam hukum pidana di Indonesia, dalam menghadapi kasus teknologi
informasi misalnya, di Indonesia—sebelum adanya UU ITE—jika terjadi kejahatan
cyber, hukum yang digunakan adalah hukum pidana (KUHP). Meskipun dalam KUHP
belum ada pasal yang mengatur tentang kejahatan cyber namun bisa tercakup
dengan menggunakan analogi.
Dalam hal ini, seseorang yang mencoba masuk
ke wibesite orang lain disamakan dengan masuk kerumah orang lain, sehingga
pasal yang digunakan adalah pasal yang mengatur tentang masalah masuk ke rumah orang lain tanpa izin
seperti pasal 167 KUHP.
Pada pasal-pasal lain juga banyak
menggunakan analogi supaya cakupan pasal tersebut lebih luas, seperti:
a. Kata barang dalam 174,
b. Anak kunci, dalam pasal 178
c. Surat dalam pasal 188
d. Masuk dalam pasal 190
e. Dan banyak lagi pasal-pasal lain yang dianalogikan
Dari paparan tersebut kita dapat mengatahui
bahwa dalam hukum positif di Indonesia mengakui adanya analogi. Meskipun untuk
saat ini, penggunaan analogi dalam hukum sudah dibatas, hal ini terlihat dari
RUU Pidana baru yang melarang penggunaan analogi.
Jika dalam pembahasa RUU ini, pasal ini
tidak di hilangkan maka saya takutkan, pelaksanaan hukum pidana akan menemui
jalan buntu, karena walau bagai manapun analogi itu tetap kita butuhkan. Hal ini
bukan tanpa alasan, mengingat penrkembangan berjalan dengan sangat pesat. Bisa saja,
hal-hal yang hari ini tidak kita sangka, namun 10 tahun kemudia itu terjadi,
jika hukum melarang penggunaan analogi, bagaimana kita mencakup masalah baru
tersebut? Apakah harus membuat UU yang baru?.