Sumber Hukum Peradilan Agama
Thursday 6 March 2014
Sudut Hukum | Secara garis besar, sumber hukum di
peradilan agama ada dua:
a. Sumber hukum Materiil
b. Sumber hukum Formil
_______________
A. Sumber Hukum Materill
Hukum Materiil, yaitu hukum yang mengatur
kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan
larangan. Hukum materil peradilan agama adalah hukum Islam (yang
biasanya disebut fiqh).
Hukum materiil Peradilan Agama pada masa
lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam
berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab
fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan
ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan
tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut
dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.
Berikut adalah hukum materil yang digunakan
dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun
pengesahannya:
·
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan
Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak
dan rujuk.
·
Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735
tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45 Tahun 1957 tentang
Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.
Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas
dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan
memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan
agar menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain;
1. Al-Bajuri;
2. Fatkhul Mu’in;
3. Syarqawi ‘Alat Tahrir;
4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;
5. Fatkhul wahbah;
6. Tuhfah;
7. Targhib al-Mustaq;
8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;
9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;
10. Syamsuri li Fara’id;
11. Bughyat al-Musytarsyidin;
12. al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah;
13. Mughni al-Muhjaj.
Sebagai kitab ilmiah, maka hukum yang
terkandung didalamnya bukan merupakan hukum tertulis sebagaimana
perundang-undangan yang dibuat oleh eksekutif dan legislatif. Bagi yang
berpendapat bahwa hukum positif adalah hukum yang tertulis, hukum-hukum menjadi
pedoman PA masih dianggap sebagai hukum yang secara riil berlaku dalam
masyarakat adalah hukum positif. hal ini di legalisasi dengan ketentuan Pasal
27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman bahwa seorang hakim mengadili, memahami, dan mengikuti nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat.
1. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
UU ini menandai fase baru penerapan hukum
Islam di Indonesia. Fase ini menurut Dr. H. Aminiur Nuruddin, MA adalah pintu
gerbang fase taqnin (fase pengundangan) hukum Islam. Banyak sekali
ketentuan-ketentuan fikih Islam tentang perkawinan ditransformasikan kedalam UU
ini kendati dengan modifikasi disana-sini.
2. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan pelaksaan UU No. 1 Tahun 1974
3. PP No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik.
4. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo UU No. 3 Tahun 2006
5. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Inpres ini mengamanatkan Menteri Agama
untuk menyebarluaskan KHI yang terdiri dari buku I tentang Hukum Perkawinan,
buku II tentang Hukum Kewarisan, buku III tentang Hukum Perwakafan sebagai
pedoman Hakim Agama memutus suatu perkara.
6. UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
7. UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
8. Rancangan Undang-undang terkait hukum materiil PA yang masih dalam
proses legislasi :
-RUU Terapan Peradilan Agama
-RUU Perbankan Syariah
-RUU SBSN (Surat Berharga Syariah Nasional)
-Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
________________________________________________________
B. Hukum Formil
Hukum Formil, yaitu hukum yang mengatur cara-cara
mempertahankan dan melaksanakan hukum materiil. dengan kata lain, hukum yang
memuat peraturan yang mengenai caracara mengajukan suatu perkara ke muka
pengadilan dan tata carahakim memberi putusan.
Sumber hukum formil di
peradilan agama adalah:
1.
Reglement op de
Burgerlijk Rechtsvordering (B.Rv)
Hukum Acara yang
termuat dalam B.Rv ini diperuntukkan untuk golongan Eropa yang berperkara
dimuka Raad van Justitie dan Residentie gerecht.
Saat ini secara umum B.Rv sudah tidak berlaku lagi, kecuali ketentuan-ketentuan
mengenai formulasi surat gugatan, perubahan surat gugat,
intervensi dan beberapa ketentuan Hukum Acara Perdata lainnya.
2.
Inlandsh Reglement (IR)
Ketentuan Hukum Acara
ini diperuntukkan untuk golongan Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di Jawa
dan Madura. Setelah beberapa kali perubahan dan penambahan Hukum acara ini
dirubah namanya menjadi Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) atau
disebut juga Reglemen Indonesia yang diperBaharui (RIB) yang diberlakukan
dengan Stb. 1848 Nomor 16 dan Stb. 1941 nomor 44.
3.
Rechtsreglement
voor de Buitengewesten (R.Bg)
Ketentuan Hukum Acara ini diperuntukkan untuk golongan
Bumi Putra dan Timur Asing yang berada di luar Jawa dan Madura yang berperkara
di muka Landraad.
4.
Bugerlijke Wetbook voon
Indonesie (BW)
BW yang dalam bahasa
Indonesia disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdapat juga sumber
Hukum Acara Perdata khususnya buku ke IV tentang Pembuktian, yang termuat dalam
pasal 1865 s/d 1993.
5.
Wetboek van
Koophandel (WvK)
WvK yang dalam bahasa
Indonesia dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur juga
penerapan acara dalam praktek peradilan, khususnya pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32,
225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dan terdapat juga hukum acara perdata yang
diatur dalam Failissements Verodering (aturan kepailitan) yang
diatur dalam Stb. 1906 nomor 348.
6.
Peraturan
Perundang-undangan
1) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang
acara perdata dalam hal banding bagi pengadilan tinggi di Jawa Madura sedang
daerah diluar Jawa diatur dalam pasal 199-205 R.Bg.
2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan
Kehakiman. Dalam UU memuat beberapa ketentuan tentang Hukum acara perdata dalam
praktek peradilan di Indonesia.
3) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Makamah Agung RI jo UU No. 5 Tahun 2004 yang memuat tentang acara perdata dan
hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah
Agung .
4) Undang-undang nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan umum yang diubah dengan UU No. 8 Tahun 2004. Dalam UU ini diatur
tentang susunan dan kekuasaan Peradilan di lingkungan Peradilan Umum serta
prosedur beracara di lingkungan Pradilan Umum tersebut.
5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-undang
perkawinan tersebut.
6) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989 jo UU No. 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada pasal 54 dikemukakan bahwa Hukum
Acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah sama dengan hukum acara yang
berlaku di peradilan umum, kecuali yang diatur khusus dalam UU ini.
7) Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Instruksi
Pemasyarakatan Kompilasi hukum Islam, yang terdiri dari tiga buku yaitu hukum
Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.
7.
Yurisprudensi
Yurisprudensi adalah pengumpulan yang sistematis dari keputusan Mahkamah
Agung dan Keputusan Pengadilan Tinggi yang diikuti oleh hakim lain dalam
memberikan keputusan sosial yang sama.
Hakim tidak terikat pada putusan yurisprudensi tersebut, sebab Indonesia tidak
menganut asas ‘The bidding force of precedent”, jadi hakim bebas memilih
antara meninggalkan yurisprudensi atau menggunakannya.
8.
Surat Edaran
Mahkamah Agung RI
Surat Edaran Mahkamah
Agung RI (SEMA) sepanjang menyangkut hukum acara perdata dan hukum perdata
materiil dapat dijadikan sumber hukum acara dalam praktik peradilan terhadap
persoalan hukum yang dihadapi hakim.
Surat Edaran dan
Instruksi Mahkamah Agung tidak mengikat hakim sebagaimana Undang-undang.
9.
Dokrin atau Ilmu
Pengetahuan
Menurut Sudikno
Mertokusumo (1988:8), dokrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara
juga, hakim dapat mengadili dengan berpedoman Hukum Acara Perdata yang digali
dari dokrin atau ilmu pengetahuan ini. Dokrin itu bukan hukum, melainkan sumber
hukum.
Sebelum berlakunya
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dokrin atau ilmu
pengetahuan hukum banyak digunakan oleh hakim Peradilan Agama dalam memeriksa
atau mengadili suatu perkara, terutama ilmu pengetahuan hukum yang tersebut
dalam kitab-kitab fiqh. Berdasarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama
Departemen Agama No. B/1/1735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai pelaksana PP no.
45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura
dikemukakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum dalam memeriksa dan memutus
perkara, maka hakim Peradilan Agama dianjurkan agar menggunakan sebagai pedoman
hukum acara yang bersumber dalam kitab-kitan fiqh sebagai berikut:
1. Al-Bajuri;
2. Fatkhul Mu’in;
3. Syarqawi ‘At-Tahrir’;
4. Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;
5. Fatkhul wahbahdan syarahnya;
6. Tuhfah;
7. Targhib al-Mustaq;
8. Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;
9. Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;
10. Syamsuri li Fara’id;
11. Bughyat al-Musytarsyidin;
12. al-Fiqh ala Madzahib al-Arba’ah;
13. Mughni al-Muhjaj.
Dengan merujuk kepada
13 kitab fiqh sebagaimana diatas, diharapkan hakim Peradilan Agama dapat
mengambil dan menyeragamkan tata cara beracara dalam Peradilan Agama.
Catatan:
- Sebelum tahun 1991, hukum materil peradilan agama merupakan hukum yang tidak tertulis karena masih bertebaran dalam kitab-kitab fiqh
- Hukum acara yang berlaku di peradilan agama adalah hukum acara yang dipakai di peadilan umum.