10 kaidah fikih yang telah disepakati oleh ulama
Thursday, 17 April 2014
SUDUT HUKUM | Kaidah-kaidah
fikih yang telah disepakati oleh ulama
1. Kaidah Fiqh Pertama
الاجتهاد لاينقص بالاجتهاد
“ijtihad yang telah lalu tidak dibatalkan oleh ijtihad yang kemudian”
Maksud dari kaidah di atas adalah bahwa suatu hasil
ijtihad di masa lalu tidak berubah karena ada hasil ijtihad baru dalam kasus
yang sama. Seperti yang dikatakan oleh Umar Ibn al-Khattab:” itu adalah yang
kami putuskan pada masa lalu dan ini adalah yang kami putuskan sekarang”
Contoh dari kaidah di atas adalah bila seseorang
menginginkan shalat akan tetapi tidak menemukan air, maka ia diperbolehkan
untuk bertayamum (ijtihad I), seusai shalat ia menemukan air, maka ia tidak
wajib mengulang shalatnya (ijtihad II). Contoh lain adalah seorang hakim dengan
ijtihadnya menjatuhkan hukuman kepada seorang pelaku kejahatan dengan dijatuhi
hukuman tujuh tahun. Kemudian dalam kasus yang sama, datang lagi pelaku
kejahatan, tetapi hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup, karena ada pertimbangan-pertimbangan
lain yang berbeda dengan pelaku kejahatan yang pertama. Jadi bukan
keadilan yang berbeda, tapi pertimbangan keadaan dan hukumnya yang berbeda,
maka hasil ijtihadnya pun berubah, meskipun kasusnya sama, misalnya korupsi dan
lain-lain.
2. Kaidah Fiqh Kedua
الايثار بالقرب مكروه وفى غيرها محبوب
“mengutamakan orang lain dalam ibadah dimakruhkan sedang selain ibadah disenangi”
Kaidah di atas menjelaskan bahwa tidak boleh
mendahulukan orang lain dalam hal ibadah seperti mendapatkan kesempatan barisan
pertama dalam shalat, meminang seorang wanita dan mendapatkan kesempatan air
suci dalam berwudhu. Sedang dalam masalah keduniaan maka disunnatkan
mendahulukan orang lain seperti mendahulukan orang lain dalam menerima zakat
dan lain-lain.
3. Kaidah Fiqh Ketiga
اذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام
“apabila antara yang halal dan yang haram berkumpul maka dimenangkan yang haram.”
Pada kaidah
tersebut menunjukkan adanya prioritas untuk mendahulukan yang haram, ini
berarti apabila ada dua dalil yang bertentangan mengenai satu masalah, ada yang
menghalalkan dan ada pula yang mengharamkan, maka dua dalil itu dipilih yang
mengharamkan, karena itu lebih ikhtiyat. Seperti ketetapan khalifah Utsman bin
Affan ketika ditanya ketentuan mengawini dua saudara, yang satu berstatus
merdeka dan yang lain berstatus budak sahaya. Dalam QS. An-Nisa’:22, tidak
boleh mengumpulkan dua saudara wanita untuk dinikahi. Sedang dalam QS.
An-Nisa’:23, memperbolehkannya asal yang satu menjadi budak sahaya, maka
keputusan beliau adalah melarangnya, sesuai dengan kaidah di atas.
4. Kaidah Fiqh Keempat
التابع تابع
“pengikut (hukumnya) itu tetap sebagai pengikut yang mengikuti”
Cabang
dari kaidah ini adalah :
التابع لايفرد بالحكم
“pengikut
itu tidak menyendiri di dalam hukum”
Contohnya
: anak kambing di dalam perut tidak boleh dijual dengan sendirinya, terjualnya
induk merupakan terjualnya anak kambing tersebut.
Cabang
Kedua:
التابع ساقط بسقوط المتبوع
“pengikut
menjadi gugur dengan gugurnya yang diikuti”
Contohnya:
tidak boleh mengawini saudara wanita istri, tapi jika istrinya telah dicerai
maka wanita tersebut boleh dikawininya.
Cabang
Ketiga :
التابع لايتقدم على المتبوع
“Pengikut
itu tidak mendahului yang diikuti”
Contohnya
: tidak sah makmum mendahului imam.
Cabang
Keempat :
يغتفر فى التوابع مالا يغتفر فى غيرها
“dapat
dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya”
Contohnya
: mewakafkan sebidang kebun yang tanamannya sudah rusak, maka wakaf itu sah,
karena yang rusak adalah tanaman yang mengikuti kebun.
5. Kaidah Fiqh Kelima
تصرف الامام على الرعية منوط بالمصلحة
“tindakan imam terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatannya”
Kaidah tersebut bersumber dari perkataan Imam Syafi’I,
bahwa kedudukan imam (Pemimpin) terhadap rakyatnya sama halnya dengan kedudukan
wali terhadap anak yatim. Ungkapan tersebut berasal dari qaul Umar bin Khattab
yang berbunyi “sungguh aku menempatkan diriku terhadap harta Allah seperti
kedudukan wali terhadap anak yatim”. Jadi, kaidah di atas menyangkut kebijakan
pemimpin harus bertujuan memberi kemaslahatan manusia.
6. Kaidah Keenam
الحدود تسقط بالشبهات
“hukuman had gugur bila masih meragukan (Syubhat)”
Contohnya : hubungan seksual
laki-laki terhadap wanita yang dikira istrinya. Hal ini tidak
dapat dijatuhkan had sebab hukumnya masih syubhat.
7. Kaidah Ketujuh
الحريم له حكم ما هو حريم له
“yang menjaga sesuatu hukumnya sama dengan apa yang dijaga”
Contoh : wajib mencuci sebagian leher dan kepala
ketika mencuci muka, sebagian lengan atas (sampai siku-siku), mencuci sebagian
atas mata kaki dalam wudhu.
8. Kaidah Kedelapan
اذاجتمع امران من جنس واحد لم يختلف
مقصودهما دخل احدهما فى الاخر غالبا
“apabila dua perkara sejenis berkumpul serta tidak berbeda maksudnya, maka yang satu dimasukkan kepada yang lain menurut kebiasaannya”
Contoh : seseorang yang berhadas kecil dan berhadas
besar kemudian ia mandi untuk menghilangkan hadas besar, maka kedua hadas
tersebut sudah hilang. Karena kedua masalah tersebut sama, yang besar dapat
mengikuti yang kecil, namun sebaliknya tidak. Demikian juga dengan seseorang
yang terbiasa berpuasa senin kamis kemudian di tujuh hari pertama bulan syawal
berpuasa, maka kedua puasa itu dianggap sah dan mempunyai dua pahala.
9. Kaidah Kesembilan
اعمال الكلام اولى من اهماله
“mengamalkan suatu kalimat lebih utama daripada mengabaikannya”
Contoh : seseorang mengatakan kepada istrinya “engkau
saya talak, engkau saya talak” dengan tidak ada niatan dalam pengulangan itu,
maka pengulangan itu dianggap ta’sis, yakni jatuhnya dua talak, bukan sebagai
penguat talak satu.
10. Kaidah Kesepuluh
الخرج بالضمان
“berhak mendapatkan hasil disebabkan karena keharusan mengganti kerugian”
Contoh : seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya
dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan
binatang tadi, sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.