Sejarah Hukum Pidana Indonesia
Tuesday, 6 May 2014
Sudut Hukum | Sebagaimana yang kita ketahui bersama, hukum
pidana Indonesia merupakan hukum pidana yang berasal dari masa
kolonialisme Belanda. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, ketentuan mengenai
hukum pidana sebenarnya sudah ada sejak masa kerajaan-kerajaan di
Nusantara masih berjaya. Pada masa itu hukum pidana lebih dikenal dengan
istilah pidana adat, yang umumnya tidak tertulis dan bersifat lokal serta hanya
berlaku untuk satu wilayah hukum atau kerajaan tertentu. Dalam hukum
adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tegas antara hukum pidana
dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum
perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik
bersumber dari sistem hukum Eropa, yang kemudian berkembang di
Indonesia.
Dalam pelbagai literatur, hukum
pidana yang berlaku di Indonesia dapat dibagi dalam tiga masa: masa sebelum
penjajahan Belanda; masa sesudah kedatangan penjajahan Belanda; dan masa
setelah kemerdekaan.
1. Masa Sebelum Penjajahan Belanda
Tercatat terdapat beberapa hukum
pidana yang pernah ada dan berlaku di beberapa wilayah hukum
kerajaan-kerajaan di Nusantara, antara lain: Ciwasana atau Purwadhigama pada
abad ke-10 di masa Raja Dharmawangsa; Kitab Gajamada pada pertengahan abad ke
-14, yang diberi nama oleh Mahapatih Majapahit, Gajahmada; Kitab Simbur Cahaya
yang dipakai pada masa pemerintahan Ratu Senuhun Seding di Palembang; Kitab
Kuntara Raja Niti di Lampung yang digunakan pada awal abad 16; Kitab Lontara’
ade’ yang berlaku di Sulawesi Selatan sampai akhir abad 19; Patik Dohot Uhum ni
Halak Batak di Tanah Batak; dan Awig-awig di Bali. Kitab-kitab tersebut hanya
sebagian dari hukum pidana yang pernah berlaku di wilayah Nusantara.
2. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan
Belanda
a. Masa Vereenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) Tahun 1602-1799
Hukum yang pertama kali digunakan oleh VOC pada
pusat-pusat perdagangan mereka di Nusantara adalah hukum yang dijalankan
di atas kapal-kapal VOC (Scheeps Recht). Hukum kapal ini terdiri dari
dua bagian, yaitu hukum Belanda kuno dan asas-asas hukum Romawi.
Dalam perkembangannya, VOC kemudian mendapatkan Octrooi Staten General,
sehingga dapat bertindak sebagai suatu badan pemerintah yang memiliki hak
istimewa untuk memonopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.
Oleh karena itu, dalam melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya, VOC kemudian
mengeluarkan instruksi atau maklumat dalam bentuk plakat-plakat (plakaten).
Pada awalnya plakat tersebut hanya
berlaku untuk wilayah kota Betawi. Namun seiring dengan kekuasaannya yang
semakin meluas juga diberlakukan di seluruh wilayah VOC. Dikarenakan sejak awal
tidak disusun dan dikumpulkan secara baik dan teratur, Gubernur Jenderal Van
Diemen kemudian memerintahkan Joan Maetsuycker untuk menyusun dan mengumpulkan
plakat-plakat tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah Statuten van
Batavia. Dengan demikian pada masa VOC
telah berlaku:
1. Hukum statuten (termuat di dalam Statuta
Batavia);
2. Hukum Belanda yang kuno;
3. Asas-asas hukum Romawi.
b. Masa Besluiten Regering Tahun
1814-1855
Masa Besluiten Regering dimulai saat
peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan Belanda yang
berdasarkan Konvensi London tanggal 13 Agustus 1814. Konvensi ini mengharuskan
Kerajaan Inggris untuk mengembalikan bekas koloni Belanda yang pernah
dikuasainya kepada Pemerintah Belanda. Untuk melaksanakan kekuasaannya,
Pemerintah Belanda kemudian menunjuk tiga orang Komisaris Jenderal yang terdiri
dari: Elout, Buyskes, dan Van der Capellen. Para Komisaris Jenderal tetap
memberlakukan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris dan tidak
mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Pada masa ini tidak ada ketentuan baru di bidang hukum pidana.
c. Masa Regeling Reglement Tahun
1855-1926
Perubahan undang-undang dasar (Grond wet)
di Belanda membawa akibat pada perubahan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di seluruh wilayah Belanda dan daerah jajahannya. Perubahan itu membuat
kekuasaan raja Belanda menjadi berkurang, salah satunya dalam hal pembuatan
undang-undang. Sehingga peraturan yang diterapkan tidak hanya Koninklijk
Besluit saja tetapi juga harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat
parlemen.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh
raja dan parlemen untuk mengatur daerah jajahan adalah Regeling Reglement (RR)
yang dibuat dalam bentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2
Tahun 1855. Pada masa RR inilah terdapat beberapa ketentuan terkait hukum
pidana, yaitu:
Wetboek van Strafrecht voor Europeanen
atau kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan
Staatblad No. 55 tahun 1866.
Algemene Politie Strafreglement atau
tambahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Eropa.
Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan dengan
Staatblad No 85 tahun 1872.
Politie Strafreglement bagi orang bukan
Eropa.
Wetboek van Strafrecht voor
Netherlands-Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Hindia Belanda
yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 tahun 1915 yang mulai berlaku 1
Januari 1918.
d. Masa Indische Staatregeling Tahun
1926-1942
Indische Staatregeling (IS) merupakan
perubahan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926,
dengan diundangkannya Staatblad No. 415 tahun 1925. Perubahan Grond Wet,
khususnya mengenai pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum
yang berlaku, semakin mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda yang
sesuai dengan asas konkordansi. Ketentuan mengenai pembagian golongan penduduk
tersebut diatur di dalam Pasal 131 jo pasal 163 IS.
e.
Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
Masa pendudukan Jepang selama kurang
lebih 3,5 tahun tidak memberikan perubahan yang signifikan dalam ketentuan hukum
yang diberlakukan. Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No. 1
Tahun 1942, yang mengatur antara lain: perihal badan-badan pemerintahan, hukum,
dan pengakuan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku pada masa
kolonial Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan pemerintahan milliter.
Dalam hal pemberlakuan hukum
pidana, pemerintah militer Jepang mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa, Gun
Seirei No. 25 tahun 1944 tentang pengaturan hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus dan Gun Seirei No. 14 tahun 1942 tentang Pengadilan di Hindia
Belanda.
3. Masa Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia
merupakan titik puncak perlawanan bangsa Indonesia terhadap penjajahan dan juga
ungkapan tekad untuk mengubah sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum
nasional. Meskipun demikian, untuk membuat satu sistem hukum yang
bersifat nasional tentu saja bukan perkara mudah dan membutuhkan waktu yang
tidak sebentar. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum,
Undang-Undang Dasar 1945 kemudian memberikan kelonggaran melalui Ketentuan
Peralihan Pasal II UUD 1945 dengan menyatakan: “Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-Undang Dasar ini.” Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi
dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa
kolonial di masa kemerdekaan.
Untuk melaksanakan dalam tataran praktis,
Presiden Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1945 tanggal 10
Oktober 1945 yang terdiri dari dua pasal, yaitu:
Pasal 1 : Segala Badan-Badan Negara dan
Peraturan-Peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
tersebut.
Pasal 2
: Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dengan adanya Peraturan Presiden tersebut
tentu saja makin memperjelas dan mempertegas pemberlakuan semua peraturan
perundang-undangan yang pernah ada pada masa kolonial sampai dengan adanya
peraturan baru yang dapat menggantikannya. Demikian pula halnya dengan
ketentuan yang mengatur tentang hukum pidana -juga diberlakukan.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum
pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah
kemudian mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana. Undang-undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum
perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht (WvS), yang kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 1 -nya yang menyatakan, “Dengan
menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10
Oktober 1945 No. 2, menetapkan bahwa peraturan-peraturan hukum pidana
yang sekarang berlaku ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada
pada tanggal 8 maret 1942.”
Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU
No. 2 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa “Undang-undang
ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat
daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian,
pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van
Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura.
Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia atau nasional baru dilakukan pada
tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia
tentang Peraturan Hukum Pidana
Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1-nya yang berbunyi,
“Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum
Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.”
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya untuk
membuat sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan
pembaruan hukum pidana terus berjalan semenjak tahun 1958 dengan
berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sebagai upaya untuk
membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang
diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang antara lain
adanya desakan untuk menyelesakan KUHP Nasional dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya. Upaya tersebut masih terus berjalan dan telah menghasilkan
beberapa konsep rancangan undang-undang. Meskipun demikian, konsep-konsep
tersebut tidak pernah sampai pada kata “final” dengan menyerahkannya pada
legislatif. Setidaknya, sampai dengan tulisan ini dibuat, belum ada informasi
lebih lanjut mengenai kelanjutan pembahasan rancangan undang-undang hukum
pidana nasional yang mengabsorbsi semangat kemerdekaan dan proklamasi.
Sumber: http://hukumpidana.bphn.go.id/