Harta Warisan Khuntsa Musykil
Thursday, 31 July 2014
SUDUT HUKUM | Harta Warisan Khuntsa Musykil
Setiap ahli waris berhak menerima bagian warisnya, setelah apa yang mereka
harus penuhi telah terlaksana. Yaitu memenuhi hak-hak seperti halnya,
biaya-biaya perawatan jenazah, pelunasan utang-utang dan penunaian wasiat
simayit.
Selain itu haruslah tidak ada penyebab yang dapat menghalangi untuknya
mendapat warisan atau penghalang kewarisan. Jenis hukum yang tidak di bedakan
antara laki-laki dan peremppuan sehingga tak perlu adanya pengkhususan masalah khuntsa
musykil, seperti masalah zakat harta, zakat fitrah dan sejenisnya.
Ulama farodliyun (ahli faraid) setelah mengadakan penelitian
tentang khuntsa,
menyimpulkan bahwa khuntsa musykil selamanya tidak mungkin atau bukan
terdiri dari ayah, ibu, kakek, nenek, suami atau istri, sebab menurut hukumnya
khuntsa musykil tidak melakukan nikah, sehingga khuntsa musykil itu
mesti terdiri dari anak, cucu, saudara, anak saudara, paman atau anak paman.
Oleh sebab itu bila khuntsa menikah dan mempunyai keturunan maka
anaknya akan mengikuti garis keturunan bapaknya walaupun bapaknya bertingkah
laku seperti perempuan. Demikian juga ibunya kendati bertingkah laku sama
seperti lelalki. Jika kelak anaknya perempuan akan menikah maka bapaknya yang
menjadi wali, meskipun ia bertingkah seperti perempuan bukan ibunya meskipun ia
bertingkah seperti lelaki.
Di dalam Al-Qur‟an Allah Ta‟ala, telah banyak menjelaskan ayat-ayat tentang
waris bagi laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya, tetapi tidak menjelaskan
waris bagi khuntsa.untuk menghindari terjadinya ke vakuman hukum,
para ahli faro‟id berijtihad, ijtihad mereka itu bertitik tolak dengan ketentuan
yang telah ada. Ijtihad yang dilakukan adalah dengan jalan mengidentikan dengan
laki-laki atau perempuan.
Dalam mengidentikan dengan laki-laki atau perempuan ada dua cara yang
di gunakan.
1. Meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing.
Jika seorang anak membuang air kecil melalui dzakar atau farjinya,
tapi air yang lewat dzakar lebih dahulu keluarnya dari pada yang lewat farji
maka ia dianggap sebagai orang laki-laki, sebaliknya jika ia terlebih dahulu
kencing melalui farji maka ia dianggap sebagai orang perempuan.
Artinya :"Berikanlah warisan menurut kelamin mana ia pertama kali buang air kecil”. (HR. Ibnu Abbas)
Dikisahkan bahwa Amir Al-Adawany dikenal sebagai seorang yang bijak
pada masa jahiliah. Suatu ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu
peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan anak dengan dua jenis kelamin.
Amir kemudian menvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan. Mendengar jawaban
yang kurang memuaskan itu orangorang Arab meninggalkannya, dan tidak menerima
vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena memikirkannya.
Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimilikiAmir dan dikenal sangat
cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir
memberitahukan persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu
berkata: “Cabutlah keputusan tadi, dan vonislah dengan cara melihat dari mana
keluar air seninya.” Amir merasa puas dengan gagasan tersebut.
Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk mengganti vonis yang
telah dijatuhkannya. Ia berkata: “Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air
seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar
dari vagina, ia dinyatakan sebagai perempuan.” Ternyata vonis ini
diterima secara aklamasi.
2. Meneliti tanda-tanda kedewasaannya.
Jika penelitian alat kelamin yang dipergunakan membuang air kecil
tidak berhasil, maka dapat ditempuh jalan lain yaitu meneliti kedewasaan bagi
si khuntsa, sebagaimana diketahui adannya ciri kesamaan laki-laki dan perempuan
juga ada ciri perbedaannya.
Bila seseorang mengeluarkan darah haidl (menstruasi berarti status hukumnya
perempuan, sebab lelaki menurut kodratnya tidak haidl. Namun bila ia haidl tapi
air kencingnya atau keluarnya sperma dari alat kelamin lelaki maka namanya khuntsa
musykil. Bila sampai umur dewasa ia tidak haidl atau pernah haidl (sekali
dua kali) tapi kemudian berhenti total (bukan karena sebab) dalam usia subur
normal maka status hukumnya lelaki, sebab menurut kudratnya wanita itu
mengalami haidl teratur pada waktunya sampai umur monopose, kehamilan dan
melahirkan.
Namun hal tersebut terkadang bisa menjadi jelas bila ia dewasa dengan
melihat fungsi alat kelamin mana yang lebih berperan tapi banyak juga
yang sampai dewasa tetap musykil. Jika seorang khuntsa susah ditentukan jenisnya, baik dengan
dua ketentuan atau cara di atas, begitu ditegaskan benar-benar kemusykilannya.
Kesulitan menentukan jenis kelaminnya membawa kesulitan dalam menetapkan pembagian warisnya.
Para faradhiyun setelah mengadakan penyelidikan, menetapkan para ahli
waris khuntsa musykil yang menimbulkan kemusykilannya dalam penyelesaian
waris itu ada tujuh orang dan tercakup dalam empat jihat.
a) Jihat Bunuwah (garis anak)
Terdiri dari dua orang yaitu anak dan cucu.
b) Jihat Ukhuwah (garis saudara)
Terdiri dari saudara dan anak saudara.
c) Jihat Umumah (garis paman)
Terdiri dari paman dan anak paman (keponakan)
d) Jihat Wala’ (perwalian
budak)
Yakni hanya satu orang maulal-mu‟tiq (tuan yang telah
membebaskan budaknya).