KEMUNGKARAN-KEMUNGKARAN DI HARI RAYA
Tuesday, 29 July 2014
SUDUT HUKUM | Hari raya ‘Idul
Fithri adalah hari yang selalu dinanti-nanti kaum muslimin. Tak ada
satu pun di antara kaum muslimin yang ingin kehilangan moment berharga
tersebut. Apalagi di negeri kita, selain memeriahkan Idul Fithri atau lebaran,
tidak sedikit pula yang berangkat mudik ke kampung halaman. Di antara alasan
mudik adalah untuk mengunjungi kerabat dan saling bersilaturahmi. Namun ada
beberapa hal yang perlu dikritisi saat itu, yaitu beberapa amalan yang keliru
dan mungkar. Satu sisi, amalan tersebut hanyalah tradisi yang memang tidak
pernah ada dalil pendukung dalam Islam dan ada pula yang termasuk maksiat.
Pertama: Tasyabbuh (meniru-niru)
orang kafir dalam berpakaian. Terutama kita lihat bagaimana model pakaian
muda-mudi saat ini ketika hari raya, tidak mencerminkan bahwa mereka muslim
ataukah bukan. Sulit membedakan ketika melihat pakaian yang mereka kenakan.
Sungguh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah
bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ
بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka”[1]
Menyerupai orang kafir
(tasyabbuh) ini terjadi dalam hal pakaian, penampilan dan kebiasaan. Tasyabbuh
di sini diharamkan berdasarkan dalil Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan para
ulama (ijma’).[2]
Kedua: Mendengarkan dan
memainkan musik/nyanyian/nasyid di hari raya. Imam Al Bukhari membawakan dalam
Bab “Siapa yang menghalalkan khomr dengan selain namanya” sebuah riwayat dari
Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari telah menceritakan bahwa dia tidak
berdusta, lalu beliau menyampaikan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ
الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ
إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ –
يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا .
فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً
وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat.”[3]
Jika dikatakan
menghalalkan musik, berarti musik itu haram.[4] Ibnu Mas’ud mengatakan,
“Nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan sayuran.” Fudhail bin Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[5]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,
“Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu
adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan
nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”[6] Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai
haramnya alat musik.”[7]
Ketiga: Wanita berhias diri
ketika keluar rumah. Padahal seperti ini diharamkan di dalam agama ini
berdasarkan firman Allah,
وَقَرْنَ فِي
بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab: 33).
Abu ‘Ubaidah
mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan kecantikan dirinya.” Az
Zujaj mengatakan, “Tabarruj adalah menampakkan perhiasaan dan
setiap hal yang dapat mendorong syahwat (godaan) bagi kaum pria.”[8] Seharusnya berhias diri menjadi
penampilan istimewa si istri di hadapan suami dan ketika di rumah saja, dan
bukan di hadapan khalayak ramai.
Keempat: Berjabat tangan
dengan wanita yang bukan mahrom. Fenomena ini merupakan musibah di tengah kaum
muslimin apalagi di hari raya. Tidak ada yang selamat dari musibah ini kecuali
yang dirahmati oleh Allah. Perbuatan ini terlarang berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى
مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ
زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا
الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى
وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[9]
Jika kita melihat pada
hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan istri atau bukan mahrom-
diistilahkan dengan zina. Hal ini berarti menyentuh lawan jenis adalah perbuatan
yang haram karena berdasarkan kaedah ushul ‘apabila sesuatu dinamakan dengan
sesuatu lain yang haram, maka menunjukkan bahwa perbuatan tersebut juga haram’.”[10]
Lihat pula bagaimana
contoh dari suri tauladan kita sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
إِنِّي لَا أُصَافِحُ النِّسَاءَ إِنَّمَا قَوْلِي
لِمِائَةِ امْرَأَةٍ كَقَوْلِي لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ أَوْ مِثْلِ قَوْلِي
لِامْرَأَةٍ وَاحِدَةٍ
“Sesungguhnya aku tidak akan bersalaman dengan wanita. Perkataanku terhadap seratus wanita adalah seperti perkataanku terhadap seorang wanita, atau seperti perkataanku untuk satu wanita.“[11]
Kelima: Mengkhususkan ziarah
kubur pada hari raya ‘ied. Kita memang diperintahkan untuk ziarah kubur
sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَزُورُوا الْقُبُورَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
“Sekarang ziarah kuburlah karena itu akan lebih mengingatkan kematian.”[12]
Namun tidaklah tepat
diyakini bahwa setelah Ramadhan adalah waktu terbaik untuk menziarahi kubur
orang tua atau kerabat (yang dikenal dengan “nyadran”). Kita boleh setiap saat
melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian.
Masalahnya, jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan
meyakini bahwa setelah Ramadhan (saat Idul Fithri) adalah waktu utama untuk
nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan karena tidak ada dasar dari
ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.
Keenam: Tidak sedikit dari
yang memeriahkan Idul Fithri meninggalkan shalat lima waktu karena sibuk
bersilaturahmi. Kaum pria pun tidak memperhatikan shalat berjama’ah di masjid.
Demi Allah, sesungguhnya ini adalah salah satu bencana yang amat besar. Padahal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ
فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.”[13]
‘Umar bin Khottob rahimahullah pernah
mengatakan di akhir-akhir hidupnya,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim orang yang meninggalkan shalat.”[14]
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat
wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar
dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina,
mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat
hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[15]
Adapun mengenai hukum
shalat jama’ah, menurut pendapat yang kuat adalah wajib bagi kaum pria. Di
antara yang menunjukkan bahwa shalat jama’ah itu wajib adalah sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam,
وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ
بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا ، ثُمَّ آمُرَ
رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ
عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ
"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka”.[16]
Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,
وَأَمَّا الجَمَاعَةُ فَلاَ اُرَخِّصُ فِي تَرْكِهَا
إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
“Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[17]
Ketujuh: Begadang saat malam
‘Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga kadang tidak mengerjakan shalat
shubuh dan shalat ‘ied di pagi harinya. Diriwayatkan dari Abi Barzah, beliau
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ
يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَ الْعِشَاءِ وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum shalat ‘Isya dan ngobrol-ngobrol setelahnya.”[18]
Ibnu Baththol
menjelaskan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak suka begadang setelah
shalat ‘Isya karena beliau sangat ingin melaksanakan shalat malam dan khawatir
jika sampai luput dari shalat shubuh berjama’ah. ‘Umar bin Al Khottob
sampai-sampai pernah memukul orang yang begadang setelah shalat Isya, beliau
mengatakan, “Apakah kalian sekarang begadang di awal malam, nanti di akhir
malam tertidur lelap?!”[19]
Takbiran yang dilakukan
juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak beristirahat padahal hukum
mengganggu sesama muslim adalah terlarang. Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam bersabda,
الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ
وَيَدِهِ
“Muslim (yang baik) adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan tangannya.”[20]
Ibnu Baththol
mengatakan, “Yang dimaksud dengan hadits ini adalah dorongan agar seorang
muslim tidak menyakiti kaum muslimin lainnya dengan lisan, tangan dan seluruh
bentuk menyakiti lainnya. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Orang yang baik
adalah orang yang tidak menyakiti walaupun itu hanya menyakiti seekor semut”.[21]
Perhatikanlah perkataan
yang sangat bagus dari Al Hasan Al Basri. Seekor semut kecil saja dilarang
disakiti, lantas bagaimana dengan manusia yang punya akal dan perasaan disakiti
dengan suara bising atau mungkin lebih dari itu?!
Kedelapan: Memeriahkan ‘Idul
Fithri dengan petasan. Selain mengganggu kaum muslimin lain sebagaimana
dijelaskan di atas, petasan juga adalah suatu bentuk pemborosan. Karena
pemborosan kata Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas adalah menginfakkan sesuatu bukan
pada jalan yang benar. Qotadah mengatakan, “Yang namanya tabdzir (pemborosan)
adalah mengeluarkan nafkah dalam berbuat maksiat pada Allah, pada jalan yang
keliru dan pada jalan untuk berbuat kerusakan.”[22]
Allah Ta’ala berfirman,
وَلا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ
كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan.” (QS. Al Isro’: 26-27).
Ibnu Katsir mengatakan,
“Allah ingin membuat manusia menjauhi sikap boros dengan mengatakan: “Dan
janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya
pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan”. Dikatakan demikian
karena orang yang bersikap boros menyerupai setan dalam hal ini.[23]
Akhir kata:
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88)
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
[1] HR. Ahmad dan Abu Daud. Syaikhul
Islam dalam Iqtidho’ (1/269) mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Irwa’ul
Gholil no. 1269.
[2] Lihat penukilan ijma’ (kesepakatan
ulama) yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Iqtidho’ Ash
Shirotil Mustaqim, Wazarotu Asy Syu-un Al Islamiyah, cetakan ketujuh, tahun
1417 H, 1/363.
[3] Diriwayatkan oleh Bukhari secara
mu’allaq dengan lafazh jazm/ tegas.
[4] Hadits di atas dinilai shahih oleh
banyak ulama, di antaranya adalah: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al
Istiqomah (1/294) dan Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan (1/259). Penilaian
senada disampaikan An Nawawi, Ibnu Rajab Al Hambali, Ibnu Hajar dan Asy
Syaukani –rahimahumullah-.
[5] Lihat Talbis Iblis, Ibnul Jauzi,
Darul Kutub Al ‘Arobi, cetakan pertama, 1405 H, hal. 289.
[6] Lihat Talbis Iblis, 283.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 11/576-577.
[8] Lihat Zaadul
Masiir, Ibnul Jauzi, Al Maktab Al Islami, 6/379-380.
[9] HR. Muslim no. 6925
[10] Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah
bin Yusuf Al Judai, Muassasah Ar Royan, cetakan ketiga, 1425 H, hal. 41.
[11] HR. Malik 2/982. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[12] HR. Muslim no. 976.
[13] HR. An Nasa’i no. 463, Tirmidzi no.
2621, Ibnu Majah no. 1079 dan Ahmad 5/346. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini shahih.
[14] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Ibnul
Qayyim, Dar Al Imam Ahmad, cetakan pertama, 1426 H, hal. 41.
[15] Ash Sholah, hal. 7.
[16] HR. Bukhari no. 644 dan Muslim no.
651, dari Abu Hurairah.
[17] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal.
107
[18] HR. Bukhari no. 568
[19] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, Asy
Syamilah, 3/278.
[20] HR. Bukhari no. 10 dan Muslim no. 40
[21] Syarh Al Bukhari, 1/38.
[22] Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim,
Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah, 8/474-475.
[23] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 8/474.
Sumber: Artikel www.rumaysho.com