Fiqh Pada Masa Khalifah
Friday, 8 August 2014
Oleh : Muhammad
Kamal S.Th
BAB I
PENDAHULUAN
Kekuasaan dinasti
Bani Abbas atau khilafah Abbasiyah, sebagaimana disebutkan, melanjutkan
kekuasaan dinasti Bani Umayyah, dinamakan khilafah Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad
Saw. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah Al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali
ibn Abdullah Ibn Al-Abbas.Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang
panjang dari tahun 132 H ( 750 M) s.d
656 H (1258 M). [1]Kekuasaan
Daulah Abbasiyah pernah diterapkan selama 2 kali.
Masa Daulah Abbasiyah ke-1 dipusatkan di Irak selama 508 tahun ( 132-656 H / 750-1258 M ) . Dinamakan Daulah Abbasiyah karena pemimpin pertamanya Abu Abbas As Safa. Pada masa ini, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat sekaligus berhasil menjadikannya sebagai pusat berkembangnya ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan yang alainnya.
Masa Daulah Abbasiyah ke-1 dipusatkan di Irak selama 508 tahun ( 132-656 H / 750-1258 M ) . Dinamakan Daulah Abbasiyah karena pemimpin pertamanya Abu Abbas As Safa. Pada masa ini, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang pesat sekaligus berhasil menjadikannya sebagai pusat berkembangnya ilmu filsafat dan ilmu pengetahuan yang alainnya.
Islam pertama yang menuangkan gagasan atau teori politiknya dalam
suatu karyatulis adalah Syihab al-Din Ahmad Ibnu Abi Rabi’. Abu Abbas Abdullah
Assaffah pendiri dinasti Abbasiyah berhasil menumbangkan kekuasaan Umayyah
karenabantuan dan dukungan tokoh-tokoh dan panglima pasukan
berkembangsaanPersia. Oleh karenanya dalam pemerintahab Abbasiyah orang-orang
Persiamenduduki jabatan penting, baik sipil maupun angkatan bersenjata.[2]
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kaitan Antara Kekhalifahan dengan
Pengambangan Fiqih
Pada masa Dinasti Abbasiyah umat Islam mengalami perkembangan dalam
berbagai bidang. Dinasti ini mengalami masa kejayaan intelektual, seperti
halnya dinasti lain dalam sejarah Islam, tidak lama setelah dinasti itu
berdiri. Kekhalifahan Baghdad mencapai masa kejayaannya antara khalifah ketiga,
al-Mahdi (775-785 M), dan kesembilan, al-Wathiq (842-847 M), lebih khusus lagi
pada masa Harun al-Rasyid (786-809 M) dan al-Makmun (813-833 M), anaknya
terutama, karena dua khalifah yang hebat itulah Dinasti Abbasiyah memiliki
kesan dalam ingatan publik, dan menjadi dinasti hebat dalam sejarah Islam dan
diidentikkan dengan istilah “the golden age of Islam”.[3]
Dinasti Abbasyiyah dipusatkan di Mesir selama 256 tahun ( 699-1432 H /
1299-1924 M ). Ilmu pengetahuan pada masa Daulah Abbasiyah mencapai
puncak keemasannya pada masa khalifah Harrun Ar Rasyid ( 768-809 M ). Setelah
Harun Ar Raasyid meninggal kemudian diganti oleh Al Makmun yang pada masanya ,
penerjemahan buku buku asing digalakkan dan banyak mendirikan sekolah sekolah
diantaranya Baitul Hikmal di Baghdad dan Irak yang bertugas mengkaji
penemuan penemuan dalam berbagai disiplin ilmu serta menterjemahkan kitab kitab
berbahasa asing. Sedangkan lembaga pendidikan pada masa Daulah Abbasiyah dibagi
menjadi 2 tingkatan yaitu :
1. Maktab/ Kuttab dan
Masjid
Yang beerisi lembaga bacaan, hitungan, tulisan, serta tempat para pemuda
belajar dasar dasar ilmuan agama
2. Tingakatan Pendalaman
Yaitu bagi para pelajar
yang ingin memperdalam ilmunya.
Masa Abbasyiyah adalah masanya islam berkembang dengan sangat pesat
baik dalam hal perluasan wilayah juga dalam hal ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan masa abbasyiyah berkembang dengan sangat pesat salahsatu factor
tersebut adalah adanya terjemahan buku dari barat khususnya yunani kedalam bahasa arab, sehingga umat islam pada
masa itu dihadapi dalam berbagai hal segi kehidupan khususnya dalam hal hukum islam. Para pakar
ilmu islam khususnya para yurispudensi tidak tinggal diam, disinilah mereka
menggunakan tenaga mereka untuk menkontektualkannya.
Di bawah
pemerintahan Abbasiyah dunia IlmuPengetahuan mengalami masa keemasan khususnya
dalam 200 tahun pertama darilima ratus tahun kekuasaan dinasti. Pada masa itu
pulalah tersusun buku-bukukumpulan Hadits, khususnya Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim. Dalam bidang ilmu hukum Islam mazhab-mazhab bermunculan dan empat
darinya masih tetap.
Mazhab-mazhab masa khalifah Abbasyiyah tetap berkembang,
pelestarian mazhab tidak lepas dari peran pemerintah atau dinasti yang ada.
Mazhab Hanafi berkembang atas jasa Abu Yusuf yang diangkat menjadi hakim oleh
dinasti Bani Abbas, mazhab Malik berkembang atas jasa Yahya bin Yahya yang
diangkat menjadi hakim oleh penguasa di Andalusia-di Afrika, Mu’iz Badis. Ia
mewajibkan seluruh penduduknya mengikuti mazhab Malik. Mazhab Syafi’i menjadi
besar setelah Shalahuddin al-Ayubi berkuasa di Mesir, dan mazhab Hanbali berkembang
setelah al-Mutawaakil (Dinasti Bani Abbas) tidak mengangkat hakim kecuali atas
persetujuan Imam Ahmad bin Hanbal.[4]
Mazhab Malik berkembang atas dukungan al-Mansur di Khilafah Timur
dan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadli oleh para penguasa Andalusia.
Dinasti Abbasyiyah sangat berjasa dalam pengembangan mazhab Hanafi, Dinansti
Fatimiyyah sangat berjasa atas berkembangnya mazhab Ismailliyah, Dinasti
Umayyah di Andalusia sangat berjasa terhadap berkembangnya mazhab Maliki,
Dinasti Ayyubiyah di Mesir berjasa dalam melestarikan mazhab Syafi’i, dan
Dinasti Su’udiyyah di Saudi Arabiya berkembang dalam melestarikan mazhab
Hambali.
Perhatian para khalifah terhadap Fuqaha’ juga disalurkan kepada
anak-anak mereka yang diistana untuk sama-sama mengikuti pelajaran agama. Imam
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibini dalam kitabnya As-Siyar mengatakan, Khalifah
Ar-Rasyid menyuruh anak-anaknya untuk mendengarkan pelajarannya. Disini dapat
kita lihat bahwa perhatian apara khalifah tempo dulu sangat dampak pengaruhnya
terhadap ilmu khususnya tentang keagamaan pada zaman sekarang ini. [5]
Khalifah Harun Ar-Rayid sangatlah berjasa terhadap agama Islam
disamping para Khalifah-khalifah yang tidak kalah menariknya, seperti Umar bin
Abdul Aziz, Shalahuddin Al-Ayyubi, Muhammad Al-fatih dan lain-lain. Harun
Ar-rayid meminta kepada Imam Malik seorang Ahli Fiqih dan juga Hadis pada
masanya untuk membukukan (Tadwin) kitab hadis yaitu al-Muwatha’ yang selesai
dibukukan pada masa Khalifah Al-Ma’mun.[6]
Berkembangnya ilmu fiqih selain perhatian para khalifah juga dikarenakan
semangat para ulama untuk mengembangkan mazhab itu sendiri sehingga sampailah
para penganut mazhab sampai sekarang ini.
Era pemerintahan Harun, yang dilanjutkan oleh Ma'mun
Ar-Rasyid, dikenal sebagai masa keemasan Islam(The Golden Age of Islam), di mana saat itu Baghdad menjadi salah
satu pusat ilmu pengetahuan dunia.
Di masa pemerintahannya beliau :
·
Mewujudkan keamanan,
kedamaian serta kesejahteraan rakyat.
·
Membangun kota Baghdad
yang terletak di antara sungai eufrat dan tigris dengan bangunan-bangunan
megah.
·
Membangun tempat-tempat
peribadatan.
·
Membangun sarana
pendidikan, kesenian, kesehatan, dan perdagangan.
·
Mendirikan Baitul Hikmah, sebagai lembaga penerjemah yang berfungsi sebagai perguruan tinggi,
perpustakaan, dan penelitian.
·
Membangun majelis
Al-Muzakarah, yakni lembaga pengkajian masalah-masalah keagamaan yang
diselenggarakan di rumah-rumah, mesjid-mesjid, dan istana.
Khalifah dinasti Abbasyiyah
sangat memberikan perhatian kepada fiqh. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa
aspek dibawah ini:
1.
Semua
undang-undang bersumber dari Al-quran dan As-Sunnah, terutama yang terkait
dengan urusan pemerintahan.
2.
Memberikan
perhatian terhadap As-Sunnah dan mengumpulkan hadis, ditulis dan dibukukan
seperti Musnad Imam Ahmad, Shahih Al-Bukhari, dan yang lainnya.
3.
Para
khalifah sangat dekat dan memuliakan ulama, memberi mereka kafalah (bantuan)
dan menyeru para pemimpin negeri untuk menjadikan mereka rujukan dalam
menentukan hukum.
4.
Permintaan
para khalifah kepada Fuqaha’ meletakkan aturan perundang-undangan Islam dalam
mengatur urusan negara. Harun Ar-Rasyid meminta Abu Yusuf untuk menggali hukum
tentang peraturan keuangan negara dan sistem distribusinya.[7]
Masa Abbasyiyah
pembangunan menjadi pesat, isalam semakin tersebar, ekonomi isalam dan sosial
semakin bertambah, sehingga muncul
perdebatan fikih dengan berdirinya empat mazhab, munculnya tradisi
taklid , melemahnya semangat ijtihad, dan perbedaan hukum para hakim.[8]
B.
Hubungan Keagamaan antara Fiqih, Tasawuf dan Thariqat
Pada masa Abbasiyah,
ilmu tasawuf merupakan
salah satu ilmu
yangberkembang dan matang, di mana esensi ajarannya adalah tekun
beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan meninggalkan
kesenangan dan perhiasan dunia dan bersunyi diri dari beribadah.[9] Ilmu
Tasawuf berkembang pesat terutama pada masa Abbasiyah II dan seterusnya.
Diantara tokoh tasawuf yang terkenal adalah al-Qusayiri (w 456 H), Syahabuddin
(w. 632 H), Imam al-Ghazali (w. 502 H), dan lain-lain[10]
Beberapa tokoh
Pada masa Abbasiyah di antaranya hadir Dzu al-Nun al-Mishri,ia dilahirkan di
Mesir pada tahun 190-an Hijriah, dikenal sebagai pengkritik prilaku
ahlihadis-Ulama fiqh, Hadis, dan teologi- yang dinilai mempunyai perselingkuhan
denganduniawi, sebuah kritikan yang membuat paraAhlu al-Hadist kebakaran
jenggot dan mulai menyebut al-Mishri sebagai Zindiq, pada tingkat penolakan
yang kuat oleh ahlu al-hadist membuat ia memutuskan untuk pergi ke Baghdad yang
aat itu dipimpin oleh khalifah al-Mutawakkil, setelah ia diterima oleh khalifah
dan dikenal dalam lingkungan istana, pihak Mesir pun menjadi segan kepadanya,
al-Mishri dikenal sebagai orang pertama yang mengenalkan maqamat dalam dunia
sufi dan telah dikenal sebagai sufi yang dikenal luasoleh para peneliti
tasawuf. Pemikirannya menjadi permulaan sistematisasi perjalanan ruhani seorang
sufi. Ia meninggal pada tahun 245 H di Qurafah Shugra dekat Mesir. Secara umum
para sufi memandang bahwa Dzu al-Nun al-Misri adalah sumber ajaran-ajaran
mereka, dan memasukannya ke dalam Wali Qutub utama.[11]
Dalam kitab
al_Mihan karangan As-Sulami disebutkan, bahwa Dzun-Nun adalah orang yang
pertama kali membincangkan tentang tingkatan Ahwal (Kondisi Rohani). Abdullah
bin Abdul Malik (Murid Kenamaan Imam Malik) tidak menyukai apa yang dilakukan
oleh Dzun-Nun. Abdul Malik menuduh Dzunun-Nun sebagai zindiq. Ketiak dihadapkan
kepada Mutawakkil, maka Mutawakkil sangat senang dan membuatnya menaruh rasa hormat yang sedemikian tinggi.[12]
Pasca al-Bishtami, al- Junaid pada 297 H/909 M hadir dengan mencoba mengkompromikan tasawuf
dengan syariat, hal ini
ia lakukan setelah
melihat banyaknya pro-kontra antara sufi dan ahlual-hadits.[13]
dimasanya, lagi pula al-Junaid jugamempunyai basic sebagai seorang
ahli hadis dan fiqh. Dengan apa yang dilakukannya, al-Junaid berharap kalangan
ortodoksi Islam tidak menghakimi kaum tasawuf sebagai kaumyang sesat. Dan
rupanya al-Junaid berhasil, minimal ia telah mengubah cara pandangkalangan ortodoksi
terhadap tasawuf. Tampil bersama dengan al-Junaid, al-Kharraj (277H) yang juga
menelurkan karya-karya kompromistis antara ortodoksi Islam dan tasawuf.
C.
Prinsip atau bentuk peradilan
Pada masa Abbasyiyah, hakim mengalami berbagai perkembangan. Mereka
memrintah atas nama agama dan inilah menjadi pedoman bagi meraka. Secara umum
empat mazhab tersebut yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti
Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu, masa Abbasiyah ini
dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pula
disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum
dari al-QurĂ¢an dan al-Sunnah.
Di antara perubahan- perubahan yang lahir pada masa ini adalah:
1.
Lemahnya
ijtihad hakim dalam menetapkan hukum lantaran telah berkembang mazhab.
Hakim pada masa ini memerintah sesuai dengan mazhab yang
dianut oleh penguasanya. Misalnya di Iraq hakim memutuskan perkara dengan
mazhab Hanafi karena mazhab tersebut lahir di Iraq, Di Syam hakim memutuskan
perkara sesuai dengan mazhab di daerah tersebut yaitu mazhab Maliki sedangkan
di Mesir seorang hakim memutuskan sesuai dengan mazhab Syafi’i. Namun apabila
orang yang berpekara tidak menganut menganut mazhabyang sesuai dengan mazhab
hakim, maka hakim tersebut menyerahkan orang yang berpekara tersebut kepada
hakim yang sesuai dengan mazhabnya.
2.
Para
hakim memutuskan perkara di bawah kekuasaan pemerintah. Pada masa Abbasyiyah
seorang hakim memutuskan perkara hukum sesusuai dengan keingin penguasa. Oleh
karena itu banyak ulama fuqaha’ yang menolak jabatan yang diajukan oleh para
penguasa. Kekacauna dalam bidang hukum dan tidak adanya satu pedoman yang harus
dipegang oleh para hakim sehingga mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang
Muslim Iran yang pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah
yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu
peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi
permintaan ini dan meminta izin kepada Imam
Malik bin Anas untuk menetapkan satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi
ummat Islam sebagai rujukan.
3. Dibentuknya lembaga Qadly
al-Qudat (Mahkamah Agung) yang merupakan instansi tertinggi dalam
peradilan.
Qadly al-Qudat adalah suatu lembaga
pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung pada masa sekarang) pada masa Harun
al-Rasyid yang berkedudukan di ibu kota negara.Pejabat Qadly al-Qudat yang
pertama ialah al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub ibn Ibrahim, penyusun kitab Al-Kharraj.
Kejadian tersebut sangat memuliakan Abu Yusuf dan memperhatikan hakim-hakim
serta gerak-gerik mereka.
4.
Masa Abbayiyah II, keadaan
pemerintahn menjadi kacau balau, peradilanpun tidak ketinggalan rusak. Di akhir-akhir masa daulat Bani abbasiyah,perkembangan peradilan pada masa
ini mengalami kemerosotan.Pemicu hancurnya tatanan peradilan pada masa Dinasti
Abbasiyah antara lain sebagai berikut :
a. Keadaan pemerintahan yang sudah rusak.
b. Karena pengangkatan hakim sudah harus membayar
sejumlah uang kepada Negara.
c. Wilayah kekuasaan Abbasiyah semakin surut
d. Hak dan wewenang pengadilan juga semakin
surut.
Dengan lemahnya
pemerintahan, maka lemah pula kekuasaan hakim dan berangsur-angsur surut daerah
hukum yang menjadi wewenang hakim. Terus-menerus keadaan ini berangsur-angsur
surut, hingga merosot sampai pada hanya menyelesaikan soal-soal sengketa dan
soal-soal ahwal al-shahshiyah (hukum keluarga) saja.[14]
Pada Masa Harun Arrasyid,
Beliau mengangkat seorang Qadhi yaitu Abu Yusuf yang dikenal sebagai Qadgi
Qudhat( Hakim Agung) seorang ahli fiqih Mazhab Hanafi. Abu Yusuf mendapat
penghormata dari Khalifah untuk mengangkat hakim yang bermazhab Hanafi saja,
dan telah dibentuk satu jabatan peradilan yang penting yang angkat oleh Abu
Yusuf yang disebut Qadhi Qudhat. Abu Yusuf adalah orang yang menguasai fiqh dan
hadis dengan baik. Kitab yang paling terkenal adalah kitab al-Kharaj yang
merupakan kumpulan berbagai pendapat hukum tentang pajak, jizyah, pengelompokan
tanah menurut manfaatnya dan lain-lain. Abu Yusuf juga takut mengkritik
Khalifah dalam bukunya.[15]
Abu Yusuf kemudian digantikan oleh Abdullah Muhammad bin Harun As-Syaibani.[16]
Tugas Qadhi tersebut adalah:
1.
Mengawasi
2.
Mengangkat
3.
Memecat Qadhi
4.
Meninjau keputusan yang dikeluarkan
Maka pada masa ini telah
ada ketua mahkamah dan pembagian wilayah peradilan tertentu yang mengatur dan
menertibkan urusan mereka. Tetapi setelah beberapa daerah memisahkan dari
kekuasaan di baghda yaitu Abbasyiyah, maka masing-masing daerah memiliki qadhi
qudhat (hakim Agung) sendiri, yang di Andalusia (Spanyol) disebut sebagai Adli
Jama’ah.[17] Di Andalusia,
pengawasan terhadap tindakan kriminal serta hukum-hukum yang ditetapkan oleh
syariat agama juga diserahkan kepada polisi. Lapangannya sedikit lebih luas
dibandingkan dengan lapangan jabatan hakim.[18]
Pada masa ini juga telah
didirikan gedung-gedung untuk meraka para qadhi, pakaian khusus (toga),
memiliki pengawal khusus untuk usrusan mereka. Pada masa ini juga telah
diadakan pembukuan putusan secara sempurna, pencatatan wasia-wasiat dan
hutang-hutang. Dan kekuasaan peradilan semakin meluas , sehingga dimasukkan
pula dalamnya keuasaan kepolisian, Wilayatul Madhalim,[19]
Wilayatul Hisbah dan pengawasan mata uang dan baitul mal.
BAB
IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah Fiqih
pada masa Abbasyiyah mengalami perkembangan yang sangat berkembang, bekas hal
ini dapat kita lihat seperti yang tertulis pada bab II (pembahasan) yaitu
hukum-hukum baru ketika itu muncul karena adanya hubungan baru dari daerah yang
lain. Perhatian para khalifah juga tidak ketinggalan mengembangkan para fuqaha’
pada masanya menjalankan sistem pemerintahannya supaya lancar. Salah satu
contohnya adalah membuat hakim agung yang dipimpin oleh Abu Yusuf yang
dipandang cakap oleh umat Islam pada masa itu.
Berkembangnya
fiqih pada masa Abbasyiyah juga dapa dilihat bagaimana sikap para Khalifah dan
Fuqaha’ terhadap para penganut Tasawuf pada masa itu. Kedua hal tersebut dapat
berjalan bahkan saling membutuhkan satu sama lain untuk tegaknya ajaran Islam
itu sendiri. Walaupun pada awal-awalnya muncul
kecurigaan yang sangat besar dari para pembesar-pembesar Istana terutama
para fuqaha’ yang selalu menaruh perhatian kepada keselamatan umat Islam atas
berkembangnya ajaran tasawuf.
Pada masa Abbasyiyah, lembaga negara,
adminitrasi peradilan dengan segala macam transaksi, samapai kepada
ketentuan-ketentuan hukum sipil yang paling sederhana, harus memenuhi
tuntutan-tuntutan hukum agama. Masa Abbasyiyah, agama bukan sekedar penting
bagi negara, tapi justru merupakan urusan pertama dan utama bagi negara.
Rujukan:
Rujukan:
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: rajawali pers, 2010), hal. 49.
[2] Munawir Syazali, Islam dan Tata Negara, ( jakarta: UIP, 1990).
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 52.
[4] Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hal. Xvi.
[5] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Penerjemah. Nadirrsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 104.
[6] Dedi Supriayadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setian, 2008), hal. 149.
[7] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Penerjemah. Nadirrsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 103.
[8] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, PenerjemahAsmuni Solihin, (Jakrta: Khalifa, 2004), hal.312.
[9] A. Hasjmy,Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 270.
[10]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. .230-256.
[11] Philip K. Hitti, History of Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu, 2006), hal. 549.
[12] Imam Suyuthi, Tarikh Khulafa,’ Terj. Rahman, (Jakarta: Kausar, 2005), hal. 428.
[13] http://id.scribd.com/doc/49737675/PERKEMBANGAN-TASAWUF-MASA-ABBASIYAH
[14]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy..Peradilan dan Hukum Acara Islam. (Semarang: PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997), hal. 27
[15] Abdurrahman, Syari’at Kodifikasi Hukum Islam, Terj. Basri, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 143
[16] Syauqi Abu Khalil, Harun Ar-Rasyid, terj. Ali Ashami, (Jakarta: kausar, 2006), hal. 193.
[17] Muhammd Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1993). hal. 49.
[18] Ibnu Khaldun,
[19] Wilayah Madhalim adalah suatu kekuasaan dalm bidang pengadilan yang lebih tinggi daripada keuasaan hakim. Lihat Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003). hal. 55.
[2] Munawir Syazali, Islam dan Tata Negara, ( jakarta: UIP, 1990).
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 52.
[4] Mubarok, Jaih. Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hal. Xvi.
[5] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Penerjemah. Nadirrsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 104.
[6] Dedi Supriayadi, Perbandingan Mazhab dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Pustaka Setian, 2008), hal. 149.
[7] Rasyad Hasan Khalil, Tarikh Tasyri’, Penerjemah. Nadirrsyah Hawari, (Jakarta: Amzah, 2011), hal. 103.
[8] Samir Aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, PenerjemahAsmuni Solihin, (Jakrta: Khalifa, 2004), hal.312.
[9] A. Hasjmy,Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), hal. 270.
[10]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. .230-256.
[11] Philip K. Hitti, History of Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu, 2006), hal. 549.
[12] Imam Suyuthi, Tarikh Khulafa,’ Terj. Rahman, (Jakarta: Kausar, 2005), hal. 428.
[13] http://id.scribd.com/doc/49737675/PERKEMBANGAN-TASAWUF-MASA-ABBASIYAH
[14]Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy..Peradilan dan Hukum Acara Islam. (Semarang: PUSTAKA RIZKI PUTRA, 1997), hal. 27
[15] Abdurrahman, Syari’at Kodifikasi Hukum Islam, Terj. Basri, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 143
[16] Syauqi Abu Khalil, Harun Ar-Rasyid, terj. Ali Ashami, (Jakarta: kausar, 2006), hal. 193.
[17] Muhammd Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, (Surabaya: Bina Ilmu Offset, 1993). hal. 49.
[18] Ibnu Khaldun,
[19] Wilayah Madhalim adalah suatu kekuasaan dalm bidang pengadilan yang lebih tinggi daripada keuasaan hakim. Lihat Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003). hal. 55.