PERKEMBANGAN NORMA, ETIKA SOSIAL SEBAGAI SUMBER PENEMUAN HUKUM DALAM HUBUNGAN DENGAN HUKUM KESEHATAN
Saturday, 20 September 2014
SUDUT HUKUM
| Penemuan hukum dalam hubungannya dengan hukum kesehatan pada dasarnya tidak
ada bedanya dengan penemuan hukum dalam bidang-bidang hukum lain seperti hukum
perdata, hukum pidana, hukum tata Negara dan sebagainya. Tidak ada yang khusus
atau istimewa dengan penemuan hukum pada hukum kesehatan bila dibandingkan
dengan penemuan hukum pada bidang-bidang lainnya.
Di
dalam hukum acara, baik pidana maupun perdata dikenal adanya dua tahap, yaitu
tahap menemukan peristiwa konkrit dan tahap menemukan hukum yang meliputi
menemukan peristiwa hukumnya dan menemukan hukumnya yang akan diterapkan
terhadap peristiwa hukum tersebut. Dua tahap itu harus secara sadar dibedakan,
tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena tahap-tahap itu
merupakan rangkaian kegiatan yang berurutan bahkan terjalin satu sama lain.
Peristiwa
konkritnya harus diketemukan lebih dahulu. Untuk menemukan peristiwa konkritnya
harus dilakukan pembuktian. Jadi penemuan hukum konkrit berlangsung dengan
pembuktian.
Setelah
peristiwa konkritnya dibuktikan, yang berarti diketemukan atau dikonstatir
peristiwa konkritnya, maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau
diterjemahkan menjadi peristiwa hukum agar hukum atau undang-undang dapat
diterapkan. Peristiwa konkrit tersebut harus diberi kualifikasi hukumnya atau
terjemahan dalam bahasa hukum. Undang-undang atau hukumnya tidak dapat secara
langsung diterapkan pada peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit atau das Sein
harus diterjemahkan dalam bahasa hukum terlebih dahulu, sehingga menjadi
peristiwa hukum agar undang-undang atau das Sollen dapat ditetapkan.
Jadi
penemuan hukum bertujuan menemukan peristiwa hukumnya dan hukumnya untuk
diterapkan. Mengapa hukumnya harus diketemukan? Oleh karena hukumnya tidak
lengkap atau tidak selalu jelas. Tidak ada hukum undang-undang yang lengkap
selengkap-lengkapnya atau selalu jelas.
Penemuan
hukum itu mempunyai aturan permainan. Jadi menemukan hukum tidak berarti asal
menemukan hukum menurut kehendak.
Dalam
ajaran penemuan hukum dikenal adanya sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum
itu adalah : peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi,
perjanjian international dan doktrin.
Sumber-sumber
hukum itu mengenal hierarkhi atau kewedaan, artinya kalau kita hendak mencari
suatu pengertian hukum misalnya maka haruslah dicari terlebih dahulu dalam
peraturan perundang-undangan. Kalau tidak ada barulah kita cari dalam hukum
kebiasaan. Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ada, maka dicarilah dalam
yurisprudensi. Kalau dalam disitupun tidak ada kita cari lebih lanjut dalam
perjanjian international dan selanjutnya. Jangan sampai terjadi: dicari dalam
peraturan perundang-undangan saja belum sudah dicari dalam doktrin.
Kecuali
itu dalam menemukan hukum yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa kalau itu
tidak diatur dalam peraturan perundang-undang tidak selalu berarti bahwa hal
itu dibolehkan atau dilarang.
Sumber
hukum yang disebutkan diatas adalah sumber formil hukum. Hukum tidak hanya
berwujud kaedah saja tetapi dapat berwujud perilaku. Dalam perilaku manusia
terdapat hukum. Oleh karena itu perilaku manusia merupakan sumber formil hukum.
Perilaku manusia merupakan dapat bersifat pasif, yaitu sikap (iktikad baik) dan
bersifat aktif misal membuat perjanjian.
Etika
sosial menurut hemat saya adalah pedoman atau kaedah yang berisi ukuran untuk
menilai tindakan manusia di dalam masyarakat.
Dari
apa yang diuraikan di atas maka kaedah (norma) dan perkembangannya serta etika
sosial merupakan sumber hukum.
Apa
hubunganya perkembangan norma dan etika sosial sebagai sumber penemuan hukum
dengan hukum kesehatan? Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya
hubungannya sama dengan bidang-bidang hukum lainnya, tidak ada keistimewaannya,
tetapi akan dicoba disini mencari hubungannya.
Masih
jelas dalam ingatan kita peristiwa dr. Setianingrum binti Siswoko dari Pati
yang diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981,
karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan dijatuhi hukuman
percobaan tiga bulan penjara.
Sekalipun
dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati
tersebut (2-6-84), tetapi putusan Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi
Semarang yang menguatkannya sudah terlanjur menimbulkan keresahan dilingkungan
para dokter. Lebih-lebih lagi karena kemudian terjadi beberapa perkara serupa yang
diputus oleh Pengadilan Negeri. Bahkan akhir-akhir ini ada beberapa berita
surat kabar yang menggelisahkan tentang dokter yang menyuntik anak yang
menimbulkan akibat yang tidak diharapkan.
Timbulnya
keresahan dikalangan para dokter dapat dipahami, karena pada umumnya tidak
banyak dokter yang memahami hukum. Jangankan memahami, tertarik atau perhatian
pada hukum saja tidak. Bahwa hukum itu bertugas mengaur dan melindungi
kepentingan manusia barangkali dipahami. Bahwa dokter menghendaki kepastian
hukum akan perlindungan kepentingannya itu sadar betul. Akan tetapi sebaliknya seperti
orang kebanyakan pada umumnya, karena kurang pengetahuannya tentang hukum,
tidak mau terlalu diikat peraturan-peraturan hukum. Jadi sebagian besar para
dokter menghadapi suatu dilema: disatu sisi ingin perlindungan dan kepastian
hukum, tetapi disisi lain tidak mau terlalu diikat oleh peraturan-peraturan.
Kalau
memahami hukum kiranya tidak perlu melihat sebagai suatu dilema. Perlu disadari
bahwa hukum itu bertujuan mengatur tatanan masyarakat dan bertugas melindungi
kepentingan manusia dan masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan
mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Melindungi kepentingan
manusia dan masyarakat berarti menuntut dan mengharapkan pengorbanan dari
anggota masyarakat.
Dalam
hubungan dokter-pasien kepentingan kedua belah pihak dilindungi oleh hukum.
Hubungan
dokter-pasien dikenal inspanningsverbintenis, yang berarti bahwa
prestasi dokter tidak dilihat pada hasilnya (resultaatnya), tetapi yang dilihat
adalah upaya atau usahanya untuk menyembuhkan itu sungguh-sungguh tidak. Kalau
sudah berupaya keras untuk menyembuhkan, tetapi akhirnya tidak berhasil, maka
hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Sebaliknya ada hak
pada pasien yang perlu diperhatikan oleh dokter juga, yaitu right of
selfdetermination, right of healthcare dan right
of information.
Dari
segi hukum dokter dan pasien masing-masing mempunyai kedudukan yang sama,
kedudukan yang sama dalam memperolarh hak atas perlindungan.
Kesimpulan
Kaedah
itu bersifat dinamis, selalu berkembang. Jadi norma yang berkembang merupakan
sumber hukum. Demikian pula etika sosial, yang merupakan kaedah juga, merupakan
sumber hukum.
Dalam
hubungannya dengan hukum kesehatan norma yang berkembang dan etika sosialpun
merupakan sumber hukum.
Oleh :Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,
S.H.http://s-hukum.blogspot.com/2014/08/prof-dr-rm-sudikno-mertokusumo-sh.html