-->

Perumusan Tindak Pidana dalam Peraturan Perundang- undangan

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan pedoman dan teknik dasar dalam perancangan suatu peraturan perundang-undangan. Ketika hal itu menjadi bagian “Ketentuan pidana” dalam undang-undang administratif, maupun ketika merumuskannya dalam undang-undang pidana.
  2. Secara umum suatu rumusan tindak pidana, setidaknya memuat rumusan tentang:

    a. subyek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm);
    b. perbuatan yang dilarang (strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission) dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan); dan
    c. ancaman pidana (strafmaat).
    Sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya tersebut. Terlalu beragamnya perumusan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan bersambungan langsung dengan masalah penafsiran atas ketentuan tersebut, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pencapaian tujuan hukum itu sendiri, seperti kepastian hukum dan keadilan, yang pada gilirannya mempengaruhi efektivitas praktek penegakan hukum.
  3. Adressaat norm suatu tindak pidana umumnya di hubungkan dengan suatu istilah yang kerap disebut sebagai “kenmerk”, “elemen” atau”bestanddeel” suatu tindak pidana. Dalam hal ini adalah idiom “hij die” atau di indonesia-kan “barang siapa”.
  4. Idiom ‘barang siapa” merujuk kepada addressat suatu tindak pidana, yaitu siapakah yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana
  5. Dengan demikian, untuk menentukan apakah seseorang adalah “barang siapa” sebagaimana dimaksud dalam rumusan tindak pidana, tergantung dari jawaban apakah seseorang tersebut adalah subyek hukum yang dituju oleh norma hukum yang terdapat dalam perundang-undangan yang memuat suatu tindak pidana.
  6. Berdasarkan sejarahnya semua tindak pidana dalam KUHP tertuju pada orang perseorangan, sehingga jelas merupakan kekeliruan ketika praktek hukum mencoba memasukan dalam pengertian “barang siapa” dalam KUHP, bukan hanya terdapat orang perseorangan (naturlijk persoon) tetapi juga korporasi, baik badan hukum ( recht person) ataupun bukan badan hukum untuk mendapat gambaran tentang addressat suatu tindak pidana dapat juga dilakukan dengan melihat hal ihwal kepentingan yang hendak dilindungi oleh norma-norma hukum pidana itu.
  7. Ada rumusan tindak pidana yang melarang perbuatan yang “menyakiti”, merugikan atau melukai obyek hukum, seperti pembunuhan (Pasal 338 KUHP) atau pencuruan (Pasal 362 KUHP). Dalam hukum pidana modern, ancaman pidana di tujukan kepada orang perseorangan (natuurlijke person) atau korporasi (korporatie).
  8. Sepintas lalu terlihat ketika ancaman pidana hanya di tujukan terhadap orang perseorangan (KUHP), digunakan sebutan umum “Barang siapa” untuk menujukan addressaat norm-nya.
  9. Bahkan pada tahun yang sama dengan tahun dimana pertama kali digunakan idiom “setiap orang”, pembentuk undang-undang mengundangkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan dengan menggunakan istilah “barang siapa” untuk menujukan sasaran umum tindak pidana yang diaturnya.
  10. Lain lagi halnya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008, yang sekalipun telah menggunakan istilah setiap orang tetapi masih ditambahkan istilah “lembaga” untuk menunjukan addressaat norm-nya. Beberapa istilah bersifat sangat umum, seperti “Setiap pihak” dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahutentang 1992 Pasar Modal atau “
  11. rang asing” dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian.
  12. Ancaman pidana tidak dapat ditujukan kepada “saksi” karena saksi adalah orang yang tidak melakukan tindak pidana, tetapi justru yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri dari suatu tindak pidana. Demikian pula halnya Pasal 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengancam pidana bagi “saksi”, sehingga mengacaukan apakah seseorang itu sebagai pelaku pidana ataukah hanya saksi.demikian pula ketentuan Pasal 83 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika, masih mengancam pidana terhadap perbuata, dengan menentukan: “Percobaan atau permufakatan jahat diancam dengan pidana yang sama”.
  13. Perbuatan yang dilarang (strafbaar) dalam suatu tindak pidana adalah isi undang-undang yang harus dibuktikan penuntut umum, untuk dapat menyatakan seseorang melakukan tindak pidana. Tidak pidana pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu.
  14. Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakekatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut.
  15. Bukankah hukuman pidana hanya dapat bekerja jika masyarakat mendapat peringatan yang memadai baik mengenai perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan maupun perbuatan yang justru harus dilakukan.dengan demikian, perbuatanya tetap dirumuskan dalam undang-undang.
  16. Persoalannya hingga sekarang landasan demikian belum juga dipositifkan dalam peraturan perundang-undangan sehingga terhadap undang-undang diluar KUHP dibentuk dengan suatu asumsi bahwa perbuatan yang dilarang di dalam ketentuan pidana selalu dipandang sebagai dolus, kecuali dinyatakan dengan tegas sebagai delik culpa. Perlu kebijaksanan pembentukan undang-undang untuk menetapkan hanya perbuatan yang dapat terjadi karena kesengajaan pembuatnya saja yang dijadikan tindakan tindak pidana.
  17. Dalam peraturan perundang-undangan, kesengajaan seharusnya dikeluarkan dari rumusan tindak pidana. Sementara itu, mengenai kealpaan dapat tetap menjadi bagian rumusan tindak pidana.
  18. Ketentuan pidana dalam undang-undang administratif seharusnya hanya berisi ancaman pidananya (strafmaat), sedangkan perbuatan yang dilarangnya (strafbaar) berada dalam norma administratif ketentuan administratif ini dapat berupa suatu perintah ataupun larangan.
  19. Ketika rumusan tindak pidana di tujukan untuk mengamankan ketentuan administratif yang berisi atau larangan, maka ketentuan administratif tersebut menjadi bagian inti (bestanddeel) tindak pidana.
  20. Konsekuensinya, dalam lapangan hukum acara, ketentuan administratif tersebut harus menjadi perbuatan yang di dakwakan (berstanddeelen delict) dan karenanya harus dapat dibuktikan.
  21. Sebaliknya, jika rumusan tindak pidana di tujukan untuk mengamankan perintah yang terdapat dalam ketentuan administratif, maka ketentuan administratif tersebut hanya diperlukan untuk menafsirkan bagian inti (bestanddeel) tindak pidana tersebut yang sebenarnya baik perbuatan maupun sanksinya telah ada dalam ketentuan pidana tersebut.

  22. Demikian misalnya ketentuan pidana dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan. Dalam hal ini rumusan tindak pidananya adalah sebagai berikut:

    a. “Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 23 ayat (2), Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 35 Peraturan daerah ini diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan, dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah)”.
    b. Padahal tindak pidana ini dapat dibedakan dalam “pelanggaran perintah administratif”, yaitu sebagaimana dalam hal terjadi pelanggaran norma administratif yang ditentukan dalam Pasal 16, Pasal 23 ayat (2), Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 35 ayat (1) peraturan daerah ini; sedangkan tindak pidana sebagai akibat “pelanggaran larangan administratif” terjadi dalam hal melanggar ketentuan Pasal 26 dan Pasal 35 ayat (2) peraturan ini.
  23. Pidana adalah reaksi atas tindak pidana, yang berwujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat tindak pidana tersebut
  24. Antara “perbuatan yang dilarang” atau strafbaar dan “ancaman pidana” atau strafmaat mempunyai hubungan sebab akibat (kausalitas). Bahkan “larangan” terhadap perbuatan yang termaktub dalam rumusan tindak pidana justru “timbul” karena adanya ancaman penjatuhan pidana tersebut barangsiapa yang melakukan perbuatan tersebut;
  25. Selain itu, ancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana selalu ditujukan kepada pembuatannya

  26. Artinya, dengan penjatuhan pidana maka celaan yang objektif ada pada tindak pidana kemudian berubah bentuk menjadi celaan subyektif kepad pembuatnya. Umumnya pengancaman pidana dalam suatu rumusan tindak pidana, dapat mengikuti beberapa model, yaitu;

    a. satu jenis pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal (kecuali terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu);
    b.  satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana lain;
    c. satu jenis pidana diancamkan secara kombinasi alternatif-kumulatif. Oleh karena itu, pengkajian terhadap rumusan ancaman pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan menujukan adanya keberagaman perumusan ancaman pidana, sebagaimana terurai di bawah ini.
  27.  Meskipun umumya para ahli sepakat, menggunakan istilah “pidana” tetapi istilah tersebut tidak selalu digunakan dalam undang-undang.
  28. Beberapa undang-undang mengunakan istilah “hukum”. dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Pidana Pencucian Uang, didepan kata “Penjara” tidak digunakan kata “Pidana”, sehingga tetulis: “…Dipidana dengan penjara…”.
  29. Misalnya Undang-Undang Nomor Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, menggunakan idiom ”Pidana denda”.
  30. Dalam Pasal 16 undang-undang tersebut ditentukan “..Dipidana dengan pidana denda…”. Sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan berbagai undang-undang lainnya hanya menggunakan istilah “Denda” saja tanpa ditambahkah istilah “Pidana” didepannya.
  31. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menggunakan istilah “Paling lama” untuk pidana penjara dan “ Paling sedikit “ dan “Paling banyak” untuk denda.
  32. Sementara itu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monpoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, menggunakan istilah “serendah-rendahnya” dan “setinggi-tingginya” untuk menunjukkan minimum dan maksimum khusus pidana dendanya.
  33. Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi khususnya ketentuan Pasal 18 tentang pidana tambahan pembayaran uang pengganti, digunakan istilah “Sebanyak-banyaknya” untuk menggambarkan jumlah maksimum pidana tambahan pembayaran uang pengganti yang dapat dijatuhkan. Misalnya, dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menentukan : … Dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun…” Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, setelah uraian perbuatannya digunakan istilah “…Diancam dengan pidana penjara..”.
  34. Senada dengan hal ini Undang-Undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya menggunakan istilah “…Dapat dipidana dengan…”lain lagi dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang serikat pekerja/serika buruh, menggunakan anak kalimat: “…Dikenakan sanksi pidana penjara…”.
  35. Umumnya ancaman pidana ditempatkan pada bagian akhir suatu rumusan tindak pidana.
  36. Teknik terakhir ini untuk menghindari kesan ancaman pidana tertuju hanya terhadap sebagian perbuatan saja (bagian perbuatan yang disebut terakhir).

  37. Misalnya Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang menentukan :

    “Setiap orang yang senada dengan sengaja : Menempatkan, Mentransfer, Membayar, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa, Menukarkan, Menyembunyikan atau menyamarkan…,dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara…”.Perumusan ini menjadi lebih baik apabila dirumuskan sebagai berikut :
    “ Dipidana dengan pidana penjara…..,setiap orang yang: Menempatkan, Mentransfer, Membayar, Menghibahkan, Menitipkan, Membawa, Menukarkan, Menyembunyikan atau menyamarkan…”.

  38. Penempatan rumusan ancaman pidana yang tidak tepat secara demikian juga dilakukan pembentuk undang-Undang dalam banyak Undang-Undang diantaranya:

    - Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004;
    - Pasal 77 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002;
    - Pasal 13 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002;
    - Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000;
    - Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;
    - Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 63, dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997.
  39. Beberapa undang-undang di luar KUHP telah menyimpangi pola umum pengancaman pidana dalam KUHP, dengan menggunakan model pengancaman kumulatif (yang ditandai dengan kata penghubung “dan” diantara dua jenis pidana yang diancam) atau model kombinasi alternatif–kumulatif yang ditandai dengan kata penghubung “dan/atau” diantara dua jenis pidana yang diancamkan).
  40. Persoalannya, pada subyek tindak pidana korporasi, hanya dapat dijatuhkan pidana pokok berupa denda, dan tidak dapat dijatuhkan jenis pidana perampasan kemerdekaan.
  41. Sekalipun salah satu ancaman pidana dalam rumusan tindak pidana adalah denda, tetapi tetap saja dengan model pengancaman kumulatif hakim.
  42. Misalnya pada rumusan tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasurasian.
  43. Beberapa undang-undang di luar KUHP menggunakan minimum khusus dalam ancaman pidana sementara sistem ini tidak dikenal dalam KUHP.
  44. Umumnya undang-undang menempatkan ancaman minimum khusus ini “didepan” ancaman maksimum khususnya.
  45. Dengan demikian, ditentukan : “…dipidana dengan pidana penjara paling singkat… dan paling lama..”.
  46. Demikian pula halnya terhadap denda, ditentukan : “… Dipidana dengan denda paling sedikit .. dan paling banyak…” Namun demikian, tidak begitu halnya dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
  47. Setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau “Pidana penjara paling lama 25 (dua puluh lima) tahun dan paling singkat 10 (sepuluh) tahun”.
  48. Dengan demikian, pidana mati disebutkan lebih dulu daripada pidana penjara seumur hidup, dan pidana penjara seumur hidup disebutkan lebih dahulu dari pada pidana penjara selama waktu tertentu.
  49. Argumen ini juga menjadi gugur, jika diperhatikan ketentuan Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.
  50. Disini ancaman pidana tunggal (hanya pidana penjara selama waktu tertentu), tetapi menggunakan model minimum khusus. Minimum khusus disebutkan kemudian dari pada maksimum khususnya.
  51. Sekalipun menggunakan minimum khusus, tetap saja harus disebut lebih dulu daripada maksimum khususnya.
  52. Demikian misalnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003 tentang Terorisme, sekalipun pidana penjara selama waktu tertentu merupakan alternatif dari pidana penjara seumur hidup dan pidana mati, dan dalam hal ini digunakan minimum khusus, maka minimum khusus disebutkan lebih dulu. Berdasarkan hal ini, mestinya Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia menentukan: setiap orang yang melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, b, c, d, dan e, di pidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara singkat 10 (sepuluh) Tahun dan paling lama 25 (dua puluh lima) tahun.
  53. Ada tiga model perumusan jumlah pidana. pertama, fix model, dalam hal ini rumusan tindak pidana menyebutkan dengan tegas berapa jumlah pidana (maksimum ataupun jika perlu minimumnya) yang dapat dijatuhkan hakim.
  54. Kedua, categorization model, dengan penyebutan dalam bagian ketentuan lain diluar rumusan tindak pidana jumlah pidana untuk beberapa kategori tertentu.
  55. Ketiga, free model, dalam hal ini undang-undang tidak menentukan dengan pasti jumlah pidana untuk setiap tindak pidana, melainkan penyerahan sepenuhnya kepada kebijaksanaan hakim .Undang-Undang Perpajakan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang–undang Nomor 16 Tahun 2000 menggunakan free model. Demikian pula ketentuan Pasal 39 undang-undang tersebut.
  56. Hal ini juga “disadari” oleh pembentuk undang-undang ini, karena dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 41 B, ancaman pidana denda disebut dengan tegas (fix model) berapa jumlah yang mungkin dijatuhkan oleh hakim. Demikian pula hanya ketentuan Pasal 51, Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 55 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995, tidak mencantumkan pidana denda secara jelas dalam ancaman pidana, melainkan diancamkan dengan perkalian nilai cukai yang seharusnya dibayar pelaku.
  57. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan ini juga berlaku dalam undang-undang diluar KUHP, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang itu.
  58. Padahal Undang-Undang tersebut tidak menyatakan menyimpang dari ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP. Hal ini akan membuka disparitas pidana yang terlalu lebar antara satu tindak pidana dan tindak pidana yang lain.
  59. Ketika mencantumkan pidana pokok dalam undang-undang di luar KUHP, umumnya undang-undang menggunakan jenis-jenis pidana pokok yang ditentukan dalam Pasal 10 KUHP.

  60. Selain yang disebutkan dalam Pasal 10 KUHP, diantaranya adalah:

    - Pembatasan gerak pelaku baik bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku (UU 23/2004);
    - Penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga tertentu (UU 23/2004);
    - Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana (UU 27/2003);
    - Pembayaran uang pengganti (UU 31/1999);
    - Pencabutan izin usaha penyediaan tenaga listrik atau izin operasi (UU Nomor 20 Tahun 2002);
    - Kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan (UU Nomor 16 Tqahun 2001);
    - Pencabutan izin usaha (UU Nomor 5 Tahun 1999);
    - Larangan pada pelaku usaha untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (Dua) Tahun dan selama-lamanya 5 (Lima) Tahun (UU Nomor 5 Tahun 1999);
    - Penghentian kegitan lain atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain (UU Nomor 5 Tahun 1999);
    - Pembayaran ganti rugi (UU Nomor 3 Tahun 1997).

  61. Sementara itu, beberap ketentuan yang bersifat punitive tidak jelas apakah masuk sebagai sanksi pidana (straf) ataukah tindakan (maatreegel), misalnya :

    - Pasal 53 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 yang menentukan: “Semua benda hasil tindak pidana atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 52 dapat dirampas atau dimusnahkan oleh Negara sesuai dengan perampasan“.
    - Pasal 189 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menentukan: “Sanksi pidana penjara, kurungan, dan/atau denda tidak menghilangkan kewajiban pengusaha membayar hak dan/atau ganti kerugian kepada tenaga kerja pekerja/buruh”.
    - Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 yang menentukan : “Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pemegang izin usaha penyedia tenaga listrik dan pemegang izin operasi diwajibkan untuk memberi ganti rugi”.
    - Pasal 78 ayat (15) Undanng-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menentukan : ” Semua hasil hutan dari hasil kejahatan dan pelanggaran dan atau alat-alat termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini rampas untuk negara “.
oleh : *Dr. Chairul Huda, S.H.,M.H.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel