Syarat dan Rukun Sah Gadai
Saturday, 20 September 2014
SUDUT HUKUM | Perjanjian akad
gadai dipandang sah dan benar menurut
syari'at Islam memenuhi syarat dan rukun yang telah diatur dalam hukum Islam,
yakni sebagai berikut:
a. Syarat Gadai
Menurut Sayid Sabiq, syarat sahnya perjanjian atau akad gadai
itu ada 4 yaitu:
- Berakal
- Baligh
- Barang yang dijadikan borg (jaminan) ada pada saat akad
- Bahwa barang tersebut dipegang oleh orang yang menerima barang gadaian atau wakilnya.
Dari keempat syarat tersebut di atas dapat kita ambil satu
kesimpulan bahwa syarat sahnya gadai tersebut meliputi dua hal yaitu:
1) Syarat Gadai Subyektif (Rahn dan Murtahin)
Bahwa dalam perjanjian gadai ini, orang yang melaksaknakan
perjanjian gadai adalah harus memenuhi syarat cukup melakukan tukar menukar
benda. Apabila ia berakal sehat (tidak gila) dan mumayiz (mencapai
umur) orang yang berada di bawah pengampuan dengan alasan amat dungu (ghafah),
hukumnya seperti mumayiz, tetapi tindakan-tindakan hukum sebelum mencapai usia baligh (15
tahun) diperlukan izin pengampuannya. Apabila pengampu mengizinkan maka
perjanjian gadai dapat dilakukan. Dan bila wali atau pengampu tidak
mengizinkan, maka perjanjian gadai tersebut batal.
Bahwa pada dasarnya segala sesuatu yang diperbolehkan untuk
dijual, maka boleh untuk dijadikan jaminan (borg) utang. Dan
juga barang yang dijadikan jaminan sudah wujud pada waktu perjanjian terjadi.
Sehingga memungkinkan bagi barang itu untuk diserahkan seketika itu pada
murtahin dan juga barang tersebut mempunyai nilai menurut syara', maksudnya
adalah : Menurut Ibn Rusyd bahwa mengenai syarat-syarat gadai yang
disebutkan dalam syarat ada dua macam, yaitu: syarat sah dan syarat kerusakan.
Kemudian mengenai syarat-syarat sah yang disepakati pada garis besarnya, tetapi
diperselisihkan segi kesyaratannya yakni penguasaan barang, kedua yang diperlukannya
masih diperselisihkan.
Mengenai penguasaan terhadap barang yang digadaikan, maka garis
besarnya pada firman Allah "maka
hendaklah ada barang yang digadaikan (oleh orang yang berpiutang)" tetapi masih beselisih pendapat, apakah penguasaan barang ini
merupakan syarat kelengkapan ataukah syarat sahnya gadai, diperlukan pemisahan
tersebut adalah bahwa selama belum terjadi penguasaan, maka akad gadai tidak
mengikat bagi orang yang menggadaikan. Sebaliknya bagi fuqaha' yang
menganggap penguasaan sebagai syarat kelengkapan akad gadai
itu sudah mengikat dan orang yang menggadaikan dipaksa untuk menyerahkan
barang, kecuali bila penerima gadai tidak mau penuntutan demikian.
Dari ketentuan di atas dapatlah penulis memahami bahwa khilafiyah atau
perbedaan pendapat tersebut di atas bukanlah khilafiyah
yang prinsip. Hal ini disebabkan karena
sudut pandang yang berbeda antara mereka. Mereka berpendapat penguasan itu
termasuk syarat sahnya gadai, karena sebelum terjadi penguasaan. Maka akad gadai
itu tidak mengikat bagi orang yang berakad. Jadi dalam hal ini sebelum
terjadinya perjanjian gadai dan bagi mereka yang berpendapat penguasaan
merupakan syarat kelengkapan gadai, karena akad itu telah berlangsung, sehingga
penguasaan menjadi syarat mutlak dalam gadai.
b. Rukun Gadai
Di samping syarat-syarat dalam perjanjian gadai di atas, kita
juga mengenal adanya rukun dalam gadai. Menurut hukum Islam menyebutkan bahwa
rukun gadai itu ada 4 (empat), yaitu:
- Shighat atau perkataan
- Adanya dua orang yang berakal
- Adanya barang yang diakadkan
- Adanya utang.
a) Shighat atau perkataan
Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, pengertian akad menurut
bahasa adalah:
"Rabath (mengikat) adalah mengumpulkan dua tepi tali dan mengikat salah satunya dengan tali yang lain hingga bersambung, lalu keduanya menjadi sepotong benda"
"Perkataan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara' yang menetapkan keridlaan keduanya (kedua belah pihak)"
Rukun gadai di sini adalah ijab
dan qabul, sedangkan ijab
dan qabul
adalah sighat
aqdi atas perkataan yang menunjukkan kehendak
kedua belah pihak, seperti kata "Saya gadaikan ini kepada saudara untuk
utangku yang sekian kepada engkau", yang menerima gadai menjawab
"Saya terima runggukan ini"
Sighatul aqdi itu
memerlukan tiga ketentuan (urusan) pokok, yaitu:
- Harus terang pengertiannya
- Harus bersesuaikan antara ijab dan qabul
- Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan.
Di samping itu ketentuan di atas akad gadai
juga bisa dilakukan dengan bentuk bahasa, kata isyarat tersebut diberikan
terhadap apa yang dimaksudkan, sebagaimana yang dikatakan oleh TM. Hasbi
Ash-Shiddieqy dalam Pengantar Fiqh Muamalah adalah sebagai berikut:
"Isyarat bagi orang bisu sama dengan ucapan lidah (sama dengan ucapan penjelasan dengan lidah)".
b) Adanya dua orang yang berakal
Disyaratkan keduanya adalah ahli tasaruf (berhak membelanjakan
harta) dan tidak diperselisihkan lagi bahwa sifat orang-orang yang menggadaikan
adalah ia tidak dilarang untuk bertindak. Maka dari itu tiap-tiap orang yang boleh menggadaikan boleh
menerima gadai.
c) Adanya barang yang diakadkan
Pada dasarnya benda yang boleh untuk dijual juga boleh untuk
digadaikan. Begitu
juga sebaliknya sesuatu yang boleh digadaikan juga boleh dijual-belikan. Oleh
karena itu barang yang dijadikan jaminan harus mempunyai nilai dan manfaat
dalam keadaan biasa, tidak dalam keadaan terpaksa.
Menurut pendapat ulama Syafi'i dalam kitab Bidayah al-Mujtahid barang
yang dijadikan jaminan itu memiliki tiga syarat, yaitu:
- Barang itu nyata.
- Menjadi tetap, karena sebelum tetap barang tersebut belum bisa digadaikan.
- Barang yang digadaikan bisa dijual apabila pelunasan utang gadai telah tiba masanya.
- Adanya utang
Ada
utang disyaratkan keduanya telah tetap.