KUHAP Tidak Mengenal Putusan Bebas Tidak Murni
Saturday, 20 September 2014
SUDUT HUKUM | Pasal 244 Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang
berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir
oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut
umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung
kecuali terhadap putusan bebas”. Pasal 244 KUHAP ini adalah satu-satunya
landasan hukum untuk melakukan upaya hukum kasasi di dalam perkara pidana, dan
seperti kita ketahui jika disimak di dalam pasal tersebut kata demi kata tidak
ada kata-kata yang menerangkan putusan ‘bebas murni’ atau ‘putusan bebas tidak
murni’. Bahwa memang semua putusan Pengadilan, khususnya dalam peradilan pidana
terhadap pihak-pihak yang tidak puas dapat dilakukan upaya hukum, baik itu
upaya hukum biasa berupa Banding dan Kasasi, maupun upaya hukum luar biasa
berupa peninjauan kembali (herziening) sebagaimana diatur di dalam Bab XVII dan
Bab XVIII UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Namun khusus untuk putusan bebas dalam pengertian
“Bebas Murni” yang telah diputuskan oleh judexfactie sesungguhnya tidak dapat
dilakukan upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
Ketentuan ini ditegaskan di dalam pasal 244 KUHAP sebagaimana dikutip di atas.
Namun dalam praktiknya Jaksa/Penuntut Umum selalu tidak mengindahkan ketentuan
ini, hampir semua putusan bebas (bebas murni) oleh Penuntut Umum tetap
dimajukan kasasi. Jika dicermati sebenarnya di dalam pasal 244 KUHAP tidak membedakan
apakan putusan bebas tersebut murni atau tidak, yang ada hanya “Putusan Bebas”.
Tapi dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau
bebas tidak murni, entah dari mana dan siapa yang melakukan dikotomi per
istilah an tersebut. Yang jelas Penuntut Umum beranggapan putusan yang ‘bebas
tidak murni’ dapat dilakukan upaya hukum kasasi.
Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang
tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih,
antara lain :
- Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ;
- Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ;
- Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.
Sedangkan dalil hukum yang digunakan
Jaksa/Penuntut Umum dalam memajukan kasasi terhadap putusan bebas adalah selalu
sama yaitu mengacu pada Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun
1983 tanggal 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP
KUHAP) yang di dalam butir ke-19 TPP KUHAP tersebut ada menerangkan, “
Terdahadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan
situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas
dapat dimintakan kasasi. Hal ini didasarkan yurisprudensi ”.
Intinya TPP KUHAP ini menegaskan perlunya
Yurisprudensi yang dijadikan rujukan atau referensi untuk mengajukan kasasi
terhadap putusan bebas. Jadi kalau dipertanyakan apa kriteria TPP KUHAP
terhadap kalimat “.. berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan
kebenaran, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi.” TPP KUHAP tidak
memberikan kriteria yang tegas selain hanya berdasarkan penafsiran sepihak dari
Jaksa/Penuntut Umum. Padahal kita sangat tahu betul bahwa TPP KUHAP adalah
merupakan Keputusan Menteri Kehakiman RI No.M.14-PW.07.03 tahun 1983 tentang
Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) dan Keputusan Menteri Kehakiman
ini derajadnya jauh di bawah Undang-undang, dalam hal ini adalah UU No.8 tahun
1981 tentang KUHAP yang merupakan produk Legislatif dan eksekutif. Sehingga TPP
KUHAP yang berkaitan tentang itu isinya bertentangan dengan KUHAP itu sendiri,
sehingga upaya hukum yang dilakukan oleh Penuntut Umum terhadap putusan bebas
adalah cacat hukum dan tidak boleh ditoleransi.
Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan
Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat lagi dijadikan dalil hukum bagi
Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana
dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP tersebut, karena TPP KUHAP yang merupakan
produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum
tetap yang telah menjadi yurisprudensi sejak tahun 2000 bukan merupakan sumber
tertib hukum yang berlaku di Indonesia.
Dalam TAP MPR RI No. III tahun 2000 telah
menetapkan Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai
Sumber Tertib Hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu:
- UUD 1945
- Ketetapan MPR RI
- Undang-undang
- Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (perpu)
- Peraturan Pemerintah
- Keputusan Presiden yang Bersifat Mengatur ; dan
- Peradturan daerah ;.
Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat
dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat
banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity”
yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat
menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu
sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan
alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di
lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan
Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam
praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada
kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya
kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu,
Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi
kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan
hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.
Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh
penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di
samping bertentang dengan TAP MPR RI No.III tahun 2000 tentang Tertib Hukum
yang berlaku di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu,
Lex superior derogat legi lex inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang
lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya) (* Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.)