Tafsir Pase
Wednesday, 17 September 2014
SUDUT HUKUM | Latar belakang judul buku
ini diilhami oleh nama sebuah Kerajaan Islam/Daulah Kesultanan Samudera Pase
atau lebih popular dengan Kesultanan Islam Samudera Pase. Dinamakan Kesultanan
Samudera Pase karena kesultanan tersebut terletak di kampong Kuta Krueng atau
Kotakarang di tepi sungai Krueng Pase dalam wilayah Kecamatan Samudra Geudong,
sekarang termasuk dalam kawasan Kaupaten Aceh Utara, kurang lebih 14 kilometer
sebelah timur kota Lhok Seumawe.
Sultan
pertama kesultanan ini bernama Sultan Johan Syah yang dinobatkan pada tahun
1205 Masehi. Ia berasal dari Malabar, India dan terkenal sebagai pendiri
Daulah/Kerajaan Pase. Setelah Sultan johan Syah, kesultanan Pase dipimpin oleh
Malikus-salih (Meurah Silu), tahun 1291-1297. Pada masa Malikus-Salih,
kesultanan Pase dipersatukan dengan Perlak (Aceh:Peureulak)
menjadi satu kesultanan, yaitu Kesultanan Islam Samudra Pase yang luass
wilayahnya dari Tamiang (Kuala Simpang) ke Krueng Ulim (Samalanga) dengan
ibukotanya Samudra. Kemudian Sultan Malikus-Saleh secara berturut-turut
digantikan oleh Malikus-Zahir I (1297-1326), Malik az Zahir II (1326-1348),
Sultan Zainal Abidin (1350. Dan Sultan Iskandar Shah (1412). Setelah itu
kesultanan Samudera Pase mulai goyah akibat serangan dari luar, seperti
serangan dari Siam, Majapahit dan Nakur. Kesultanan Samudra Pase berakhir pada
tahun 1524. Usia Kesultanan ini sekitar tiga abad lamanya. Selama tiga abad
itu, Kesultanan Samudra Pase mengukir sejarah paling gemilang sebagai Pusat
Kerajaan Islam (Daulah Islamiyyah) di Nusantara. Sejak masa kesultanan ini,
Aceh telah mengadakan hubungan dengan luar negeri, seperti Malaysia, Saudi
Arabia, India, Iran, Mesir, dan Turki.
Menurut
cacatan Marco polo dari Venesia Italia, berdasarkan pengamatannya ketika
berkunjung ke Kesultanan Samudra pase pada tahun 1345, para Sultan Pase menaruh
perhatian besar terhadap kajian Islam atau masalah-masalah keagamaan. Maka,
keharmonisan antara Sultan dan Ulama benar-benar terjalin dengan baik. Di dalam
istana kesultanan diadakanhalaqah atau majlis pengajian, muzakarah atau
diskusi keagamaan, dan Sultan ikut serta di dalamnya. Dari halaqah pengajian
tersebut, lahirlah kader-kader ulama dan juru dakwah Islam yang bertebaran ke
seluruh penjuru Nusantara. Merekalah yang mengislamkan Nusantara. Meskipun
Kesultanan Samudera Pase telah jatuh, ia tetap menjadi Pusat Studi Islam yang
eksis sampai beberapa abad lamanya.
Untuk
mengenang masa-masa kejayaan Kesultanan Samudra Pase, yang merupakan Kesultanan
Islam dan cikal bakal Pusat Studi Islam di Nusantara, maka buku ini diberi
judul Tafsir Pase. Dan mengidupkan kembali tradisi
kajian Islam, seperti dilakukan pada masa Kesultanan tersebut, maka
didirikanlah sebuah Balai (Aceh: Bale) Pengajian yang diberi nama dengan Bale
Kajian Tafsir al-Quran Pase pada tanggal 21 Mei 1998.
Buku
tafsir ini adalah hasil pengelolaan dan penyempurnaan dari makalah-makalah yang
dpresentasikan dalam pertemuan-pertemuan (halaqah) pengajian Bale Kajian Tafsir
al-Quran, Masyarakat Pase, Kompleks Bappenas dan Perumahan Pondok Indah Jakarta
yang diadakan secara berkala setiap bulan, dengan berpindah-pindah dari rumah
ke rumah, yang sudah berlangsung selama dua tahun lebih. Para penulis naskah
berasal dari berbagai disiplin ilmu, demikian pula pesertanya yang heterogen.
Heterogenitas ini menjadikan pola penyampaian yang beragam pula. Dari hasil
kajian dalam halaqah tersebut, dibentuklah sebuah Tim Kecil yang beranggotakan
lima orang untuk mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan dan bahkan penulisan ulang,
dengan penambahan materi, penentuan topic, penetapan sistematika dan penambahan
rujukan, sehingga dapat disajikan ke hadapan siding pembaca yang budiman dalam
bentuk buku yang diberi judul : Tafsir Pase: Kajian Surah Al-Fatihah
dan Surah-surah Dalam Juz ‘Amma (Paradigma Baru); sebagai seri pertama.
Keistimewaan Tafsir Pase
Tafsir Pase ini merupakan tafsir
yang unik. pada dasarnya, penafsiran itu diberikan dalam bahasa Indonesia.
Namun disertai dengan bahasa daerah, yaitu bahasa Aceh, dengan bentuk puisi dan sajak. Cara
ini dimaksudkan agar penafsirannya dapat menyentuh pembaca, terutama yang
berasal dari daerah Istimewa Aceh.
Keistimewaan
lain dari tafsir ini adalah pemberian tema sentral pada setiap surah. Sebagai
contoh: surah Al-Fatihah ( Esensi Al-Quran), surah An-Nas (Penangkal
Kejahatan), surah Al-Falaq (Permohonan Perlindungan),surah
Al-Ikhlas ( Monotheisme Murni), dan surah Al-Lahab ( Akibat
Menentang Kebenaran). Kemudian pada setiap penggalan ayat diberikan
topik tertentu sesuai dengan muatan pesan dalam ayat-ayat tersebut.
Tafsir Pase: Paradigma Baru
Tafsir
Pase (e dibaca seperti bunyi elok) memiliki beberapa keunikan,
antara lain: tafsir ini dalam pembahasannya memadukan unsure-unsur Qurani
dengan nuansa cultural. Hal ini dapat dilihat pada sistematika dan penerjemahan
ayat-ayat yang memadukan bahasa aslinya dengan bahasa Indonesia dan bahasa
daerah. Bahasa daerah yang ditampilkan pun sangat unik, yaitu bahasa yang
bersajak dalam bahasa Acah atau disebut juga dengan nazham Aceh.
Unsur kedaerahan ini sengaja ditampilkan unutk memperkaya khazanah pemahaman
al-Quran dan sekaligus mengakrabkan pembaca kepada bahasa ibunya, terutama
mereka yang berasal dari Daerah Aceh. Di samping itu, pembahasa dan uraian ayat
demi ayat disajikan dengan bahasa Indonesia agar dapat dipahami oleh semua
pihak. Jadi, nilai seni dan sastra yang terkandung baik dalam bahasa asli
al-Quran maupun bahasa menyentuh perasaan begitu ia membaca, memahami, dan
menghayatinya. Dalam hal ini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
satu-satunya terjemahan dalam bentuk nazham (bersajak) adalah
dalam bahasa Aceh. Memang, dalam berbagai bahasa di dunia al-Quran sudah
dialihbahasakan, tetapi tidak ada satu pun yang diterjemahkan ke dalam bentuk
nazham secara bersajak. Atas pertimbangan inilah, penyusun memasukkan tarjamah
dalam nazham Aceh ke dalam Tafsir Pase ini.
Aspek
lain yang paling penting dalam tafsir ini ialah penyusunan surah-surah dalam juz
‘amma (juz ke-30) tidak dimulai dari surah yang panjang kepada yang
pendek, sebagaimana lazimnya kitab-kitab tafsir, tetapi sebaliknya, dari yang
pendek kepada yang panjang. Hal ini didasarkan pada pengalaman peserta halaqah pengajian
al-Quran Pase yang cenderung mengkaji surah-surah pendek, karena lebih mudah
untuk memahaminya, sebelum membahas surah-surah panjang. Namun, seperti
kebanyakan pengkaji al-Quran cendrung memahami surah al-Fatihah, karena
dianggap pembuka al-Quran dan sekaligus biasa dibaca dalam shalat terlebih
dahulu, sebelum berpindah kepada surah-surah lain. Atas pertimbangan inilah,
tafsir ini diawali dengan surah al-Fatihah secara utuh. Surah
ini disajikan dalam tafsir ini mengingat makna yang dikandungnya demikian sarat
dan padat; selain selalu dibaca dalam shalat oleh setiap mushalli (orang
yang melakukan shalat. Dan dengan sendirinya pemahaman dan penghayatan terhadap
surah ini merupakan suatu keharusan. Kemudian, disusul dengan surah-surah dalam juz
‘amma yang dimulai dari surah an-Nas dan diakhiri
dengan surahan-Naba’.
Metode Penafsiran
Dalam membahas ayat-ayat, penyusunan
menggunakan metode kombinasitahlili-maudhu’i. Tentu saja kombinasi dua
metode ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan secara utuh dan akurat. Hal ini
disebabkan pembahasan yang sangat panjang selain keterbatasan ruang dan waktu.
Namun, prinsip-prinsip dasar kedua metode ini tetap tak terabaikan. Misalnya
dalam membahas ayat-ayat penyusun memperhatikan urutan atau susunan ayat dan
surah, asbabun nuzul, dan mengutip sebagian pendapat ulama
yang dianggap relevan di samping kebanyakan percikan pemikiran penyusun
sendiri. Pada sisi lain, dalam membahas ayat-ayat penyusun memuat ayat-ayat
yang ada korelasinya dengan tema atau topic dari setiap penggalan ayat. Dengan
demikian, setiap penggalan ayat dapat dipahami maknanya ketika membaca
ayat-ayat lain yang ada relevansinya.
Untuk
memudahkan pembahasan, penyusun membuat satu pola atau acuan penafsiran dengan
sistematika: penyajian teks ayat setiap surah secara utuh; tarjamah dalam
bahasa Indonesia dan nazham Aceh, ikhtisarkandungan
setiap surah, asbabun nuzul ayat, topik pada setiap penggalan
ayat, teks setiap penggalan ayat, tafsir setiap penggalan ayat, munasabahayat,
dan mau’izhah.
Sebelum
dibahas setiap penggalan ayat, terlebih dahulu disajikan teks ayat setiap surah
secara lengkap berikut terjemahannya dalam bahasa Indonesia; dan dimuat pula
terjemahan dalam nazham Aceh. Terjemahan terjemahan terakhir ini sebagai
pelengkap, tidak dilihat pada pengulangan terjemahan, yang pertama dalam bahasa
Indonesia dan yang terakhir dalam bahasa daerah, tetapi lebih kepada pengenalan
dan penghargaan terhadap nilai seni yang indah secara bersajak.