Filsafat Islam
Sunday, 23 November 2014
Filsafat | Filsafat Islam ini sebenarnya mengambil tempat yang istimewa. Sebab
dilihat dari sejarah, para filosof dari tradisi ini sebenarnya bisa dikatakan
juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat (Yunani).
Terdapat dua pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap
filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat
ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari
filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354–430 M), yang kemudian diteruskan
oleh Anicius
Manlius Boethius (480–524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa
orang Eropa belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filsafat Yunani
yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti
Al-Kindi dan Al-Farabi.
Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena
menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories,
dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan
dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan
ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar
filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan
Aristoteles dari terjemahanterjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan
oleh filosof Islam (Haerudin, 2003).
Majid Fakhri cenderung mengangap filsafat Islam sebagai mata rantai
yang menghubungkan Yunani dengan Eropa modern. Kecenderungan ini disebut
europosentris yang berpendapat filsafat Islam telah berakhir sejak kematian Ibn
Rusyd. Pendapat ini ditentang oleh Henry Corbin dan Louis Massignon yang
menilai adanya eksistensi filsafat Islam. Menurut
Kartanegara (2006) dalam filsafat Islam ada empat aliran yakni:
- Peripatetik (memutar atau berkeliling) merujuk kebiasaan Aristoteles yang selalu berjalan-jalan mengelilingi muridnya ketika mengajarkan filsafat. Ciri khas aliran ini secara metodologis atau epistimologis adalah menggunakan logika formal yang berdasarkan penalaran akal (silogisme), serta penekanan yang kuat pada daya-daya rasio. Tokoh-tokohnya yang terkenal yakni: Al Kindi (w. 866), Al Farabi (w. 950), Ibnu Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (w. 1196), dan Nashir al Din Thusi (w.1274).
- Aliran Iluminasionis (Israqi). Didirikan oleh pemikir Iran, Suhrawardi Al Maqtul (w. 1191). Aliran ini memberikan tempat yang penting bagi metode intuitif (irfani). Menurutnya dunia ini terdiri dari cahaya dan kegelapan. Baginya Tuhan adalah cahaya sebagai satu-satunya realitas sejati (nur al anwar), cahaya di atas cahaya.
- Aliran Irfani (Tasawuf). Tasawuf bertumpu pada pengalaman mistis yang bersifat supra-rasional. Jika pengenalan rasional bertumpu pada akal maka pengenalan sufistik bertumpu pada hati. Tokoh yang terkenal adalah Jalaluddin Rumi dan Ibn Arabi.
- Aliran Hikmah Muta’aliyyah (Teosofi Transeden). Diwakili oleh seorang filosof syi’ah yakni Muhammad Ibn Ibrahim Yahya Qawami yang dikenal dengan nama Shadr al Din al Syirazi, Atau yang dikenal dengan Mulla Shadra yaitu seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran di atas.
Dalam Islam ilmu merupakan hal yang sangat dianjurkan. Dalam Al
Quran kata al-ilm dan kata-kata jadiannya digunakan lebih 780 kali. Hadis
juga menyatakan mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim. Dalam pandangan
Allamah Faydh Kasyani dalam bukunya Al Wafi: ilmu yang diwajibkan kepada setiap muslim adalah ilmu yang mengangkat posisi
manusia pada hari akhirat, dan mengantarkannya pada pengetahuan tentang
dirinya, penciptanya, para nabinya, utusan Allah, pemimpin Islam, sifat Tuhan,
hari akhirat, dan hal-hal yang mendekatkan diri kepada Allah.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri
tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa ilahi. Mempelajari alam berarti akan
mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan. Dengan demikian
penelitian alam semesta (jejak-jejak ilahi) akan mendorong kita untuk mengenal Tuhan dan menambah keyakinan terhadapnya.
Fenomena alam bukanlah realitas-realitas independen melainkan
tanda-tanda Allah SWT. Fenomena alam adalah ayat-ayat yang bersifat qauniyyah,
sedangkan kitab suci ayat-ayat yang besifat qauliyah. Oleh karena itu ilmu-ilmu agama dan umum menempati posisi
yang mulia sebagai obyek ilmu.