Sejarah Ahmadiyah di Indonesia
Thursday, 6 November 2014
SUDUT HUKUM | Ahmadiyah adalah sebuah organisasi keagaman yang didirikan oleh
dan para pengikut Mirza Ghulam Ahmad, seorang yang berkebangsaan India-Pakistan.
Ahadiyah didirikan pada tahun 1889 Mereka ataupada tahun 1306 dan Mirza GhuamAhmad sendiri lahir apda tahun 13 Februari 1835 beretepatan dengan 14 Syawal
1250 H dan meninggal pada tangal 26 Mei 1908.
Pada awal-mulanya berdiri Ahmadiyah hanya terkonsentrasi pada ‘penginjilan’
dan bukannya pada moderniasi pemikiran Islam, walaupun dalam
kesempatan lanjutannya, Ahmadiyah mempersiapkan kader-kader mubaligh
untuk dididik sesuai dengan keahlian yang dimiliki oleh para evangelis.
Ia dibekali kemampuan dalam bidang ilmu-ilmu kekristenan, seperti hafal injil,
kelemahan injil, pengkodifikasian injil dan lain sebagainya. Hal ini dilakukan
untuk mengimbangi kemampuan cara berdakwah dari para
penginjil.
Mirza Ghulam Ahmad |
Ahmadiyah sebagai ordo keagamaan yang lahir kemudian, merupakan
sekte yang mencoba membangun peradaban Islam dengan satu ajaran,
yang selama ini paling dinanti-nanti oleh kaum muslim, sunni khusunya,
yaitu Imam Mahdi. Berangkat dari paradigma Imam Mahdi inilah Ahmadiyah
membangun basis ummatnya dan dengan cara ini pula ia memberlakukan kepada
ummatnya untuk tunduk kepada pimpinan pusat bukan suatu hal yang aneh dalam
sistem keorganisasai, akan terasa aneh jika hal itu malah tidak ada. Disamping
hal-hal yang umum bersifat organisatoris, ketundukannya juga dalam bidang
hal-hal keagamann, seperti kewajiban membacakan pidato-pidato keagamaan dari
pemimpin tertinggi dan dalam beberapa hal mengikuti pola Jumatan a la Ahamaiyah Qadian, yaitu mengikuti teks khutbah secara visual
lewat jaringan televisi. Ini
bukan hal yang aneh jika hanya berisi pesan ketakwaaan dan lainnya, namun yang
kemudian terjadi pertentangan dengan kebebasan individu dalam berekspresi dalam keagamaannya,
dalam pandangan umum tentunya.
Dalam membangun kepercayaan ummatnya bahwa Ghulam Ahmad
adalah Nabi, Imam Mahdi dan kelahiran kembali dari Isa as. Ghulam Ahamd
menyatakan dalam salah satu bukunya:
“Adalah kehendak dari keinginan Alah swt bahwa Dia akan menarik semua roh-roh suci yang tinggal paa berbaai tempat dalam berbagai negeri di Eropa atau Asia, semua orang mempunyai fitrat baik kepada ajaran Tauhid. Allah swt akan mengumpulkan semua hamba-hamba-Nya dalam agama yang satu. Inilah maksud Allah swt yang untuk perwujudannya ini aku [Mirza Ghulam Ahamd, pen.] telah diutus ke dunia. Maka baiknya kamu megikuti benar-benar maksud itu, tetapi dengan jalan lemah lembut, mengutamakan keluhuran ahklak serta banyak berdoa ke hadhirat Allah swt .”
Kebebasan individu yang dianggap telah terampas inilah yang kemudian
dianggap orang luar telah menjadikan Ahmadiyah sebagai sekte yang
kurang baik dan tidak termasuk dalam Ahlusunnah wal Jamaah, dalam kacamata organisasi negara Islam6. Pengucilan terhadap Ahmadiyah inilah yang membuat sekte ini
mencari jalan baru dalam menyiarkan keyakianannya bahwa Imam Mahdi dan
keberlangsungan nabi merupakan keniscayaan sejarah manusia. Adapun cara baru
yang dimaksud adalah melalui cara-cara yang dilakukan oleh kaum Nasrani, yaitu
debat keagamaan, baik itu sesama muslim maupun dengan non muslim yang bertujuan
untuk meyakinkan bahwa kepandaian dan keunggulan ilmu serta kebenaran ajarannya
dapat dipertanggungjawabkan secara ilahiah, ilmiah dan sosial7—tiga hal yang merupakan pijakan awal dalam
sistem ideologi keagamaan, sekte, yang harus dimiliki.
Ahmadiyah sampai di Indonesia pertama kali di bawa oleh seorang ulama
besar Indonesia, yaitu Maulana Rahmat Ali, setelah itu Ahmadiyah berkembang
dengan luas. Ahmadiyah secara resmi baru terdaftar pada Departemen Kehakiman RI
adalah pada tanggal 13 Maret 1953, padahal masuknya, dalam artiansamapai
berekmbang secara luas mulai tahun 1925.
Sejarah Ahmadiyah di Indonesia dibawa oleh seorang utusan khusu dari
Ahmadiyah Qadian yaitu: Maulana Rahmat Ali, H.A. O.T. yang diutus oleh
Imam Jemaat Ahmadiyah, Khalifatul Masih II, Hazrat Mirza Basyiruddin Mahmud
Ahmad r.a. Rahmat Ali di tugasi untuk menyampaikan ke Indonesia bahwa
Imam Mahdi yang ditunggu telah datang ke dunia ini.
Dalam perkembangan selanjutnya, perkembangan Ahmadiyah di Indonesia
adalah berkat dukungan dari DR. H. Abdul Karim Amarullah, karena
dengan kebijakannya, ia memerintahkan kepada muridnya untuk pindah
dalam belajar ilmu-ilmu keislaman dari Mesir menuju India. Karena menurut
Amarullah di India mutu pendidikannya juga tidak kalah dengan mutu pendidikan
di Mesir. Tepatnya apda tahun 1922. Adapun murid beliau adalah murid yang beraal dari Sumatera Thawalib, mereka itu adalah: Abu Bakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini
Dahlan menyusul tiga bulan kemudian.
Ketertarikan mereka terhadap Ahmadiyah adalah ketika mereka bertiga
diajukan pertanyan mengenai “Bagaimanakah pendapat guru-guru dan ulama
di Indonesia tentang nabi Isa a.s.?” mereka pun menjawab bahwa di Indonesia ada
dua pendapat, yakni:
1. Nabi Isa masih hidup di langit . ini pendapat H.A. Akrim Amrullah, tetapi kemudian berubah seperti yang tercantum dalam “Al-Qaulus Shahih’ yang menyatakan bawha nabi Isa a.s. telah wafat.
2. Nabi Isa a.s. mungkin diangkat ke langit, dan mungkin juga pergi entah k emana serta wafat entah di mana. Ini pendapat Zainuddin Labai al Yunusi.