Sifat Hukum Pidana
Sunday, 16 November 2014
SUDUT HUKUM | Hukum pidana mempunyai dua unsur pokok yang berupa norma dan sanksi, dengan fungsi sebagai ketentuan yang harus ditaati oleh setiap orang di dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan untuk menjamin ke-tertiban hukum, maka hubungan hukum yang ada dititikberatkan kepada kepentingan umum.
Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan rakyat.
Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik. Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama.
Di situ terjadi hubungan antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.
Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat dike-tahui berdasarkan:
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum.
Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.
Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat hukum publik, seperti Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan kaedah-kaidah (norma) baru, melain-kan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya.
Hanya pada suatu tingkatan ter-tentu, sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menun-tut suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada "penga-duan" dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.
Pompe menyatakan bahwa yang dititikberatkan oleh hukum pidana dalam pertumbuhannya pada waktu sekarang adalah kepentingan umum, kepentingan masyarakat. Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang dan menimbulkan pula dijatuhkannya pidana, di situ bukanlah suatu hubungan koordinasi antara yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan itu bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk memperhatikan kepentingan rakyat.
Hazewinkel-Suringa tegas mengatakan bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik. Pemangku ius puniendi ialah negara sebagai perwakilan masyarakat hukum. Adalah tugas hukum pidana untuk memungkinkan manusia hidup bersama.
Di situ terjadi hubungan antara pelanggar hukum publik hukum pidana dalam hal dapatnya dipidana (strafbaarheid) suatu perbuatan pada umumnya tetap ada walaupun dilakukan dengan persetujuan orang yang menjadi tujuan perbuatan itu, dan penuntutannya tidak tergantung kepada mereka yang dirugikan oleh perbuatan yang dapat dipidana itu. Tetapi ini tidak berarti bahwa hukum pidana tidak memperhatikan kepentingan orang pribadi. Orang pribadi itu dapat menjadi pihak penuntut perdata dalam perkara pidana khususnya dalam hal ganti kerugian.
Sifat hukum pidana sebagai hukum publik antara lain dapat dike-tahui berdasarkan:
- Suatu tindak pidana itu tetap ada, walaupun tindakannya itu telah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari korbannya;
- Penuntutan menurut hukum pidana itu tidak digantungkan kepada keinginan dari orang yang telah dirugikan oleh suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang lain.
- Biaya penjatuhan pidana dipikul oleh negara sedangkan pidana denda dan perampasan barang menjadi menjadi penghasilan negara.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana dapat dinyatakan merupakan hukum publik. Hal ini didasarkan kepada hubungan hukum yang diatur di dalam hukum pidana titik beratnya tidak berada pada kepentingan individu, melainkan pada kepentingan-kepentingan umum. Sifat ini dapat dilihat pada hukum pidana, yaitu dalam hal penerapan hukum pidana pada hakekatnya tidak tergantung kepada kehendak seo-rang individu, yang in concreto langsung dirugikan, melainkan diserah-kan kepada pemerintah sebagai wakil dari kepentinan umum.
Misalnya dalam hal terjadinya tindak pidana penipuan, penuntutan seorang penipu tidak tergantung kepada kehendak orang yang ditipu, melainkan kewe-nangan instansi Kejaksaan sebagai alat pemerintah. Hanya saja sebagai kekecualian, ada beberapa tindak pidana yang hanya dapat diajukan ke pengadilan atas pengaduan (klacht) dari orang yang diganggu kepen-tingannya, misalnya tindak pidana penghinaan dan perzinahan.
Namun ada beberapa sarjana yang tidak sependapat bahwa hukum pidana bersifat hukum publik, seperti Van Kan, Paul Scholten, Logeman, Lemaire dan Utrecht. Para ahli ini berpendapat, bahwa hukum pada pokoknya tidak mengadakan kaedah-kaidah (norma) baru, melain-kan norma hukum pidana itu telah ada sebelumnya pada bagian hukum lainnya dan juga sudah ada sanksinya.
Hanya pada suatu tingkatan ter-tentu, sanksi tersebut sudah tidak seimbang lagi, sehingga dibutuhkan sanksi yang lebih tegas dan lebih berat yang disebut sebagai sanksi (hukuman) pidana. Alasan lainnya yang dikemukakan untuk memperkuat pendapat mereka ialah, bahwa justru tidak selalu penguasa wajib menun-tut suatu tindak pidana tertentu karena dipersyaratkan harus ada "penga-duan" dari pihak yang dirugikan atau yang terkena tindak pidana, hal ini menunjukkan bahwa hukum pidana tidak bersifat hukum publik.