Hakikat Sebuah Teks
Wednesday, 24 December 2014
Hakikat Sebuah Teks
Berubahnya teks dari wilayah pengetahuan
tertentu dan menjadi garapan pemikiran, memiliki arti bahwa ia mempunyai
gagasan (rancangan) dan dunianya sendiri. Dunia teks membutuhkan perhatian,
dengan tanpa mentransformasikan kepada pengarangnya dan dunia luar. Dalam
logika kritik, teks terlepas dari pengarangnya
dan dunia luar. Dalam logika krtik, teks terlepas dari pengarangnya sebagaimana
ia terlepas dari acuanya, agar dapat menyuguhkan dunia wacana yang memiliki
kebenaran dan keadilan dari semua yang ada. Tentu tidak semua wacana mewarnai
(membetuk) sebuah teks.
Teks adalah wacana yang sempurna setelah
diakui dan diresmikan. Ia adalah pembicaraan yang menetapkan kemampuanya,
mendapatakan ketunggalnnya, dan menjadi pengaruh yang dikembalikan pada
dirinya. Jadi, teks bukan realitas (al-wâqi),
itulah yang menjadi acuan. Yakni bahwa dirinya memaksa dan mendorong pembaca untuk
membacanya secara terus-menerus. Pembaca tidak membaca teks lantaran ia merefleksikan atau
mengubahnya menjadi realitas. Maka, teks yang
merefleksikan realitas tidak lagi memiliki signifikansi karena ia berhenti
seiring dengan berhentinya realitas yang terjadi.
Misalnya membaca kembali Muqaddimah-Nya
Ibnu Khaldun, bukanlah untuk mengetahui realitas yang ada pada masa Ibnu Khaldun, melainkan agar pembaca dapat mengerti realitas saat ini
atau menyambut (realitas) masa depan yang akan datang. Teks bukanlah cermin dari realitas,
melainkan ia berkutat diantara apa yang sedang terjadi dan yang mungkin harus
terjadi. Sampai disini, maka keterkaitan teks dengan realitas merupakan
peniadaan realitas itu sendiri. Ia adalah
penghalang yang bertumpuk-tumpuk; mengabaikan kebenaran teks dari satu sisi,
dan melepaskan realitas pada sisi yang lain.
Demikian itu karena teks bukan realitas
yang ditemukan dalam arah dan tempatnya, melainkan di sana terdapat kejadian
dan peristiwa yang tidak bisa dipisahkan dari penafsiran-penafsiran atau
pembacaan yang ditundukan. Artinya, pada akhirnya teks hanya berupa
riwayat-riwayat dan wacana-wacana. Jika wacana dengan tabiatnya menghalangi
realitas maka usaha untuk mentransformasikan atau mengaitkannya dengan realitas
tertentu hanya sekedar penafsiran sebuah teks dengan teks lainnya, menutupi
penghalang (hijbu li al-hijbi). Hal itu tidak berarti bahwa teks hanya
menciptakan realitas. Tetapi teks menciptakan realitas
sekaligus memiliki (menguasai) kerealitasnya. Ia membuat kemungkinan bagi pemikiran, penegah pemahaman, atau penerima relitas.
Kritik teks membuka sebuah kritik
terhadap kebenaran dan temuantemuan dunia. Ia membuka hubungan baru dengan kebenaran yang seharusnya
mengubah pemahaman dan cara bergaul dengannya. Dalam pandangan kritik,
kebenaran bukanlah esensi yang melampaui kondisinya, atau ditemukan terpisah
dari wacananya melainkan ia diciptakan oleh teks itu sendiri. Dengan kata lain,
bahwa teks, dari aspek ini, tidak mengkaji kebenaran tetapi ia menentukan
kebenaran sendiri. Misalnya saja, apa yang dikaji Immanuel Kant bukanlah yang
dimaksudkan untuk mencapai kebenaran transendental yang mendahului pengalaman,
tetapi itulah teks yang ditinggalkan olehnya untuk manusia, yang memiliki
kekuatan untuk melawan, disamping melampaui upaya-upaya perubahan dan
penghimpunan, dan tidak bisa kembali kepadanya. Contoh lain adalah kebenaran
yang ada dalam kitab al-Asfâr al- Âqliyyah al-Arba’ah karya Sadruddin
as-Sairazi, bukanlah apa yang coba dikaji dan dicapai oleh sang pengarang
melalui perjalanan intelektualnya, tetapi kebenaran itu sendiri adalah
kebenaran teks yang mendorong pembaca untuk membaca dan menulisnya, yakni
kemungkinan yang dikandung oleh teks atau temuan-temuan pada saat pembaca
melakukan pembacaan dan pembongkaran terhadapnya.
Jadi teks bukan yang berkata tentang kebenaran yang terdapat dalam
teks, melainkan ia adalah wacana yang menetapkan kemampuan dan menciptakan kebenaran sendiri, kritik
adalah perpindahan dari teks kebenaran (Nashsh
al-Haqîqah) menuju kebenaran teks (Haqîqah an-Nashs).
Tidak ada pembicaraan benar dan salah
dalam konsep hubungan antara teks dan kebenararn. Pembenaran dan penyalahan dibenarakn
jika pembaca bergumul bersama teks yang mencerminkan atau sesuai dengan
kebenaran pikiran dan hal-hal yang berdiri di luarnya, sebagaimana kritik
klasik yang menggunakan konsep kontradiksi atau kerancuan. Jika sebuah teks
menciptakan kebenaran dan memiliki keralitasannya maka pembaca harus
memberlakukan teks tersebut sebagaimana memberlakukan sebuah peristiwa, artinya
pembaca harus berusaha membuka dimensi atau membuka kemungkinan-kemungkinan,
membebaskan belenggu, atau memikirkan fungsi dan manfaatnya. Dalam pengertian
seperti ini, teks menjadi kuat dan urgen (signifikan). Ia melepaskan
kerancuanya dan melahirkan beberapa interaksi, atau bahkan ia bebas dari
pengaruh apa pun. Ada perbedaan antara ungkapan yang kuat/kokoh, sepeti puisi
al-Mutanabbi yang selalu mengajak kepada pembaca untuk merujuknya dan ungkapan
penyair sendiri yang tidak meninggalkan pengaruh apa pun di sisi
pembacanya. Ada juga perbedaan antara
pendapat Hegel yang selalu melahirkan beragam interpretasi, dan ungkapan Hegel
sendiri yang hanya sekedar penjelasan kelompoknya.
Kritik bukan berarti melawan berbagai
usaha dan teks, sebagaimana yang ditempuh oleh al-Ghazali. Menurut Ibnu Sina dan al- Farabi,
hal-hal kontradiktif yang dibangun al-Ghazali lebih kuat dibanding dengan apa
yang harus dimusnahkan. Dalam arti bahwa teks senantiasa memaksa dan mendorong pembaca untuk membaca dan
memikirkanya. Krtik bukan berarti pengelabuhan wacana-wacana, sebagaimana menurut Abi al- Ala
al-Ma'ari dalam komentarnya terhadap Maqậlật
ar-Rusul dan shadiq Jalal al-Azham dalam konsepnya tentang dogma dan
kebenaran tunggal. Teks nabawî misalnya, ia tidak menyimpan sesuatu yang
signifikan dalam memaparkan kebenaran atau apa yang sesuai denganya. Tetapi
pada tingkat pertama, ia menyembunyikan kebenaranya dalam melihat segala yang
ada (maujûd), mekanisme pemproduksi makna bagaimana berinteraksi dengan
kebenaran, dan juga cara mengungkapkan sesuatu.
Bergumul dengan teks tidak memiliki arti
apa-apa jika dilihat dari kacamata dialektika. Teks yang kuat dan signifikan tidak akan rapuh,
tetapi mungkin malah memberikan peluang pada pembaca untuk memperbincangkan
kekontradiksian dan keragamanya. Lebih tepatnya teks-teks mengajak kepada
pembaca untuk mengkritisi dan mendekonstruksi. Contoh konkretnya adalah pembacaan Michel Faucoult terhadap teks
Plato, terutama dalam hal cinta.
Setelah melakukan beberapa interpretasi
metafisis-dalam waktu yang cukup panjang-terhadap Plato, Michel Foucault tampil dengan interpretasi
yang berbeda. Menurutnya cinta dalam
pengertian plato bukanlah sesuatu yang menjahui jasad dikarenakan adanya
persoalan lain, yaitu tentang kebenaran cinta sebagai hubungan dengan kebenaran
yang mengubah dari kerinduan yang hakiki menjadi rindu terhadap kebenaran.
Pembacaan Foucault itu mengisyaratkan
bahwa: pertama, teks yang kuat akan lebih kuat dari pada usaha
pengarangnya. Dalam arti bahwa ia sulit ditahan atau malah berubah menjadi
madzhab, dogma, sekte, atau ideologi, kedua teks tidak membuthuhkan
seorang pen-syarah dan pengkaji, sebagaimana segala sesuatu membutuhkan
pada pembacaan secara aktif-produktif dengan membaca segala yang tidak terbaca
sebelumnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa teks mempunyai kebenaranya
sendiri. Artinya teks tidak memuat kebenaran karena wacana yang hanya berupa
teks kebenaran akan berakhir seiring dengan berakhirnya realitas yang menjadi
keberlangsungan kebenaran. Adapun teks yang mengharuskan dirinya sendiri
merupakan teks yang senantiasa mendorong membaca untuk merujuknya dalam
memahami realitas dan kebenaran. Teks tidak membicarakan kebenaran, tetapi
membuka hubungan dengannya.