Sekilas Tentang Hermeneutik
Sunday, 21 December 2014
Pengertian Hermeneutik
ILMU | Banyak ragam metode penelitian
filsafat maupun pengetahuan ilmiah lainya, namun belum sepenuhnya mencukupi
untuk menyingkap nilai kebenaran dari realitas[1]Metode merupakan pondasi dan
dasar penalaran manusia. Setiap manusia berpikir secara khas, sebenarya sudah
menggunakan metode, hanya tingkatan kadar saja yang berbeda. Salah satunya
adalah metode hermeneutik, yaitu metode yang ditawarkan oleh beberapa ilmuwan, untuk
mencari kebenaran melalui penafsiran simbol yang berupa teks atau benda konkret
untuk dicari arti dan maknanya.
Hermeneutik secara umum dapat
didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat tentang interpretasi makna[2 Kata hermeneutika itu sendiri
berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja hermeneuin,
yang berarti “menafsirkan”, dan kata benda hermenia, “interpretasi”.3 Sedangkan
pengertian hermeneutik secara istilah adalah sebuah teori tentang
operasi-operasi pemahaman dalam hubungannya dengan teks.4
Secara teologis pesan Hermes ini bisa
dinisbatkan sebagaimana peran Nabi utusan Tuhan. Sayyed Hoseen Nashr memiliki hipotesis bahwa
Hermes tersebut tidak lain adalah Nabi Idris a.s., yang disebut dalam Al-Quran,
dan dikenal sebagai manusia pertama yang mengetahui tulisan, teknologi tenun, kedokteran, astrologi dan lain-lain.
Menurut riwayat yang beredar di lingkungan pesantren, Nabi Idris adalah orang
yang ahli dibidang pertenunan (tukang tenun/memintal). Sedangkan
dilingkungan agama Yahudi Hermes dikenal sebagai Thoth, yang dalam mitologi mesir dikenal
dengan Nabi Musa.
Bagi Nabi Idris atau Hermes, persoalan
krusial yang harus diselesaikan adalah bagaimana menafsirkan pesan Tuhan yang
berbicara dengan bahasa “langit” dapat dipahami oleh manusia yang “berbahasa
bumi”. Dari sini makna metaforis dari profesi tukang tenun/memintal muncul,
yaitu merangkai kata Tuhan agar dapat ditangkap dan mudah dipahami oleh manusia.
Dengan demikian kata hermeneutika yang
diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of
interpretation) sebuah teks. Sebagai sebuah ilmu, hermeneutika harus menggunakan
cara-cara ilmiah dalam mencapai makna rasional dan dapat diuji sebagai sebuah
seni, ia harus menampilkan sesuatu yang baik dan indah tentang sesuatu
penafsiran.
Pengasosiasian hermeneutik dengan Hermes
ini, secara sekilas menunjukan adanya tiga unsur yang pada akhirnya menjadi variabel
utama dalam kegiatan manusia dalam memahami,
yaitu :
a. Tanda, pesan atau teks yang menjadi
sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa Hermes.
b. Pranata atau penafsiran (Hermes)
c. Penyampaian pesan itu oleh sang perantara
agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima.6
Secara lebih luas hermeneutika
didefinisikan oleh Zygmunt Bauman sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar
dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak
jelas, kabur, remang-remang dan kontradiktif yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar atau
pembaca. Jika diruntut keberadaan hermeneutik
dapat dilacak sampai Yunani kuno. Pada waktu itu sudah ada diskursus hermeneutik sebagaimana
yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang
bejudul peri hermenian (the interpretation).
Hemeneutik dalam perjalanannya,
sebagaimana dikemukakan oleh Richard E. Palmer. Palmer memberikan peta hermeneutik sebagai berikut:
Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab
suci. Hermeneutik dalam bentuk ini membicarakan tentang tradisi gereja dimana masyarakat
Eropa mendiskusikan otensitas Bibel untuk mendapatkan kejelasan maknanya,
hermeneutik identik dengan prinsip interpretasi. Kenyataan ini acap kali
termanifestasikan sampai sekarang, terutama jika dihubungkan dengan penafsiran
kitab suci (exegesis of scripture) bentuk hermeneutik semacam ini dikaji
oleh J. C. Dannhauer’s. Kajian semacam ini memiliki aneka macam bentuk dan
melahirkan berbagai corak pemikiran seperti yang dilakukan Martin Luther yang
memberikan interpretasi dalam Bibel melukis mistik, dogmatik, humanis, dan lain
sebagainya.
Kedua, hermeneutik sebagai sebuah metode filologi.
Dimulai dengan munculnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya,
perjalanan filologi klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh pada hermeneutik
Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam teologi. Kajian dalam
bentuk semacam ini dimulai oleh Ernesti pada 1761 M. Sampai akhirnya corak ini
dianggap sebagai metode penafsiran sekuler oleh pihak gereja. Namun, sejak
munculnya abad pencerahan di Eropa sampai sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan
dengan metode research dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada
abad ke-19 M yang sering didiskusikan oleh filolog, Schleimacher, Frederich August Wolf, dan Frederich Ast. Ia memberikan porsi yang
sama dengan tafsir terhadap kitab suci dan teks lainnya.7
Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik
(science of linguistic understanding). Schleimacher membedakan hermeneutik sebagai science (ilmu) dan hermeneutik sebagai art (seni)
dalam memahami. Bentuk memahami dalam hermeneutik merupakan arti secara umum dalam
keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan
sampai saat ini. Arti tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif
historis, hermeneutik patut dianggap sebagai
pahlawan dalam penafsiran Bibel serta filologi tradisional. Sebab dengan
munculnya kedua bentuk disiplin tersebut menandai adanya pemahaman secara linguistic
(bahasa) terhadap teks.
Keempat, hermeneutik sebagai tradisi ilmu kemanusiaan.
Kerangka hermeneutik dalam bentuk ini dimulai Wilhelm Dilthey.8 Ia berusaha membawa
hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan
ekspresi kehidupan manusia. Dilthey memberi kritik terhadap Kant terutama dalam pure
reason-nya. Di akhir perkembangan pemikiran Dilthey, mereka berusaha
menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan.
Kelima, hermeneutik sebagai fenomena das sein dan
pemahaman eksistensialisnya yang dipengaruhi
gurunya, Edmund Husserl dalam perjalanannya bentuk hermeneutik filosofis ini dikembangkan oleh
Gadamer yang memberikan perhatian lebih terhadap
hermeneutik dalam kaitannya dengan filsafat. Ia tidak percaya dengan adanya metode tertentu
dalam mendapatkan hasil yang baik dalam
menginterpretasikan teks.
Keenam, hermeneutik sebagai sistem penafsiran. Bentuk
pemaknaan hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang menentukan
yaitu interpretasi (exsegesis) suatu bagian dari teks atau sekumpulan
tanda yang dianggap sebuah teks kajian tipe terakhir dari hermeneutik ini
dikemukakan oleh Paul Ricouer.
Asumsi paling mendasar dari hermeneutika
ini sebenarnya sudah jelas, yaitu adanya pluralitas dalam proses pemahaman manusia; pluralitas
yang dimaksud sifatnya niscaya, karena
pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.9 Sebenarnya, kesadaran akan
pluralitas pemahaman yang disebabkan oleh perbedaan
konteks ini telah muncul sejak lama dalam tradisi intelektual filosofis,
misalnya dalam pembedaan antara nomena-fenomena dari Immanuel Kant.
Menurut Kant, ketika seseorang berinteraksi
dengan sesuatu dan kemudian memahaminya lalu menghasilkan sebuah pengetahuan tentang sesuatu
tersebut, tidak pernah seseorang itu mampu memproduksi pengetahuan tentang
sesuatu tersebut sebagai sesuatu yang otentik sebagaimana adanya namun pengetahuan yang dihasilkanya
adalah pengetahuan tentang sesuatu itu “menurut dia” atau “sebagaimana yang ia
tangkap” peristiwa yang sama, jika dipahami oleh yang berbeda. Sangat mungkin
hasil pemahamannya juga berbeda.10 Bahkan peristiwa yang sama jika dihayati
oleh orang yang sama dalam waktu yang berbeda, sangat mungkin hasil
penghayatanya juga berbeda. Peristiwa itu sendiri tidaklah terjangkau karena
selalu saja ketika disentuh dipahami orang, maka peristiwa tersebut menjadi “peristiwa
menurut yang menyentuh atau yang memahaminya”. (*Nur Fatoni)
____________
Footnote:
1 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat,
Jakarta, PT Raja Grafido Persada, 2002, hlm. 83
2 Ahmala, Hermeneutik Transendetal,
Yogyakarta, IRCiSoD, 2003, hlm. 15
3 Hasan Sutanto, Hermeneutik Prinsip dan
Metode Penafsiran Al-Kitab, Magelang: Departemen Literature Saat, 2000,
hlm. 1
4Kris Budiman, Kosa Semiotika, Yogyakarta,
LKiS, 1999, hlm. 45
5 E. Sumaryono, Hermeneutika Sebuah Metode
Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, 1995, hlm. 24
6 Fahruddin Faiz, Hermenutika Al-Qur'an :
Tema-Tema Controversial,Yogyakarta, eLSAQ
Press, 2005, hlm. 4
7 Sahiron Syamsuddin, Hermenutika Al-Qur'an
Madzhab Yogya, Yogyakara, Islamika, 2003, hlm. 57
8 Hans – Georg Gadamer, Kebenaran Dan Metode
Pengantar Filsafat Hermenutika, terj. Ahmad Sahidah, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2004, hlm. 260
9 M. Mansur, Studi Al-Qur'an Kontemporer,
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, Yogyakarta, PT Tiara Wacana, 2002,
hlm. 104
10 Ali Harb, Kritik Kebenaran,
diterjemahkan dari Naqd Al-Haqiqah terj. Sunarwoto Demo, Yogyakarta, LKiS, 2004, hlm. 37