Peran Ilmu Filsafat dalam Mengatasi Kejahatan
Sunday, 11 January 2015
SUDUT HUKUM | Dari sudut
kefilsafatan, kejahatan merupakan persoalan yang paling membingungkan dan
menggelisahkan intelektualitas manusia. Kejahatan adalah isu besar yang sangat
mempengaruhi kehidupan manusia. Hal itu disampaikan oleh Prof. Dr. Joko
Siswanto mengutip Coln Canellan dalam karyanya 'Why Does Evil Exist? A
Philosophical Study of the Contemporary Presentation of the Question'. Joko
Siswanto menyampaikan hal tersebut dalam pidato pengukuhannya sebagai guru
besar pada Fakultas Filsafat UGM, yang berlangsung di Balai Senat, Senin
(11/7).
Joko menambahkan
kejahatan adalah sebuah tantangan bagi filsafat dan teologi. Filsafat ditantang
untuk memberikan pemecahan yang dapat diterima oleh akal sehat. Dalam
perkembangan ilmu-ilmu sosial, kejahatan memperoleh arti yang semakin luas,
yang tidak semata-mata terbatas pada tindakan pelanggaran terhadap hukum atau
terhadap batas toleransi masyarakat. Kejahatan tidak hanya diukur berdasarkan
functional imperatives of social institution sebagai kriteria moral, tetapi
juga oleh nilai kerugian yang diakibatkan terhadap masyarakat sebagai
keseluruhan, bahkan juga terkait dengan pelanggaran terhadap HAM. “œHal inilah
yang kemudian dipelajari dalam ilmu-ilmu sosial disiplin Viktologi (ilmu yang
mempelajari korban kejahatan atau akibat kejahatan),” kata Joko.
Dalam kesempatan
itu, Joko mengatakan problem kejahatan dari sudut pandang filsafat berakar pada
empat persoalan dasar. Pertama, eksistensi Tuhan sebagai pencipta segala
sesuatu. Kedua, eksistensi kejahatan sebagai tragedi realitas. Ketiga,
eksistensi manusia yang bebas, sekaligus sebagai agen tanggung jawab. Keempat,
eksistensi alam yang dinamis dengan hukum-hukum dan perkembangannya sendiri. “œDari
keempat persoalan itu, kemudian muncul pertanyaan mendasar tentang kejahatan: dari
mana asal-usul kejahatan? apakah kejahatan berdimensi transeden dan imanen? apa
kejahatan itu bersifat objektif, relatif, atau relasional?,” imbuh pria
kelahiran Sukoharjo, 4 Oktober 1962 ini.
Menurut Joko,
untuk mencari solusi atas problem kejahatan, salah satu tugas filsafat adalah
membongkar ketidaksehatan penalaran yang mendasari argumentasi-argumentasi
tertentu. Filsafat menyiapkan jalan pemahaman yang lebih baik dengan
alasan-alasan positif. Sebagai ilmu kritis, filsafat dalam mengembangkan kriteria
material untuk pemahaman dan pemecahan masalah kejahatan tidak dapat membatasi
diri hanya secara dogmatik pada premis-premis suatu tradisi tertentu atau pada
diskusi formil antar ilmu pengetahuan.
Meskipun dalam
pemikiran kefilsafatan terdapat bermacam-macam sikap, penangkapan, dan
penguasaan atas kejahatan; dari bentuk modern yang optimis sampai bentuk
pesimisme metafisik; selalu terbuka sarana dan jalan untuk penguasa atau paling
sedikit pengurangan akan hal kejahatan.
Joko Siswanto
mengatakan dalam literatur filsafat dikenal bermacam-macam jenis kejahatan,
tetapi pada umumnya orang hanya membedakan dua jenis kejahatan, yakni kejahatan
moral dan kejahatan alam. Kejahatan moral adalah bentuk kejahatan yang terjadi
karena dan atas tanggung jawab manusia. Kejahatan alam ialah kejahatan yang
terjadi di luar tanggung jawab manusia. “œTetapi secara umum, filsafat memahami
kejahatan dari dua dimensi, yaitu dimensi teoretis dan dimensi eksistensial,”
katanya.
Mengutip Albert
Camus, Joko Siswanto menjelaskan sumber atau akar munculnya kejahatan di dunia
terkait dengan persoalan watak kehidupan manusia yang absurd, semua bertitik
tolak dari dunia yang dikuasai oleh kontradiksi, abtinomi, ketakutan atau
ketidakberdayaan. Dunia yang absurd lahir dari konfrontasi antara panggilan
manusiawi dan kebisuan dunia yang tidak masuk akal. Ketidakrasionalan,
kerinduan manusia, dan hal absurd timbul dari pertemuan ketiganya. “Tiga hal
itulah drama kehidupan yang dialami manusia sebagai suatu eksistensi,” urai
Joko.
Terkait dengan
apakah persoalan apakah kejahatan bersifat objektif, relatif, atau relasional,
menurut Joko, jawabannya sebagian besar ditemukan dalam karya Camus berjudul
'The Plague'. Dari karya ini dapat disimpulkan bahwa kejahatan lebih bersifat
objektif, artinya simbol epidemi sampar yang dikategorikan sebagai jenis
"kejahatan alam" menimpa seluruh manusia dalam berbagai stratifikasi
sosial tanpa tebang pilih.
Dikisahkan dalam
novel tersebut, penderitaaan dari kematian akibat sampar dialami banyak orang,
siapa saja, tanpa tebang pilih, baik ia seorang Pater, Jesuit (Paneloux),
relawan yang disebut sebagai Santo tanpa Tuhan (Tarrou), penjaga gedung
(Castel), sampai dengan anak-anak kecil yang tidak berdosa. (Humas UGM/Satria
AN)