Perbedaan antara Permohonan dengan Gugatan
Thursday, 29 January 2015
SUDUT HUKUM | Sering kita dengar dan jumpai istilah permohonan dan gugatan di dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia. Namun, bagi sebagian besar orang awan tidak mengerti perbedaan antara keduanya karena kedua istilah tersebut sangat berkaitan dengan materi yang diajukan untuk dilakukan pemeriksaan oleh pengadilan.
1. Permohonan
Secara yuridis, permohonan adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasanya yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Istilah permohonan dapat juga disebut dengan gugatan voluntair yaitu gugatan permohonan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat.
Ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah:
- Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak saja (for the benefit of one party only);
- Permasalahan yang dimohon penyesuaian kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without dispute or differences with another party);
- Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat mutlak satu pihak (ex-parte).
Landasan hukum permohonan atau gugatan voluntair merujuk pada ketentuan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (“UU 14/1970”). Meskipun UU 14/1970 tersebut telah diganti oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, apa yang digariskan Pasal 2 dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU 14/1970 itu, masih dianggap relevan sebagai landasan gugatan voluntair yang merupakan penegasan, di samping kewenangan badan peradilan penyelesaian masalah atau perkara yang bersangkutan dengan yuridiksi contentiosa yaitu perkara sengketa yang bersifat partai (ada pihak penggugat dan tergugat), juga memberi kewenangan penyelesaian masalah atau perkara voluntair.
Proses pemeriksaan permohonan di pengadilan dilakukan secara ex-parte yang bersifat sederhana yaitu hanya mendengarkan keterangan pemohon, memeriksa bukti surat atau saksi yang diajukan pemohon dan tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan. Setelah permohonan diperiksa, maka pengadilan akan mengeluarkan penetapan atau ketetapan (beschikking ; decree). Bentuk ini membedakan penyelesaian yang dijatuhkan pengadilan dalan gugatan contentiosa, karena dalam gugatan contentiosa yang bersifat partai, penyelesaian yang dijatuhkan berbentuk putusan atau vonis (award).
2. Gugatan
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa penetapan dapat disebut dengan gugatan voluntair, tetapi pengertian ini berbeda dengan pengertian gugatan pada umumnya yang dikenal oleh masyarakat Indonesia dan dalam perundang-undangan, yaitu gugatan yang dimaksudkan adalah gugatan contentiosa atau biasa disebut dengan gugatan perdata atau gugatan saja.
Pengertian gugatan adalah permasalahan perdata yang mengandung sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dimana salah satu pihak sebagai penggugat untuk menggugat pihak lain sebagai tergugat. Perkataan contentiosa, berasal dari bahasa Latin yang berarti penuh semangat bertanding atau berpolemik. Itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yuridiksi contentiosa yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan antara pihak yang bersengketa.
Ciri khas gugatan adalah:
- Permasalahan hukum yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, diffirences).
- Terjadi sengketa di antara para pihak, minimal di antara 2 (dua) pihak.
- Bersifat partai (party), dengan komposisi pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lainnya berkedudukan sebagai tergugat.
- Tidak boleh dilakukan secara sepihak (ex-parte), hanya pihak penggugat atau tergugat saja.
- Pemeriksaan sengketa harus dilakukan secara kontradiktor dari permulaan sidang sampai putusan dijatuhkan, tanpa mengurangi kebolehan mengucapkan putusan tanpa kehadiran salah satu pihak.
Bentuk gugatan ada 2 (dua) macam, yaitu gugatan lisan dan gugatan tertulis. Dasar hukum mengenai gugatan diatur dalam Pasal 118 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement (“HIR”) juncto Pasal 142 Rectstreglement voor de Buitengewesten (“RBg”) untuk gugatan tertulis dan Pasal 120 HIR untuk gugatan lisan. Akan tetapi yang diutamakan adalah gugatan berbentuk tertulis.
Proses pemeriksaan gugatan di pengadilan berlangsung secara kontradiktor (contradictoir), yaitu memberikan hak dan kesempatan kepada tergugat untuk membantah dalil-dalil penggugat dan sebaliknya penggugat juga berhak untuk melawan bantahan tergugat. Dengan kata lain, pemeriksaan perkara berlangsung dengan proses sanggah menyanggah baik dalam bentuk replik-duplik maupun dalam bentuk kesimpulan (conclusion). Pengecualian terhadap pemeriksaan contradictoir dapat dilakukan melalui verstek atau tanpa bantahan, apabila pihak yang bersangkutan tidak menghadiri persidangan yang ditentukan tanpa alasan yang sah, padahal sudah dipanggil secara sah dan patut oleh juru sita. Setelah pemeriksaan sengketa antara 2 (dua) pihak atau lebih diselesaikan dari awal sampai akhir, maka pengadilan akan mengeluarkan putusan atas gugatan tersebut. (*Ivan Ari)- hukumacaraperdata.com