Kewarisan Bagi Anak dalam Kandungan
Monday, 23 March 2015
Sudut hukum | Kewarisan Bagi
Anak dalam Kandungan
Pembahasan
mengenai kewarisan bagi anak dalam kandungan dalam hukum
Islam tidak dapat dilepaskan dari tiga hal, yakni keabsahan anak dalam kandungan,
hakekat kelahiran, dan bagian yang akan diterima oleh anak dalam kandungan.
Berikut ini akan dipaparkan mengenai tiga hal tersebut.
1. Keabsahan anak dalam kandungan
Q.S. al-Ahqaf
ayat 15
“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia Telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah Aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang Telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya Aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya Aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang berserah diri".
Q.S. Luqman ayat
14:
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu.
Oleh jumhur
ulama, selisih dari waktu masa kehamilan dan menyusui yang
terkandung dalam dua ayat di atas dijadikan batasan minimal
usia janin yang dapat dianggap sebagai anak yang sah dan dapat dinasabkan
kepada ayahnya adalah enam bulan dalam kandungan dari perkawinan. Selisih masa
kehamilan dan menyusui dari kedua firman tersebut adalah
enam bulan.
2. Bagian Kewarisan Anak Dalam Kandungan
Mengenai
pendapat tentang batasan jumlah warisan yang dapat diterima janin dalam
kandungan, juga terdapat khilafiyah di kalangan para ulama mazhab.
Di kalangan para
ulama mazhab, Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa apabila dalam janin tersebut
sudah diketahui jenis kelaminnya lakilaki, maka jumlah warisan untuknya adalah
sama dengan satu bagian warisan bagi anak laki-laki. Namun apabila disinyalir
lebih dari seorang janin, maka tidak dapat ditentukan bagiannya karena masih
dalam proses praduga. Pendapat berbeda dinyatakan oleh Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Kedua imam ini memiliki pendapat yang sama yakni bayi yang ada dalam kandungan
akan disisakan warisan sebesar empat bagian anak laki-laki dan empat bagian
anak perempuan. Sedangkan Imamiah menyatakan bahwa bagian warisan bagi anak
dalam kandungan adalah dua bagian anak laki-laki.
Secara lebih
lanjut, perbedaan pandangan ulama menurut Saleh al- Fauzan
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok, yakni:
- Pembagian dengan tanpa patokan
- Pembagian dengan dasar paling menguntungkan bagi si janin
- Pembagian dengan dasar bagian paling banyak di antara bagian satu anak laki-laki dan anak perempuan.
Ada juga yang
berpendapat bahwa dalam pembagian warisan kepada anak yang
berada dalam kandungan dapat terjadi tiga kemungkinan,
yakni:
- Dianggap mendapat bagian yang terbanyak dari pihak laki-laki yakni 17/24
- Dianggap mendapat bagian yang terbanyak dari pihak perempuan yakni 3/8
- Dianggap mendapat satu bagian manakala berkedudukan sebagai anak saudara se-ibu, yakni 1/6
Meski terdapat
perbedaan, pada dasarnya ada bagian-bagian yang berbeda dalam
menentukan bagian waris untuk anak dalam kandungan. Perbedaan
tersebut berdasarkan jumlah anak, jenis kelamin anak, dan hubungan
anak dalam kandungan dengan orang yang meninggal.
3. Hakekat Hidupnya Anak Dalam Kandungan
Selain kedua hal
di atas, juga terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab tentang
konsep kelahiran anak dalam kandungan yang dapat menerima warisan. Terdapat
perdebatan mengenai konsep hidup anak yang dilahirkan dalam lingkup apakah bayi
yang dilahirkan berhak mendapat warisan dengan batasan kelahiran yang sempurna,
gerakan, tangisan atau jeritan, atau harus sampai batas waktu menyusui.
Menurut Imam Abu
Hanifah, seorang anak dalam kandungan dapat dianggap telah
hidup meskipun pada saat keluar belum mencapai kehidupan yang
sempurna. Maksudnya adalah pada saat keluar namun belum sempurna, anak tersebut
menangis sebentar atau hanya bergerakgerak sebentar lalu saat anak tersebut
telah keluar dengan sempurna meninggal dunia. Keadaan ini menurut Imam Abu
Hanifah telah dapat dianggap sebagai syarat kehidupan bagi anak dalam
kandungan. Oleh sebab itu, dia berhak untuk menerima warisan dan
juga diwarisi.
Sedangkan
menurut Imam Syafi’i, kelahiran seperti itu tidak dapat dianggap
sebagai kehidupan karena belum adanya belum adanya kelahiran yang
sempurna.
Meski berbeda
dalam pendapat mengenai hakekat kehidupan anak dalam kandungan
manakala dilahirkan, terdapat persamaan dalam perbedaan
tersebut, yakni adanya syarat tanda kehidupan seperti menjerit atau
bergerak pada saat dilahirkan.