Sekilas Tentang Hibbah
Monday, 2 March 2015
Salah satu bentuk taqarrub kepada Allah Swt dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial serta
menumbuhkan rasa kesetiakawanan dan
kepedulian sosial, adalah hibah atau pemberian. Hibah, yang dalam pengertian
umum shadaqah dan hadiah, dilihat dari aspek vertikal (hubungan antara manusia
dengan Tuhan) memiliki dimensi taqarrub, artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan
seseorang. Semakin banyak berderma dan bershadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh
keimanan dan ketakwaan, inilah aspek vertikal hibah.
Dilihat dari sudut lain, hibah juga mempunyai aspek horisontal (hubungan antara
sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya
mengurangi kesenjangan antara kaum yang berpunya dengan kaum yang tidak punya,
antara si kaya dan si miskin, serta menghilangkan rasa kecemburuan sosial,
inilah aspek horisontal hibah.
Kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba digunakan dalam al-Qur’an beserta kata derivatifnya sebanyak
25 kali dalam 13 surat. Wahaba
artinya memberi, dan jika subyeknya
Allah berati memberi karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam,
19:5, 49, 50, 53).
Secara bahasa, dalam kamus Al-Munjid, hibah berasal dari akar kata wahaba - yahabu - hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam Kamus
al-Munawwir kata
"hibah" ini merupakan mashdar dari kata ( وهب )
yang berarti pemberian.
Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pemberian dengan sukarela
dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang lain.
Menurut terminologi, kata hibah
dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda,
di antaranya:
1. Jumhur ulama sebagaimana dikutip
Nasrun Haroen,6 merumuskan hibah adalah:
Artinya: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela".
Maksudnya, hibah itu merupakan
pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang
mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang
diberi.
2. Abd al-Rahmân al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib
al- Arba’ah,7 menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut
mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan
menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan
kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan
singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik
secara sadar sewaktu hidup.
3. Definisi yang lebih rinci dan
komprehensif dikemukakan mazhab Hambali:
Artinya: Pemilikan harta dari seseorang
kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan
hukum terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada
dan boleh diserahkan yang penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup,
tanpa mengharapkan imbalan.
4. Menurut Sayyid Sabiq,9 hibah adalah akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan
milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan.
5. Definisi dari Syekh Muhammad ibn
Qâsim al-Ghazzi,
bahwa hibah adalah memberikan sesuatu
yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih
hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
6. Tidak jauh berbeda dengan rumusan di
atas, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary,11 bahwa
hibah adalah memberikan suatu barang yang pada galibnya sah dijual atau
piutang, oleh orang ahli tabarru, dengan tanpa ada penukarannya.
Beberapa definisi di atas sama-sama
mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa
mengharapkan imbalan apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau perjanjian yang
menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain diwaktu ia masih hidup
tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong
menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa hukum hibah adalah
sunat berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa, 4: 4 yang berbunyi:
Artinya: ... Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu...
Dalam surat al-Baqarah, 2: 177 Allah
berfirman:
Artinya: …dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anakanak yatim, orang-orang miskin, dan orang musafir (yang memerlukan pertolongan)...
Para ulama juga beralasan dengan sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi:
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw, beliau bersabda: Saling berhadiahlah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam "Al Adabul Mufrad, dan diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan sanad yang bagus.
Menurut Al-San'any bahwa Al Baihaqi dan
lainnya juga meriwayatkan hadis tersebut, tetapi dalam setiap riwayatnya banyak
kritikan orang; sedang penyusunnya sudah menilai hasan sanadnya (hadis hasan);
seakan-akan beliau menilainya hasan itu karena banyak penguatnya.
Di antaranya hadis berikut ini, sekalipun lemah.
Artinya: Dari Anas r.a., beliau berkata; Rasulullah saw., bersabda: saling memberi hadiahlah kamu sekalian, karena sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian. (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang lemah).
Kelemahannya itu adalah karena di
antara para perawinya ada orang yang lemah. Hadis tersebut mempunyai beberapa
sanad yang seluruhnya tidak ada yang sepi dari kritik. Dalam suatu matan lain
bahwa hadiah itu akan menghilangkan rasa dendam. Hadis-hadis tersebut sekalipun
tidak lepas dari kritikan orang, namun sesungguhnya hadiah itu jelas mempunyai
fungsi bagi perbaikan perasaan hati.
Baik ayat maupun hadis di atas, menurut
jumhur ulama menunjukkan (hukum) anjuran untuk saling membantu antar sesama
manusia. Oleh sebab itu, Islam sangat menganjurkan seseorang yang mempunyai
kelebihan harta untuk menghibahkannya kepada orang yang memerlukannya. Menurut Ali Ahmad al-Jurjawi yang dikutip Masjfuk Zuhdi,19 bahwa Islam menganjurkan agar umat Islam suka memberi,
karena dengan memberi lebih baik daripada menerima. Pemberian harus ikhlas,
tidak ada pamrih/motif apa-apa, kecuali untuk mencari keridhaan Allah dan untuk
mempererat tali persaudaraan/persahabatan.
Sekalipun hibah memiliki dimensi taqarrub dan sosial yang mulia, di sisi lain
terkadang hibah juga dapat menumbuhkan rasa iri dan benci, bahkan ada pula yang
menimbulkan perpecahan di antara mereka yang menerima hibah, terutama dalam
hibah terhadap keluarga atau anak-anak. Hibah seorang ayah terhadap anak-anak
dalam keluarga tidak sedikit yang dapat menimbulkan iri hati, bahkan perpecahan
keluarga. Artinya, hibah yang semula memiliki tujuan mulia sebagai taqarrub dan kepedulian sosial dapat berubah
menjadi bencana dan malapetaka dalam keluarga.