Pengertian hibah
Tuesday, 14 April 2015
Sudut Hukum | Salah satu bentuk taqarrub kepada
Allah Swt dalam rangka mempersempit kesenjangan sosial serta menumbuhkan rasa
kesetiakawanan dan kepedulian sosial, adalah hibah atau
pemberian. Hibah, yang dalam pengertian umum shadaqah dan hadiah, dilihat dari
aspek vertikal (hubungan antara manusia dengan Tuhan) memiliki dimensi taqarrub,
artinya ia dapat meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang. Semakin banyak
berderma dan bershadaqah akan semakin memperkuat
dan memperkokoh keimanan dan ketakwaan, inilah aspek vertikal hibah. Dilihat dari sudut lain,
hibah juga mempunyai aspek horisontal (hubungan antara sesama manusia serta
lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai upaya mengurangi kesenjangan
antara kaum yang berpunya dengan kaum yang tidak punya, antara si kaya dan si
miskin, serta menghilangkan rasa kecemburuan sosial, inilah aspek horisontal
hibah.
Kata hibah adalah bentuk masdar dari
kata wahaba digunakan dalam al-Qur’an beserta kata derivatifnya sebanyak 25 kali dalam 13
surat. Wahaba artinya memberi, dan jika subyeknya Allah berati memberi
karunia, atau menganugerahi (QS. Ali Imran, 3:8, Maryam, 19:5, 49, 50, 53).
Secara bahasa, dalam kamus Al-Munjid,
hibah berasal dari akar kata wahaba - yahabu - hibatan, berarti memberi atau pemberian. Dalam Kamus al-Munawwir kata
"hibah" ini merupakan mashdar dari kata ( وهب ) yang berarti
pemberian. Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti
pemberian dengan sukarela dengan mengalihkan hak atas sesuatu kepada orang
lain.
Menurut terminologi, kata hibah
dirumuskan dalam redaksi yang berbeda-beda, di antaranya:
- Jumhur ulama sebagaimana dikutip Nasrun Haroen, merumuskan hibah adalah: Artinya: "Akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela". Maksudnya, hibah itu merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan berpindahnya pemilikan harta itu dari pemberi kepada orang yang diberi.
- Abd al-Rahmân al-Jazirî dalam Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al- Arba’ah, menghimpun empat definisi hibah dari empat mazhab, yaitu menurut mazhab Hanafi, hibah adalah memberikan sesuatu benda dengan tanpa menjanjikan imbalan seketika, sedangkan menurut mazhab Maliki yaitu memberikan milik sesuatu zat dengan tanpa imbalan kepada orang yang diberi, dan juga bisa disebut hadiah. Mazhab Syafi’i dengan singkat menyatakan bahwa hibah menurut pengertian umum adalah memberikan milik secara sadar sewaktu hidup.
- Definisi yang lebih rinci dan komprehensif dikemukakan mazhab Hambali: Artinya: Pemilikan harta dari seseorang kepada orang lain yang mengakibatkan orang yang diberi boleh melakukan tindakan hukum terhadap harta itu, baik harta itu tertentu maupun tidak, bendanya ada dan boleh diserahkan yang penyerahannya dilakukan ketika pemberi masih hidup, tanpa mengharapkan imbalan.
- Menurut Sayyid Sabiq, hibah adalah akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang kepada orang lain ketika masih hidup dan tanpa imbalan.
- Definisi dari Syekh Muhammad ibn Qâsim al-Ghazzi, bahwa hibah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam hubungannya dengan keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas.
- Tidak jauh berbeda dengan rumusan di atas, Syekh Zainuddin Ibn Abd Aziz al-Malîbary, bahwa hibah adalah memberikan suatu barang yang pada galibnya sah dijual atau piutang, oleh orang ahli tabarru, dengan tanpa ada penukarannya.
Beberapa definisi di atas sama-sama
mengandung makna pemberian harta kepada seseorang secara langsung tanpa mengharapkan imbalan
apapun, kecuali untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hibah adalah akad atau
perjanjian yang menyatakan perpindahan milik seseorang kepada orang lain
diwaktu ia masih hidup tanpa mengharapkan penggantian sedikitpun.
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong
menolong dalam rangka kebajikan antara sesama manusia sangat bernilai positif. Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa hukum
hibah adalah sunat berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nisa, 4: 4 yang
berbunyi:
Artinya: ... Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka
makanlah (ambillah) pemberian itu...
Dalam surat al-Baqarah, 2: 177 Allah
berfirman:
Artinya: …dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan orang musafir (yang memerlukan pertolongan)...
Para ulama juga beralasan dengan sabda
Rasulullah SAW yang berbunyi:
Dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi saw, beliau bersabda: Saling berhadiahlah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai. (Diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam "Al Adabul Mufrad, dan diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan sanad yang bagus.
Menurut Al-San'any bahwa Al Baihaqi dan
lainnya juga meriwayatkan hadis tersebut, tetapi dalam setiap riwayatnya banyak kritikan
orang; sedang penyusunnya sudah menilai hasan sanadnya
(hadis hasan); seakan-akan beliau menilainya hasan itu karena banyak penguatnya.
Di antaranya hadis berikut ini, sekalipun lemah.
Dari Anas r.a., beliau berkata; Rasulullah saw., bersabda: saling memberi hadiahlah kamu sekalian, karena sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kedengkian. (Diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang lemah).
Kelemahannya itu adalah karena di antara
para perawinya ada orang yang lemah. Hadis tersebut mempunyai beberapa sanad
yang seluruhnya tidak ada yang sepi dari kritik. Dalam suatu matan lain bahwa hadiah
itu akan menghilangkan rasa dendam. Hadis-hadis tersebut sekalipun tidak lepas
dari kritikan orang, namun sesungguhnya hadiah itu jelas mempunyai fungsi bagi
perbaikan perasaan hati.
Menurut Ali Ahmad al-Jurjawi yang dikutip Masjfuk
Zuhdi,19 bahwa Islam menganjurkan
agar umat Islam suka memberi, karena
dengan memberi lebih baik daripada menerima. Pemberian harus ikhlas, tidak ada
pamrih/motif apa-apa, kecuali untuk mencari keridhaan Allah dan untuk
mempererat tali persaudaraan/persahabatan.