Aurat Perempuan
Tuesday, 23 June 2015
Sudut Hukum | kita tahu bahawa semua bagian tubuh yang tidak boleh dinampakkan, adalah aurat. Oleh karena itu dia harus menutupinya dan haram dibuka.
Aurat perempuan dalam
hubungannya dengan laki-laki lain atau perempuan yang tidak seagama, yaitu
seluruh badannya, kecuali muka dan dua tapak tangan. Demikian menurut pendapat
yang kami anggap lebih kuat. Karena dibolehkannya membuka kedua anggota
tersebut --seperti kata ar-Razi-- adalah karena ada suatu kepentingan untuk
bekerja, mengambil dan memberi. Oleh karena itu orang perempuan diperintah
untuk menutupi anggota yang tidak harus dibuka dan diberi rukhsah untuk membuka
anggota yang biasa terbuka dan mengharuskan dibuka, justru syariat Islam adalah
suatu syariat yang toleran.
Ar-Razi selanjutnya
berkata:
"Oleh karena membuka muka dan kedua tapak tangan itu hampir suatu keharusan, maka tidak salah kalau para ulama juga bersepakat, bahawa kedua anggota tersebut bukan aurat."
Adapun kaki, karena
terbukanya itu bukan suatu keharusan, maka tidak salah juga kalau mereka itu
berbeda pendapat (ikhtilaf), apakah dia itu termasuk aurat atau tidak?
Sedang aurat orang perempuan dalam
hubungannya dengan duabelas orang seperti yang disebut dalam ayat an-Nur itu,
terbatas pada perhiasan (zinah) yang tidak tersembunyi, yaitu telinga, leher,
rambut, dada, tangan dan betis. Menampakkan anggota-anggota ini kepada duabelas
orang tersebut diperkenankan oleh Islam. Selain itu misalnya punggung, kemaluan
dan paha tidak boleh diperlihatkan baik kepada perempuan atau laki-laki kecuali
terhadap suami.
Pemahaman terhadap ayat ini lebih mendekati
kepada kebenaran daripada pendapat sementara ulama yang mengatakan, bahawa
aurat perempuan dalam hubungannya dengan mahram hanyalah antara pusar dan
lutut. Begitu juga dalam hubungannya dengan sesama perempuan. Bahkan apa yang
dimaksud oleh ayat tersebut yang kiranya lebih mendekati kepada pendapat
sebagian ulama, yaitu:
"Bahawa aurat perempuan terhadap mahramnya ialah anggota yang tidak tampak ketika melayani. Sedang apa yang biasa tampak ketika bekerja di rumah, mahram-mahram itu boleh melihatnya."
Justru itu Allah memerintahkan kepada
perempuan-perempuan mu'minah hendaknya mereka itu memakai jilbab ketika keluar
rumah, supaya berbeda dengan perempuan-perempuan kafir dan perempuan-perempuan
lacur. Untuk itu pula Allah perintahkan kepada Nabi-Nya supaya menyampaikan
pengumuman Allah ini kepada ummatnya; yang berbunyi sebagai berikut:
"Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min semua hendaklah mereka menghulurkan jilbab-jilbab mereka atas (muka-muka) mereka. Yang demikian itu lebih mendekati mereka untuk dikenal supaya mereka tidak diganggu." (al-Ahzab: 59)
Jilbab, yaitu pakaian yang lebarnya semacam
baju kurung untuk dipakai perempuan guna menutupi badannya.
Sebagian perempuan jahiliah apabila keluar
rumah, mereka menampakkan sebagian kecantikannya, misalnya dada, leher dan
rambut, sehingga mereka ini diganggu oleh laki-laki fasik dan yang suka iseng,
kemudian turunlah ayat di atas yang memerintahkan kepada orang-orang perempuan
mu'minah untuk menghulurkan jilbabnya itu sehingga sedikitpun bagian-bagian
tubuhnya yang biasa membawa fitnah itu tidak tampak. Dengan demikian secara
lahiriah mereka itu dikenal sebagai wanita yang terpelihara (afifah) yang tidak
mungkin diganggu oleh orang-orang yang suka iseng atau orang-orang munafik.
Jadi jelasnya, bahawa ayat tersebut
memberikan illah (alasan) perintahnya itu karena kawatir perempuan-perempuan
muslimah itu diganggu oleh orang-orang fasik dan menjadi perhatian orang-orang
yang suka iseng. Bukan ketakutan yang timbul dari perempuan itu sendiri atau
karena tidak percaya kepada mereka, sebagaimana anggapan sementara orang, sebab
perempuan yang suka menampakkan perhiasannya, yang berjalan dengan penuh
bergaya (in action) dan bicaranya dibuat-buat, sering membuat perhatian orang
laki-laki dan membikin sasaran orang-orang yang suka iseng.
Ini cocok dengan firman Allah yang
mengatakan:
"Janganlah perempuan-perempuan itu berlaku lemah dengan perkataannya, sebab akan menaruh harapan orang yang dalam hatinya ada penyakit." (al-Ahzab: 32)
Islam memperkeras persoalan menutup aurat dan
menjaga perempuan muslimah. Hanya sedikit sekali perempuan diberinya rukhsah
(keringanan), misalnya perempuan-perempuan yang sudah tua.
Firman Allah:
"Dan perempuan-perempuan yang sudah putus haidhnya dan tidak ada harapan untuk kawin lagi, maka tidak berdosa baginya untuk melepas pakaiannya, asalkan tidak menampak-nampakkan perhiasannya. Tetapi kalau mereka menjaga diri akan lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nur: 60)
Yang dimaksud al-qawa'id (perempuan-perempuan
yang duduk), yaitu perempuan-perempuan yang sudah tidak haidh dan tidak beranak
lagi karena sudah tua. Justru itu mereka sudah tidak ada keinginan untuk kawin
dan sudah tidak suka kepada laki-laki, begitu juga laki-laki itu sendiri sudah
tidak suka kepada mereka.
Untuk mereka ini, Allah memberikan
kelonggaran dan tidak menganggap suatu perbuatan dosa, jika mereka itu
menanggalkan sebagian pakaian luar yang biasa tampak, seperti baju kurung,
kebaya, kudung dan sebagainya.
Al-Quran memberikan batas rukhsah ini dengan
kata: tidak menampak-nampakkan perhiasannya, yakni tidak bermaksud menanggalkan
pakaiannya itu untuk menunjuk-nunjukkan. Akan tetapi kelonggaran ini diberikan
jika memang mereka itu memerlukan.
Berdasar rukhsah ini, maka kiranya yang lebih
afdhal dan lebih baik hendaknya mereka tetap menjaga diri dengan selalu
mengenakan pakaian-pakaian tersebut, untuk mencari kesempurnaan dan supaya
terhindar dari segala syubhat. Karena itu Allah mengatakan dan kalau mereka itu
menjaga diri adalah lebih baik bagi mereka.