Hukum Li’an
Tuesday, 30 June 2015
Sudut Hukum | Hukum Li’an
Mengenai prakter li’an, jumhur ulama sepakat adanya li’an adalah wajib karena tuduhan suami terhadap istrinya.
Pendapat ini sesuai dengan kandungan hukum yang ada dalam ayat berikut :
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُن لَّهُمْ شُهَدَاءُ إِلَّا أَنفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِين
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, bahwa sesungguhnya dia termasuk orang yang berkata benar. ( Q.S An-Nur : 6)
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa tuduhan suami terhadap istriya tidak akan pernah berlaku kecuali dengan mendatangkan kesaksian. Maka Allah SWT mewajibkan adanya li’an karena ada tuduhan tersebut.
Yang membedakan adalah pandangan beberapa madzhab dalam menentukan seberapa pentingnya prakter li’an itu sendiri.
1. Al-Malikiyah
Mazhab Al-Malikiyah menjadikan li’an itu wajib karena ada tga faktor :
- Jika suami mengakui istrinya berzina serta melihatnya dengan mata kepala sendiri.
- Jika suami tidak mengakui kehamilan istrinya, karena yag suami tahu dia tidak hamil.
- Menuduh istrinya berzina tanpa adanya pengakuan suami atau bukti-bukti yang menguatkan tuduhannya.
2. As-Syafi’iyah
Kalangan As-Syafi’iyah memandang kewajiban li’an atas tuduhan suami terhadap istrinya adalah sangat diperlukan. Mengingat tuduhan akan datang dengan berbagai motif. Tidak sedikit yang melakukan tuduhan dan tidak terbukti kebenaran bahkan sering menyesatkan. Maka li’an ada sebagai unsur yang membatasi tuduhan-tuduhan yang tidak dibenarkan.