-->

Niat Dalam Shalat

Sudut Hukum | kita akan mengulas hal-hal yang berkaitan dengan rukun shalat yang pertama, yaitu niat.

1.Pengertian niat
Niat adalah qasad dengan hati untuk mengerjakan shalat. Kewajiban niat dalam shalat berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

انما الاعمال بالنيات

Artinya : "hanyasanya sahnya amal, tergantung pada niat". (H. R. Imam Bukhari)

Tujuan dari niat adalah untuk membedakan shalat dengan perbuatan lain yang bukan ibadah. Dalam niat, ada tiga hal yang wajib dihadirkan :
  • Qashad, yaitu kesengajaan dalam hati akan melakukan shalat. Supaya terbeda dari perbuatan yang selain shalat.
  • ta’arrudh, yaitu menyatakan dengan hati tentang fardhu atau sunatnya shalat, supaya terbeda tiap-tiap (fardhu / sunat) dari yang lain. 
  • Ta’yiin, artinya menentukan shalat yang akan di kerjakan, misalnya shalat dhuhur, ashar dll.


2. Wajibnya qasad, ta’arrudh dan ta’yiin
Niat Dalam ShalatWajib meng-qasad melakukan shalat dan menta’yiinkan (menentukan) waktu shalat walau pada shalat sunnat yg bukan sunnat Mutlaq, seperti shalat sunat yang pelaksanaannya dalam waktu-waktu tertentu (termasuk didalamnya sunat rawatib, sunat tarawih, sunat dhuha dan sunnat dua hari raya), dan shalat sunat yang disebabkan oleh suatu sebab (seperti gerhana dan kemarau). Adapun shalat sunat mutlaq, tidak wajib menta’yiinkan waktu shalat. Bahkan sah salatnya hanya dengan niat mengerjakan shalat. Seperti pada dua raka’at shalat tahyatul masjid, sunnat wudhu’ dan shalat istikharah.
  
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan shalat fardhu, yaitu; niat mengerjakan shalat, menentukan waktu shalat (seperti subuh, dll), dan niat fardhiah (meniatkan bahwa shalat yang dikerjakan adalah shalat fardhu). Ketiga hal tersebutlah yang di istilahkan dengan qasad, ta’arrudh, dan ta’yin.

3. Hal spesifik menyangkut masalah ta’arrudh
Wajib berniat melaksanakan shalat fardhu (termasuk fardhu kifayah, atau fardhu karena nazar) walaupun yang mengerjakannya adalah anak kecil. Contohnya seperti "sahaja aku shalat fardhu zuhur / fardhu jum’at (sekalipun imam sudah berada ada posisi tasyahud)". Dan pada niat, disunnahkan menisbahkan shalat kepada Allah (seperti mengucapkan “lillaahi ta’ala”). Tujuannya adalah untuk menampakkan keikhlasan hanya kepada Allah. Disunnahkan pula meniatkan shalat tunai/qadha. Dan berdasarkan pendapat yang kuat, sah melakukan shalat tunai dengan niat qadha, begitu pula sebaliknya. Namun hal ini hanya berlaku bila dalam keadaan ozor, misalnya mendung, dsb. Jika tidak, maka shalatnya batal, karena dianggap talaa’ub (bermain-main) dalam ibadah. Dan disunnahkan pula berniat menghadap kiblat dan meniatkan jumlah raka’at.

4. Masalah lafadz niat
Disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul ihram, tujuannya adalah agar hatinya lebih fokus. Dan jikalau seseorang ragu apakah ia telah melakukan niat dengan sempurna atau tidak, atau terjadi keraguan apakah ia meniatkan shalat zuhur atau ashar? Maka jika ia teringat dalam frekuensi waktu yang lama, atau setelah melewati satu rukun (walau rukun qauliy, seperti bacaan surah al-fatihah), maka shalatnya batal. Dan jika teringat sebelum itu, maka tidak mengapa.

Imam Abu Yahya Zakaria al-Anshary dalam kitab beliau, tuhfah al-thullab bi syarhi al-tahriir menjelaskan bahwa salah satu kewajiban dalam shalat adalah menyertakan niat shalat ketika membaca takbiratul ihram, yang diistilahkan dengan muqaaranah. Lebih lanjut, beliau menjelaskan dalam Hasyiah al-syarqawi ‘ala al-tahriir bahwa terdapat beberapa rincian hukum tentang muqaaranah dan istihdhar, diantaranya:

  1. Istihdhar hakiky, yaitu menghadirkan keseluruhan shalat dalam jiwa, maksudnya menghadirkan ke-13 rukun-rukun shalat. Ke- tiga belas rukun tersebut dihadirkan dengan terperinci, yaitu dengan cara menghadirkannya dalam jiwa secara khusus. Seperti membayangkan sepasang pengantin di atas pelaminan (ketika kita membayangkan sepasang pengantin di atas pelaminan, pasti akan terbayang pengantin pria, pengantin wanita, dan pelaminan secara sekaligus. Ketiganya akan hadir di fikiran kita secara sekaligus, begitu pula dalam hal ini) 
  2. Istihdhar ‘urfy, yaitu menghadirkan bentuk shalat secara keseluruhan, dengan cara berniat mengerjakan shalat, men ta’yiinkan shalat (misalnya zuhur atau ashar dsb), dan meniatkan fardhu atau sunnat nya shalat (ketiganya diistilahkan denga qasad, ta’arrudh dan ta’yiin)
  3. Muqaaranah hakiky, yaitu menyertakan niat mulai dari awal bacaan takbiratul ihram sampai penghabisan bacaan takbiratul ihram.
  4. Muqaaranah ‘urfy, yaitu menyertakan niat hanya pada satu bahagian dari pada segala bahagian bacaan takbiratul ihram.

Imam al-nawany (631H-676H) dalam kitab Majmu’ syarah muhazzab dan juga imam yang lain berpendapat bahwa bagi masyarakat awam cukuplah muqaaranah ‘urfy saja, tanpa harus adanya muqaaranah hakiky. Pendapat ini berdasarkan pada ikhtar (pendapat yang dipilih) Imam Haramain al-Juwainy (419H-476H) dan Imam al-Ghazaly (450H-505H). Dan pendapat ini dibenarkan oleh Imam Tajuddin Abdul Wahhab al-Subky (727H-771H).

Sumber: LBM.Mudi-Mesra*

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel