Ruang Lingkup Hukum Islam
Saturday, 27 June 2015
Sudut Hukum | Pembahasan
mengenai ruang lingkup hukum Islam di sini berkisar pada tiga masalah pokok,
yaitu: (1) pengertian ruang lingkup hukum Islam; (2) ibadah, sebagai ruang
lingkup hukum Islam yang pertama; dan (3) muamalah, sebagai ruang lingkup hukum
Islam yang kedua.
Pengertian Ruang Lingkup Hukum Islam
Yang
dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau
bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum Islam di sini
meliputi syariah dan fikih. Hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang
membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama
halnya dengan hukum
adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian
bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia
dalam melakukan hubungan.
Dengan
melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu
hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan
manusia dengan sesamanya (hablun
minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah
dan bentuk hubungan yang kedua
disebut muamalah.
Dengan
mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam al- Quran, Abdul Wahhab Khallaf
membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukumhukum i’tiqadiyyah (keimanan),
hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak),
dan hukum-hukum ‘amaliyyah (aktivitas baik
ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum
‘amaliyyah inilah
yang identik dengan hukum Islam yang dimaksud di
sini. Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi dua, yaitu
hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan
hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Khallaf,
1978: 32).
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup atau bidang-bidang kajian hukum Islam
ada dua, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah. Kedua bidang hukum ini akan
diuraikan lebih jauh pada pembahasan selanjutnya.
Ibadah
Secara
etimologis kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab al-‘ibadah, yang merupakan mashdar dari kata kerja ‘abada - ya’budu yang berarti
menyembah atau mengabdi (Munawwir, 1997: 886). Sedang secara terminologis
ibadah diartikan dengan perbuatan orang mukallaf (dewasa) yang tidak didasari hawa
nafsunya dalam rangka mengagunkan Tuhannya (al-Jarjani, 1988: 189). Sementara
itu, Hasbi ash Shiddieqy (1985: 4) mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu
yang dikerjakan untuk mencapai keridoan Allah dan mengharap pahala-Nya di
akhirat. Inilah definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih. Dari makna ini,
jelaslah bahwa ibadah mencakup semua aktivitas manusia baik perkataan maupun
perbuatan yang didasari dengan niat ikhlas untuk mencapai keridoan Allah dan
mengharap pahala di akhirat kelak.
Hakikat
ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta akan
yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena meyakini bahwa dalam
alam ini ada kekuasaan yang
hakikatnya tidak diketahui oleh akal. Pendapat lain menyatakan, hakikat ibadah
adalah memperhambakan jiwa dan menundukkannya kepada kekuasaan yang ghaib yang
tidak dijangkau ilmu dan tidak diketahui hakikatnya. Sedang menurut Ibnu
Katsir, hakikat ibadah adalah suatu ungkapan yang menghimpun kesempurnaan
cerita, tunduk, dan takut (Ash Shiddieqy, 1985: 8).
Dari
beberapa pengertian tentang ibadah di atas dapat dipahami bahwa ibadah hanya tertuju kepada Allah
dan tidak boleh ibadah ditujukan kepada selain Allah. Hal ini karena memang hanya
Allah yang berhak menerima ibadah hamba-Nya dan Allahlah yang telah memberikan
segala kenikmatan, pertolongan, dan petunjuk kepada semua makhluk ciptaan-Nya.
Oleh karena itu, dalam al-Quran dengan tegas disebutkan bahwa Allah memerintahkan
jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. al- Dzariyat [51]: 56). Di
ayat lain Allah memerintahkan ibadah kepada manusia sebagai sarana untuk
mencapai derajat takwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 21).
Dengan
demikian, jelaslah bahwa ibadah merupakan hak Allah yang wajib dilakukan oleh manusia kepada
Allah. Karena ibadah merupakan perintah Allah dan sekaligus hak-Nya, maka
ibadah yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti aturan-aturan yang dibuat
oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas (Q.S.
al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’
(Q.S. al-Kahfi [18]: 110).
Dalam
masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambahtambah atau dikurangi. Allah telah
mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah bersifat tertutup
(dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya
semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan itu
dengan tegas diperintahkan. Dengan demikian, tidak mungkin dalam ibadah dilakukan
modernisasi, atau melakukan perubahan dan perombakan yang mendasar mengenai
hukum, susunan, dan tata caranya. Yang mungkin dapat dilakukan adalah penggunaan peralatan
ibadah yang sudah modern (Muhammad
Daud Ali, 1996: 49).
Ibadah
memiliki peran yang sangat penting dalam Islam dan menjadi titik sentral dari seluruh
aktivitas kaum Muslim. Seluruh aktivitas kaum Muslim pada dasarnya merupakan
bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya memiliki nilai
ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai material berupa imbalan nyata
di dunia, sedang nilai spiritual
berupa imbalan yang akan diterima di akhirat.
Para
ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah (ibadah khusus) dan ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) (Ash
Shiddieqy, 1985:
5). Ibadah khusus adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya
telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena
itu, pelaksanaan ibadah sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasul. Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah
atau dikurangi. Penambahan atau pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah
yang ada dinamakan bid’ah dan
berakibat batalnya ibadah yang dilakukan. Dalam masalah ibadah ini berlaku
prinsip:
“Pada
prinsipnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang memerintahkannya
(Ash Shiddieqy, 1980, II: 91).
Contoh
ibadah khusus ini adalah shalat (termasuk di dalamnya thaharah), zakat, puasa, dan haji. Inilah
makna ibadah yang sebenarnya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Adapun
ibadah ghairu mahdlah (ibadah
umum) adalah ibadah yang tata cara
pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. Ibadah umum ini tidak menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi
justeru berupa hubungan antara manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai
ibadah. Bentuk ibadah ini umum sekali, berupa semua aktivitas kaum Muslim (baik
perkataan maupun perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari dengan
niat karena Allah (mencari rido Allah). Jadi, sebenarnya ibadah umum itu berupa
muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari rido Allah.
Para
ulama ada juga yang membagi ibadah menjadi lima macam, yaitu:
1)
ibadah badaniyah,
seperti shalat, 2) ibadah maliyah,
seperti zakat, 3) ibadah ijtima’iyah,
seperti haji, 4) ibadah ijabiyah, seperti
thawaf, dan 5) ibadah salbiyah,
seperti meninggalkan segala yang diharamkan dalam masa berihram (Ash Shiddieqy,
1985: 5). Tentu masih banyak tinjauan ibadah dari ulama lain berdasarkan sudut
pandang yang berbeda-beda, namun tidak akan menghilangkan ruhnya, yaitu bahwa
ibadah merupakan suatu ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya dengan didukung
oleh keikhlasan atau ketulusan hati.
Muamalah
Secara
etimologis kata muamalah berasal dari bahasa Arab al-mu’amalah yang berpangkal pada
kata dasar ‘amila-ya’malu-‘amalan yang
berarti membuat, berbuat, bekerja, atau bertindak (Munawwir, 1997: 972). Dari
kata ‘amila muncul
kata ‘amala-yu’amilu–mu’amalah yang
artinya hubungan kepentingan (seperti jual beli, sewa, dsb) (Munawwir, 1997:
974). Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah
selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu
dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat (Khallaf,
1978: 32).
Berbeda
dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah terbatas pada
yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya
dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk
dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam bidang ibadah tidak mungkin dilakukan
modernisasi, maka dalam bidang muamalah sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi.
Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian maju,
masalah muamalah pun dapat disesuaikan sehingga mampu mengakomodasi kemajuan
tersebut.
Karena
sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada
dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan
dan melarangnya (Ash Shiddieqy,
1980, II: 91). Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang
termasuk dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada
ketentuan atau nash yang
melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja
berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh
Islam.
Dilihat
dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut Abdul
Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi (1) ahkam
al-ahwal al-syakhshiyyah
(hukum-hukum masalah personal/keluarga); (2) al-ahkam al-madaniyyah (hukum-hukum perdata); (3) al-ahkam al-jinaiyyah (hukum-hukum
pidana); (4) ahkam al-murafa’at (hukum-hukum acara peradilan); (5) al-ahkam al-dusturiyyah(hukum-hukum
perundang-undangan); (6) alahkam al-duwaliyyah (hukum-hukum kenegaraan); dan (7) alahkam al-iqtishadiyyah
wa al-maliyyah/(hukum-hukum ekonomi dan harta).
Jika
dibandingkan dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum privat dengan hukum publik,
hukum Islam dalam bidang muamalah tidak membedakan antara keduanya, karena
kedua istilah hukum itu dalam hukum
Islam saling mengisi dan saling terkait. Akan tetapi, jika pembagian hukum
muamalah yang tujuh di atas digolongkan dalam dua bagian sebagaimana yang ada
dalam hukum Barat, maka susunannya adalah sebagai berikut:
- Hukum perdata (Islam), yang meliputi:
- Ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah, yang mengatur masalah keluarga, yaitu hubungan suami isteri dan kaum kerabat satu sama lain. Jika dibandingkan dengan tata hukum di Indonesia, maka bagian ini meliputi hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan Islam.
- Al-ahkam al-madaniyyah, yang mengatur hubungan antar individu dalam bidang jual beli, hutang piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan sebagainya. Hukum ini dalam tata hukum Indonesia dikenal dengan hukum benda, hukum perjanjian, dan hukum perdata khusus.
- Hukum publik (Islam), yang meliputi:
- Al-ahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum pidana.
- Ahkam al-murafa’at, yang mengatur masalah peradilan, saksi, dan sumpah untuk menegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini disebut dengan hukum acara.
- Al-ahkam al-dusturiyyah, yang berkaitan dengan aturan hukum dan dasar-dasarnya, seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi, menentukan hak-hak individu dan sosial.
- Al-ahkam al-duwaliyyah, yang berhubungan dengan hubungan keuangan antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan masyarakat non-Muslim dengan negara Islam. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum internasional.
- Al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah, yang berkaitan dengan hak orang miskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber penghasilan dan sumber pengeluarannya. Yang dimaksud di sini adalah aturan hubungan keuangan antara yang kaya dengan fakir miskin dan antara negara dengan individu.
Itulah
pembagian hukum muamalah yang meliputi tujuh bagian hukum yang objek kajiannya
berbeda-beda. Pembagian seperti itu tentunya bisa saja berbeda antara ahli
hukum yang satu dengan yang lainnya. Yang pasti hukum Islam tidak dapat
dipisahkan secara tegas antara hukum publik dan hukum privat. Hampir semua
ketentuan hukum Islam bisa terkait dengan masalah umum (publik) dan juga
terkait dengan masalah individu (privat).