-->

Ruang Lingkup Hukum Islam

Sudut Hukum | Pembahasan mengenai ruang lingkup hukum Islam di sini berkisar pada tiga masalah pokok, yaitu: (1) pengertian ruang lingkup hukum Islam; (2) ibadah, sebagai ruang lingkup hukum Islam yang pertama; dan (3) muamalah, sebagai ruang lingkup hukum Islam yang kedua.

Pengertian Ruang Lingkup Hukum Islam

Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam di sini adalah objek kajian hukum Islam atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum Islam di sini meliputi syariah dan fikih. Hukum Islam sangat berbeda dengan hukum Barat yang membagi hukum menjadi hukum privat (hukum perdata) dan hukum publik. Sama halnya dengan hukum adat di Indonesia, hukum Islam tidak membedakan hukum privat dan hukum publik. Pembagian bidang-bidang kajian hukum Islam lebih dititikberatkan pada bentuk aktivitas manusia dalam melakukan hubungan.

Ruang Lingkup Hukum Islam
Dengan melihat bentuk hubungan ini, dapat diketahui bahwa ruang lingkup hukum Islam ada dua, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablun minannas). Bentuk hubungan yang pertama disebut ibadah dan bentuk hubungan yang kedua disebut muamalah.

Dengan mendasarkan pada hukum-hukum yang terdapat dalam al- Quran, Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum menjadi tiga, yaitu hukumhukum i’tiqadiyyah (keimanan), hukum-hukum khuluqiyyah (akhlak), dan hukum-hukum ‘amaliyyah (aktivitas baik ucapan maupun perbuatan). Hukum-hukum ‘amaliyyah inilah yang identik dengan hukum Islam yang  dimaksud di sini. Abdul Wahhab Khallaf membagi hukum-hukum ‘amaliyyah menjadi dua, yaitu hukum-hukum ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hukum-hukum muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya (Khallaf, 1978: 32).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup atau bidang-bidang kajian hukum Islam ada dua, yaitu bidang ibadah dan bidang muamalah. Kedua bidang hukum ini akan diuraikan lebih jauh pada pembahasan selanjutnya.

Ibadah

Secara etimologis kata ‘ibadah’ berasal dari bahasa Arab al-‘ibadah, yang merupakan mashdar dari kata kerja ‘abada - ya’budu yang berarti menyembah atau mengabdi (Munawwir, 1997: 886). Sedang secara terminologis ibadah diartikan dengan perbuatan orang mukallaf (dewasa) yang tidak didasari hawa nafsunya dalam rangka mengagunkan Tuhannya (al-Jarjani, 1988: 189). Sementara itu, Hasbi ash Shiddieqy (1985: 4) mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang dikerjakan untuk mencapai keridoan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat. Inilah definisi yang dikemukakan oleh ulama fikih. Dari makna ini, jelaslah bahwa ibadah mencakup semua aktivitas manusia baik perkataan maupun perbuatan yang didasari dengan niat ikhlas untuk mencapai keridoan Allah dan mengharap pahala di akhirat kelak.

Hakikat ibadah menurut para ahli adalah ketundukan jiwa yang timbul karena hati merasakan cinta akan yang disembah (Tuhan) dan merasakan keagungan-Nya, karena meyakini bahwa dalam alam ini ada kekuasaan yang hakikatnya tidak diketahui oleh akal. Pendapat lain menyatakan, hakikat ibadah adalah memperhambakan jiwa dan menundukkannya kepada kekuasaan yang ghaib yang tidak dijangkau ilmu dan tidak diketahui hakikatnya. Sedang menurut Ibnu Katsir, hakikat ibadah adalah suatu ungkapan yang menghimpun kesempurnaan cerita, tunduk, dan takut (Ash Shiddieqy, 1985: 8).

Dari beberapa pengertian tentang ibadah di atas dapat dipahami bahwa ibadah hanya tertuju kepada Allah dan tidak boleh ibadah ditujukan kepada selain Allah. Hal ini karena memang hanya Allah yang berhak menerima ibadah hamba-Nya dan Allahlah yang telah memberikan segala kenikmatan, pertolongan, dan petunjuk kepada semua makhluk ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dalam al-Quran dengan tegas disebutkan bahwa Allah memerintahkan jin dan manusia untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. al- Dzariyat [51]: 56). Di ayat lain Allah memerintahkan ibadah kepada manusia sebagai sarana untuk mencapai derajat takwa (Q.S. al-Baqarah [2]: 21).

Dengan demikian, jelaslah bahwa ibadah merupakan hak Allah yang wajib dilakukan oleh manusia kepada Allah. Karena ibadah merupakan perintah Allah dan sekaligus hak-Nya, maka ibadah yang dilakukan oleh manusia harus mengikuti aturan-aturan yang dibuat oleh Allah. Allah mensyaratkan ibadah harus dilakukan dengan ikhlas (Q.S. al-Zumar [39]: 11) dan harus dilakukan secara sah sesuai dengan petunjuk syara’ (Q.S. al-Kahfi [18]: 110).

Dalam masalah ibadah berlaku ketentuan, tidak boleh ditambahtambah atau dikurangi. Allah telah mengatur ibadah dan diperjelas oleh Rasul-Nya. Karena ibadah bersifat tertutup (dalam arti terbatas), maka dalam ibadah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua perbuatan ibadah dilarang untuk dilakukan kecuali perbuatan-perbuatan itu dengan tegas diperintahkan. Dengan demikian, tidak mungkin dalam ibadah dilakukan modernisasi, atau melakukan perubahan dan perombakan yang mendasar mengenai hukum, susunan, dan tata caranya. Yang mungkin dapat dilakukan adalah penggunaan peralatan ibadah yang sudah modern (Muhammad Daud Ali, 1996: 49).

Ibadah memiliki peran yang sangat penting dalam Islam dan menjadi titik sentral dari seluruh aktivitas kaum Muslim. Seluruh aktivitas kaum Muslim pada dasarnya merupakan bentuk ibadah kepada Allah, sehingga apa saja yang dilakukannya memiliki nilai ganda, yaitu nilai material dan nilai spiritual. Nilai material berupa imbalan nyata di dunia, sedang nilai spiritual berupa imbalan yang akan diterima di akhirat.

Para ulama membagi ibadah menjadi dua macam, yaitu ibadah mahdlah (ibadah khusus) dan ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) (Ash Shiddieqy, 1985: 5). Ibadah khusus adalah ibadah langsung kepada Allah yang tata cara pelaksanaannya telah diatur dan ditetapkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasulullah. Karena itu, pelaksanaan ibadah sangat ketat, yaitu harus sesuai dengan contoh dari Rasul. Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan pedoman atau cara yang harus ditaati dalam beribadah, tidak boleh ditambah-tambah atau dikurangi. Penambahan atau pengurangan dari ketentuan-ketentuan ibadah yang ada dinamakan bid’ah dan berakibat batalnya ibadah yang dilakukan. Dalam masalah ibadah ini berlaku prinsip:
“Pada prinsipnya ibadah itu batal (dilarang) kecuali ada dalil yang memerintahkannya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91).

Contoh ibadah khusus ini adalah shalat (termasuk di dalamnya thaharah), zakat, puasa, dan haji. Inilah makna ibadah yang sebenarnya yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.

Adapun ibadah ghairu mahdlah (ibadah umum) adalah ibadah yang tata cara pelaksanaannya tidak diatur secara rinci oleh Allah dan Rasulullah. Ibadah umum ini tidak menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi justeru berupa hubungan antara manusia dengan manusia atau dengan alam yang memiliki nilai ibadah. Bentuk ibadah ini umum sekali, berupa semua aktivitas kaum Muslim (baik perkataan maupun perbuatan) yang halal (tidak dilarang) dan didasari dengan niat karena Allah (mencari rido Allah). Jadi, sebenarnya ibadah umum itu berupa muamalah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan mencari rido Allah.

Para ulama ada juga yang membagi ibadah menjadi lima macam, yaitu:
1) ibadah badaniyah, seperti shalat, 2) ibadah maliyah, seperti zakat, 3) ibadah ijtima’iyah, seperti haji, 4) ibadah ijabiyah, seperti thawaf, dan 5) ibadah salbiyah, seperti meninggalkan segala yang diharamkan dalam masa berihram (Ash Shiddieqy, 1985: 5). Tentu masih banyak tinjauan ibadah dari ulama lain berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda, namun tidak akan menghilangkan ruhnya, yaitu bahwa ibadah merupakan suatu ketundukan seorang hamba kepada Tuhannya dengan didukung oleh keikhlasan atau ketulusan hati.

Muamalah

Secara etimologis kata muamalah berasal dari bahasa Arab al-mu’amalah yang berpangkal pada kata dasar ‘amila-ya’malu-‘amalan yang berarti membuat, berbuat, bekerja, atau bertindak (Munawwir, 1997: 972). Dari kata ‘amila muncul kata ‘amala-yu’amilu–mu’amalah yang artinya hubungan kepentingan (seperti jual beli, sewa, dsb) (Munawwir, 1997: 974). Sedangkan secara terminologis muamalah berarti bagian hukum amaliah selain ibadah yang mengatur hubungan orang-orang mukallaf antara yang satu dengan lainnya baik secara individu, dalam keluarga, maupun bermasyarakat (Khallaf, 1978: 32).

Berbeda dengan masalah ibadah, ketetapan-ketetapan Allah dalam masalah muamalah terbatas pada yang pokok-pokok saja. Penjelasan Nabi, kalaupun ada, tidak terperinci seperti halnya dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, bidang muamalah terbuka sifatnya untuk dikembangkan melalui ijtihad. Kalau dalam bidang ibadah tidak mungkin dilakukan modernisasi, maka dalam bidang muamalah sangat memungkinkan untuk dilakukan modernisasi. Dengan pertimbangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sedemikian maju, masalah muamalah pun dapat disesuaikan sehingga mampu mengakomodasi kemajuan tersebut.

Karena sifatnya yang terbuka tersebut, dalam bidang muamalah berlaku asas umum, yakni pada dasarnya semua akad dan muamalah boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang membatalkan dan melarangnya (Ash Shiddieqy, 1980, II: 91). Dari prinsip dasar ini dapat dipahami bahwa semua perbuatan yang termasuk dalam kategori muamalah boleh saja dilakukan selama tidak ada ketentuan atau nash yang melarangnya. Oleh karena itu, kaidah-kaidah dalam bidang muamalah dapat saja berubah seiring dengan perubahan zaman, asal tidak bertentangan dengan ruh Islam.

Dilihat dari segi bagian-bagiannya, ruang lingkup hukum Islam dalam bidang muamalah, menurut Abdul Wahhab Khallaf (1978: 32-33), meliputi (1) ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah (hukum-hukum masalah personal/keluarga); (2) al-ahkam al-madaniyyah (hukum-hukum perdata); (3) al-ahkam al-jinaiyyah (hukum-hukum pidana); (4) ahkam al-murafa’at (hukum-hukum acara peradilan); (5) al-ahkam al-dusturiyyah(hukum-hukum perundang-undangan); (6) alahkam al-duwaliyyah (hukum-hukum kenegaraan); dan (7) alahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah/(hukum-hukum ekonomi dan harta).

Jika dibandingkan dengan hukum Barat yang membedakan antara hukum privat dengan hukum publik, hukum Islam dalam bidang muamalah tidak membedakan antara keduanya, karena kedua istilah hukum itu dalam hukum Islam saling mengisi dan saling terkait. Akan tetapi, jika pembagian hukum muamalah yang tujuh di atas digolongkan dalam dua bagian sebagaimana yang ada dalam hukum Barat, maka susunannya adalah sebagai berikut:

  • Hukum perdata (Islam), yang meliputi:

  1. Ahkam al-ahwal al-syakhshiyyah, yang mengatur masalah keluarga, yaitu hubungan suami isteri dan kaum kerabat satu sama lain. Jika dibandingkan dengan tata hukum di Indonesia, maka bagian ini meliputi hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan Islam.
  2. Al-ahkam al-madaniyyah, yang mengatur hubungan antar individu dalam bidang jual beli, hutang piutang, sewa-menyewa, petaruh, dan sebagainya. Hukum ini dalam tata hukum Indonesia dikenal dengan hukum benda, hukum perjanjian, dan hukum perdata khusus.

  • Hukum publik (Islam), yang meliputi:

  1. Al-ahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum pidana.
  2. Ahkam al-murafa’at, yang mengatur masalah peradilan, saksi, dan sumpah untuk menegakkan keadilan. Di Indonesia hukum ini disebut dengan hukum acara.
  3. Al-ahkam al-dusturiyyah, yang berkaitan dengan aturan hukum dan dasar-dasarnya, seperti ketentuan antara hakim dengan yang dihakimi, menentukan hak-hak individu dan sosial.
  4. Al-ahkam al-duwaliyyah, yang berhubungan dengan hubungan keuangan antara negara Islam dengan negara lain dan hubungan masyarakat non-Muslim dengan negara Islam. Di Indonesia hukum ini dikenal dengan hukum internasional.
  5. Al-ahkam al-iqtishadiyyah wa al-maliyyah, yang berkaitan dengan hak orang miskin terhadap harta orang kaya, dan mengatur sumber penghasilan dan sumber pengeluarannya. Yang dimaksud di sini adalah aturan hubungan keuangan antara yang kaya dengan fakir miskin dan antara negara dengan individu.
Itulah pembagian hukum muamalah yang meliputi tujuh bagian hukum yang objek kajiannya berbeda-beda. Pembagian seperti itu tentunya bisa saja berbeda antara ahli hukum yang satu dengan yang lainnya. Yang pasti hukum Islam tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum publik dan hukum privat. Hampir semua ketentuan hukum Islam bisa terkait dengan masalah umum (publik) dan juga terkait dengan masalah individu (privat).

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel