Karakteristik Hukum Islam
Sunday, 12 July 2015
Sudut Hukum | Sebagai
suatu sistem hukum tersendiri, hukum Islam memiliki beberapa karakteristik dan
watak tersendiri yang membedakannya dari berbagai sistem hukum yang ada di
dunia. Di antara karaktersitik hukum Islam ini ada yang merupakan produk dari
watak hukum Islam itu sendiri, dan ada yang disebabkan oleh evolusinya dalam
mencapai tujuan yang diridoi Allah.
Para
ulama berbeda-beda dalam menguraikan karakteristik hukum Islam. Dari berbagai pendapat
para ulama dapat dikemukakan beberapa karakteristik dasar dari hukum Islam
seperti berikut:
1. Asal mula hukum Islam berbeda dengan asal mula hukum umum.
Perbedaan
pokok hukum Islam (syariah) dengan hukum Barat adalah bahwa hasil konsep hukum Islam
merupakan ekspresi dari wahyu Allah. Dengan kata lain bahwa hukum Islam secara
mendasar bersumber pada wahyu
Allah. Sumber-sumber hukum Islam kemudian berupa wahyu Allah (al-Quran), Sunnah
Rasulullah dan sumber-sumber lain yang didasarkan pada dua sumber pokok ini
(Ahmed Akgunduz, 2010: 25).
Jadi, hukum-hukum buatan manusia sangat berbeda
dengan hukum-hukum yang datang dari Allah yang tidak layak dibandingkan, karena
perbedaan yang sangat mencolok antara Allah sebagai Pencipta dan manusia
sebagai yang diciptakan, sehingga tidak akan pernah diterima akal secara sama membandingkan
apa yang dibuat oleh manusia dengan apa yang dibuat oleh Tuhan manusia (Manna’
al-Qaththan, 2001: 19).
Islam
mengajarkan suatu prinsip aqidah yang benar setelah prinsipprinsip aqidah dalam agama Yahudi dan
Nasrani mengalami perubahan yang
mendasar akibat ulah para penganutnya. Islam juga menetapkan peraturan
perundang-undangan yang sesuai untuk kehidupan individu dan masyarakat,
terutama karena agama-agama wahyu (samawi) sebelumnya belum memberikan
aturan-aturan yang memadai. Di antara peraturanperaturan itu adalah yang
termuat dalam hukum Islam.
Dasar-dasar hukum Islam bersumber pada wahyu Allah
yang dapat dijumpai dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam kedua sumber ini terdapat
keseluruhan bagian hukum modern yang bermacam-macam, seperti hukum perdata,
hukum pidana, hukum dagang, hukum tata negara, hukum internasional, dan
cabangcabang hukum yang lain (Muhammad Yusuf Musa (1988: 161).
Para
fuqaha (ahli
fikih) terikat dengan dua sumber pokok (al-Quran dan Sunnah) selama ditemukan nash-nash
di dalamnya. Jika dalam kedua sumber ini tidak ditemukan dasar-dasar tersebut,
maka harus dicari dasardasarnya dengan mendasarkan pada inspirasi jiwa dan
prinsip serta tujuan hukum Islam. Di sinilah ijtihad memainkan peran yang
sangat penting dalam
menemukan dasar-dasar yang belum ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah.
Para ahli hukum positif
terus menerus mengkaji undang-undang dan menafsirkan teks-teksnya pasal demi
pasal, seperti yang dilakukan para penafsir kitab suci, semisal al-Quran,
dengan berasumsi bahwa undangundang itu memuat segala sesuatu yang menyangkut
bidang isinya. Karena itulah ketika para ahli hukum sepakat mengatakan bahwa
teks-teks hukum memuat semua kaidah hukum tanpa ada yang terlewat, tidak ada
pilihan lain bagi seorang ahli hukum kecuali membahas dan menafsirkan teks-teks
itu pasal demi pasal.
Bisa jadi seorang ahli fikih (hukum Islam) tidak mampu menyimpulkan
satu kaidah dari teks hukum (nash)
yang dipelajari. Hal ini bukan berarti dalam nash
terdapat kesalahan, tetapi karena keterbatasan yang ada pada ahli
fikih tersebut (Muhammad Yusuf Musa (1988: 161).
Inilah
karakteristik yang membedakan sistem hukum Islam dengan sistem hukum yang lain buatan
manusia. Sistem hukum Barat dan hukum modern yang lain tidak satu pun yang bersumber
pada wahyu Tuhan, termasuk hukum-hukum adat yang berkembang di beberapa daerah
di tanah air kita (Indonesia). Itulah sebabnya, hukum Islam memiliki supremasi yang
sangat tinggi bagi umat Islam. Tidak ada sistem hukum di dunia ini yang memiliki tingkat kepercayaan
dan kepatuhan seperti hukum Islam.
Namun
demikian, dalam kenyatannya penghargaan terhadap hukum Islam di dunia modern ini tidak
setinggi kualitasnya sendiri. Manusia modern lebih taat dan patuh pada
aturan-aturan hukum positif yang mempunyai kekuatan yang mengikat bagi setiap
orang yang masuk dalam lingkup pemberlakuan hukum positif tersebut dibandingkan
dengan ketaatannya pada hukum Tuhan (hukum Islam).
2. Aturan-aturan hukum Islam dibuat dengan dorongan agama dan moral.
Aturan-aturan
hukum Islam pernah dilaksanakan secara sempurna oleh pemeluknya. Hal ini karena semua
peraturannya menggunakan pertimbangan agama dan moral yang membuatnya
benar-benar diterima dan diyakini oleh segenap orang beriman, tanpa ada
perbedaan antara Muslim dan non-Muslim.
Sebagai bukti dapat dilihat dalam hal
bertetangga. Dalam al-Quran dan Sunnah banyak anjuran kepada umat Islam untuk berbuat
baik kepada tetangga tanpa dibatasi oleh agama dan kepentingan apapun. Seorang
mukmin yang baik akan patuh terhadap anjuran al-Quran dan Sunnah dalam aturan
bertetangga ini tanpa harus diikat oleh aturanaturan atau undang-undang. Ketika
seorang mukmin tidak menaati aturan itu, akan terlihat bahwa imannya tidak lagi
bernilai baik (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 163). Ilustrasi seperti ini dapat
juga dilihat dalam perintahperintah agama yang lain, seperti bersedekah
(berzakat) dan berjihad.
Kenyataan
seperti di atas tidak didapati dalam undang-undang (UU) buatan manusia. Semua UU buatan
manusia selalu didahului oleh konsideran
sebagai acuannya. Dalam konsideran ini dijelaskan sebab-sebab ditetapkan UU
itu, tujuan pembuatannya, dan pertimbangan-pertimbangan lain. Namun, konsideran
dalam UU tidak dapat disamakan dengan hukum Islam yang acuannya dari al-Quran
dan Sunnah. Dengan acuan seperti ini orang yang menaati hukum Islam akan merasa
mendapatkan rido dari Allah dan mendapatkan pahala baik di dunia maupun di
akhirat. Inilah yang tidak
ditemukan
dalam hukum-hukum selain hukum Islam.
Jika
hukum Islam ditetapkan atas dasar dorongan agama dan moral, hukum umum buatan manusia
ditetapkan atas dasar ketundukan pada hawa nafsu dan kecenderungan tertentu serta
mengikuti faktor-faktor kemanusiaan.
Faktor-faktor inilah yang kemudian menyebabkan hukum manusia menyimpang dari
ketetapan yang benar dan penyelesaian urusan kehidupan secara adil. Karena
itulah, hukum buatan manusia sering mengalami perubahan dan perbaikan serta tidak
memiliki ketetapan hukum yang
pasti.
Hukum halal pada saat ini bisa saja berubah menjadi hukum haram pada
esok hari, dan karenanya pertimbangan hidup serta ukuran baik dan tidak baik
juga berbeda-beda (Manna’ al-Qaththan, 2001: 19). Hukum Islam (syariah) sangat
berbeda dengan hukum ini, karena hukum Islam didasarkan pada wahyu Ilahi yang
sangat tahu tentang persoalan manusia dalam berbagai aspek kehidupannya.
3. Balasan hukum Islam didapatkan di dunia dan akhirat.
Ciri
ini terkait dengan ciri sebelumnya, sehingga hampir tidak dapat dipisahkan. Hukum buatan manusia
(UU) tidak akan memiliki ciri seperti ini. Pemberian sanksi atau hukuman
terhadap para pelanggar UU hanya akan didapatkan ketika di dunia. Tidak ada
aturan atau ketentuan dalam UU tersebut yang akan memberikan sanksi atau
balasan di akhirat. Hukum Islam menjanjikan pahala dan siksa di dunia dan
akhirat. Sanksi di akhirat tentunya
jauh lebih besar dari sanksi di dunia.
Karena itu, orang yang beriman merasa
mendapatkan dorongan jiwa yang kuat untuk melaksanakan hukum Islam dengan
mengikuti perintah dan menjauhi larangan. Hukum yang disandarkan kepada agama bertujuan
untuk mewujudkan
kesejahteraan individu dan masyarakat. Karena itu, hukum tersebut tidak akan menetapkan
suatu aturan yang bertentangan dengan kehendak keduanya. Hukum ini tidak hanya
bertujuan untuk membangun masyarakat yang baik saja, tetapi juga bertujuan
untuk membahagiakan individu, masyarakat, dan seluruh umat manusia di dunia dan
akhirat
(Muhammad
Yusuf Musa, 1988: 167).
Sanksi
yang diterima orang yang melanggar hukum Islam di samping berupa hukuman dunia dan sanksi
material lainnya juga berupa sanksi spiritual atas dasar hati, pikiran, dan
kesadaran manusia. Banyak contoh yang disebutkan dalam buku-buku fikih terkait
dengan hal ini, misalnya perdagangan yang dieksekusi setelah terdengar suara
azan untuk orang yang melaksanakan shalat Jum’at adalah qadla’an (menurut keputusan hukum
positif), yakni sah menurut hukum sipil.
Bagaimanapun, hal ini merupakan diyanatan yang diizinkan
(menurut hukum agama dan hukum ideal). Pada saat yang sama, seseorang yang
melakukan tindakan kriminal dengna merusak barang milik orang lain harus
membayar kepada pemiliknya, bahkan ia juga harus memikul tanggung jawab lain
atas penyerangan terhadap barang milik orang lain tersebut (Ahmed Akgunduz, 2010:
26).
4. Kecenderungan hukum Islam bersifat komunal.
Di
atas sudah dijelaskan bahwa hukum Islam bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umat
manusia seluruhnya, baik individu maupun masyarakat. Karena itu, kecenderungan
yang dominan dari hukum Islam
adalah komunal. Komunal berbeda dengan sosialistik. Komunal memiliki pengertian
yang lebih luas yang mencakup segi materi dan segisegi lain yang meliputi
seluruh hak dan kewajiban, sedang sosialistik mempunyai pengertian khusus yang
terbatas pada materi.
Kecenderungan hukum Islam yang komunal ini
dapat terlihat dengan jelas baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Semua aturan hukum
Islam dalam kedua bidang ini bertujuan mendidik individu untuk mewujudkan
kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai
contoh dapat dilihat pada kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji dalam bidang
ibadah, penghalalan jual beli dan pengharaman riba, perintah jual beli dan
larangan riba, serta menegakkan hukuman hudud untuk melindungi masyarakat dalam
bidang muamalah (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 168).
Dari
contoh-contoh di atas jelaslah bahwa hukum Islam di dalam mewajibkan perintah dan
mengharamkan larangan tidak hanya bertujuan untuk keselamatan dan kebahagiaan individu
saja, tetapi juga untuk mewujudkan
kemaslahatan masyarakat secara umum. Inilah watak dan kecenderungan hukum Islamyang hakiki sebagaimana yang kita jumpai dalam al-Quran, Sunnah, dan
putusan-putusan para ulama melalui ijtihad.
Hal
ini sangat berbeda dengan hukum-hukum buatan manusia yang pada umumnya memiliki kecenderungan
individual. Karena itu, aturan-aturan hukum positif banyak yang mengakibatkan
benturan antar individu ketika kepentingan
masing-masing individu itu berbeda. Hal inilah yang kemudian menjadi titik
tolak hukum positif membenahi aturan-aturannya sehingga pada akhirnya juga
mempunyai watak komunal. Sebagai contoh, tidak ada hukum positif yang melarang
praktek riba yang pada prinsipnya menguntungkan pemilik modal dan merugikan
peminjam.
Cakupan
hukum Islam jauh lebih luas dari cakupan hukum buatan manusia. Aturan-aturan dalam
hukum Islam meliputi berbagai persoalan hidup manusia tanpa ada
pembatasan-pembatasan tertentu. Adapun hukum buatan manusia aturan-aturannya
dibatasi pada permasalahan tertentu, misalnya hanya mengatur masalah hukum
privat, hukum keluarga, hukum pidana, hukum internasional, atau masalah-masalah
tertentu yang lain (Ahmed Akgunduz, 2010: 26).
5. Hukum Islam dapat berkembang sesuai dengan lingkungan, waktu, dan tempat.
Setiap
hukum menghendaki adanya kedinamisan untuk dapat bertahan terus di tengah-tengah perbedaan
waktu dan tempat. Jika tidak demikian, hukum tersebut akan mati dan tidak dapat
bertahan. Hukum Islam mempunyai sifat dinamis yang membuatnya tetap bertahan
dan berkembang seiring perkembangan zaman (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 172).
Kaidah-kaidah
hukum Islam tidak terbatas pemberlakuannya pada kaum tertentu dan masa tertentu.
Kaidah-kaidah hukum Islam merupakan kaidah umum yang berlaku untuk semua masa,
tempat, dan golongan. Dalam sejarah terbukti hukum Islam telah berlaku selama
empat belas abad. Di saat terjadi berbagai perubahan masyarakat, ratusan kanun
dan aturanaturannya, serta perubahan dasar-dasar hukum seiring dengan sanksi
yang ada, hukum Islam tetap eksis dan berlaku untuk semua zaman dan tempat yang
didukung dengan teks-teks (nushush)
yang meliputi seluruh elemen pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi (Manna’
al-Qaththan, 2001: 21).
Hukum
Islam bersifat elastis (lentur, luwes) yang meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan
manusia. Permasalahan kemanusiaan, kehidupan jasmani dan rohani, hubungan
manusia dengan Tuhan, hubungan sesama makhluk, serta tuntunan hidup dunia dan
akhirat terkandung dalam ajaran hukum Islam. Hukum Islam juga memperhatikan berbagai
segi kehidupan, baik bidang ibadah, muamalah, maupun bidangbidang yang lain
(Manna’ al-Qaththan, 2001: 21; Fathurrahman Djamil, 1997: 47). Hukum Islam juga
bersifat universal yang meliputi seluruh manusia tanpa dibatasi oleh golongan
dan daerah tertentu seperti hukum-hukum para Nabi sebelum Muhammad. Hukum Islam
berlaku bagi orang Arab dan non-Arab, bagi kulit putih dan kulit hitam. Semua
ini didasarkan pada kekuasaan Allah (sebagai sumber utama hukum Islam) yang
tidak terbatas (Fathurrahman Djamil, 1997: 49).
Kedinamisan
hukum Islam dapat dilihat pada dalil-dalil nash (al-Quran dan Sunnah) yang umum (universal)
yang tidak terbatas pada waktu dan tempat tertentu. Dalam Q.S. Saba’ (24): 28
dan Q.S. al-Anbiya’ (21): 107, misalnya, Allah menegaskan bahwa Nabi Muhammad
sebagai pembawa risalah Islam diutus untuk semua manusia di muka bumi ini. Di
samping itu, dalam hukum Islam terdapat sumber hukum yang menjamin adanya kedinamisan
tersebut, yaitu ijtihad dengan berbagai metodenya, seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah, ‘urf, dan
lain-lain.
Metode-metode inilah
yang membuat hukum Islam tetap eksis di tengah-tengah perkembangan zaman yang
begitu pesat. Tidak ada satu masalah pun di dunia ini yang tidak dapat
ditemukan aturannya dalam hukum Islam.
Yang
perlu dicatat, bahwa dinamika hukum Islam seperti di atas sarat dengan perbedaan pendapat. Tidak
jarang masalah perbedaan ini justeru menjadi pemicu adanya pertentangan dan
permusuhan di kalangan umat Islam sendiri, sehingga sangat melemahkan Islam dan
hukum Islam. Sejarah membuktikan,
hancurnya umat Islam disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Namun, faktor internal
lebih dominan jika dibandingkan dengan faktor eksternal. Faktor internal yang
terbesar adalah permusuhan antara umat Islam yang dipicu oleh perbedaan
pendapat di antara mereka. Kalau umat Islam menyadari bahwa perbedaan pendapat
itu suatu keniscayaan, maka hal ini tidak seharusnya terjadi. Adanya perbedaan
seperti ini justeru dapat memudahkan umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam
di tengah perbedaan waktu dan tempat.
6. Tujuan hukum Islam mengatur dan memberikan kemudahan bagi kehidupan privat dan publik dan membahagiakan dunia seluruhnya.
Tujuan
hukum positif terlihat pragmatis dan terbatas, yakni menegakkan ketertiban dalam
masyarakat dengan satu cara tertentu. Tujuan ini sangat diidam-idamkan oleh
pembuat UU, meskipun terkadang memaksanya untuk menyimpang dari kaidah-kaidah
moral dan agama. Misalnya, UU memutuskan gugurnya hak dari pemilik barang
lantaran dalu warsa. Ini memberi peluang kepada orang lain dapat memiliki
barang yang dalu warsa tersebut, meskipun dengan cara yang tidak benar. Hukum
Islam mempunyai tujuan yang berbeda dengan hukum positif.
Hukum Islam mempunyai
bidang yang sama sekali tidak disentuh oleh hukum positif, yaitu mengatur
hubungan seorang individu dengan Tuhannya. Ketentuan hukum Islam dalam bidang
ibadah bertujuan untuk mensucikan ruh dan menghubungkannya dengan Allah,
sekaligus mensejahterakan individu dan masyarakat secara bersama dalam berbagai
bidang baik di dunia maupun di akhirat. Dalam bidang muamalah hukum Islam juga
mempunyai tujuan yang menyeluruh dan memberikan bentuk ideal untuk menyantuni individu,
masyarakat, dan umat manusia seluruhnya (Muhammad Yusuf Musa, 1988: 175).
Prinsip
hukum Islam seperti di atas kemudian banyak dituangkan dalam rumusan-rumusan yang
kemudian disebut kaidah-kaidah hukum Islam (al-qawaid
al-fiqhiyyah). Kaidah-kaidah ini dapat diterapkan di
setiap situasi dan kondisi,
di manapun dan kapanpun. Dari sini juga dapat diketahui bahwa hukum Islam
mempunyai tujuan yang menyeluruh yang melibatkan individu, masyarakat, dan umat
manusia seluruhnya.
7. Hukum Islam bersifat ta’aqquli dan ta’abbudi.
Karakteristik
ini terkait dengan dua bidang kajian hukum Islam, yaitu ibadah dan muamalah. Dalam bidang
ibadah terkandung nilai-nilai ta’abbudi,
atau ghairu ma’qulat al-ma’na (irrasional),
yakni ketentuan ibadah itu harus sesuai dengan yang disyariatkan, meskipun akal
tidak mampu menjangkaunya. Tidak dapat diterapkan ijtihad dalam masalah ibadah
ini.
Sebagai
contoh, bagian-bagian yang harus dikenai air ketika seorang berwudlu adalah seperti yang
sudah ditentukan oleh al-Quran, yakni muka, dua tangan sampai siku-siku, sebagian kepala,
dan dua kaki sampai mata kaki.
Bagian-bagian itu tidak bisa diganti dan ditambah dengan yang lain, meskipun
terkadang tidak bisa ditemukan alasan rasionalnya. Sedang dalam bidang muamalah
terkandung nilai-nilai ta’aqquli atau
ma’qulat al-ma’na (rasional),
yakni ketentuan muamalah itu dapat diterima dan dijangkau oleh akal.
Pada
bidang muamalah ini dapat diterapkan ijtihad (Fathurrahman Djamil, 1997: 51).
Sebagai contoh, transaksi jual beli yang dulu harus disertai dengan ijab kabul
antara penjual dan pembeli secara tegas dengan pernyataan menjual dan membeli
barang tertentu dengan harga tertentu, sekarang karena perkembangan teknologi
bisa diganti dengan memasang label harga tertentu pada barang yang
diperjualbelikan yang dipajang di tempatnya (etalase atau yang lain). Setiap
pembeli yang memilih barang yang akan dibeli cukup membawa barang pilihannya
dan diserahkan kepada kasir untuk penyelesaian pembayarannya. Di kasir inilah
terjadi ijab kabul antara penjual dan pembeli, meskipun tidak diucapkan jenis
barangbarang dan harga-harganya, sebab antar penjual dan pembeli sudah saling suka
sama suka.
Itulah
beberapa karakteristik hukum Islam yang membedakannya dengan hukum-hukum lain buatan
manusia. Dengan karakteristik seperti itu, sebenarnya tidak ada kekhawatiran
bagi siapapun untuk menerapkan hukum Islam di manapun dan kapanpun. Tujuan umum
yang ingin dicapai oleh hukum Islam bukan untuk kesejahteraan individu dan
kelompok, tetapi untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya, tanpa dibatasi
agama, bahasa, dan suku bangsa tertentu.[*_]