Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif
Saturday, 5 September 2015
Sudut Hukum | Batas Usia Perkawinan Menurut Hukum Positif
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) sebelum adanya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menggariskan batas umur perkawinan. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata pasal 29 menyatakan bahwa laki-laki yang belum
mencapai umur delapan belas tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur
lima belas tahun penuh, tidak dapat mengadakan perkawinan.
Sedangan batas kedewasaan seseorang
berdasarkan KUHPerdata pasal 330 adalah umur 21 (dua puluh satu) tahun atau
belum pernah kawin. Namun, berdasarkan Ketentuan Penutup Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 66 bahwa untuk perkawinan dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan Undang-Undang ini, maka dengan
berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dinyatakan tidak berlaku. Salah satunya adalah
tidak berlakunya ketentuan batas umur perkawinan karena Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan juga mengatur tentang batas umur perkawinan.
Salah satu prinsip yang dianut oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah prinsip kematangan calon mempelai. Kematangan calon mempelai ini
diimplementasikan dengan batasan umur perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria
sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun. Pada usia tersebut, baik pria maupun wanita diasumsikan telah mencapai usia minimal
untuk melangsungkan perkawinan dengan segala permasalahannya.
Selain itu, Undang-Undang Perkawinan juga
menentukan batas umur selain ketentuan 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.
Undang-undang perkawinan pasal 6 ayat (2) menyebutkan bahwa untuk melangsungkan
seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat
izin kedua orang tua.
Instruksi Mendagri Nomor 27 Tahun 1983
tentang Usia Perkawinan dalam Rangka Mendukung Program Kependudukan dan Keluarga Berencana menyebutkan bahwa perkawinan usia muda
adalah perkawinan yang dilakukan pada usia di bawah 20 tahun bagi wanita dan di bawah 25
tahun bagi pria.
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 15 Ayat
(1) dijelaskan bahwa untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah
mencapai umur yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 ayat (1) yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan
calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan mempunyai hubungan erat dengan masalah kependudukan. Dengan adanya pembatasan
umur perkawinan baik bagi pria maupun wanita diharapkan laju angka kelahiran
dapat ditekan seminimal mungkin. Dengan demikian, program Keluarga Berencana Nasional dapat
berjalan seiring dan sejalan dengan Undang-undang ini.
Pada dasarnya penetapan batas usia
perkawinan memang bertujuan demi kemaslahatan dan kebaikan terutama bagi calon mempelai. Dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Nomor 4 Huruf
(d) dijelaskan bahwa prinsip calon mempelai harus masak jiwa raganya dimaksudkan
agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Oleh karena itu,
perkawinan di bawah umur harus dicegah. Dengan ketentuan ini, maka penetapan
batas usia perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan bersifat kaku. Artinya, tidak memberikan peluang bagi siapapun untuk melakukannya.
Meskipun telah ditetapkan batasan umur
namun masih terdapat penyimpangan dengan melakukan perkawinan di bawah umur. Terhadap penyimpangan ini, Undang-Undang
Perkawinan memberikan jalan keluar berupa dispensasi kawin kepada pengadilan. Berdasarkan Peraturan
Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 bahwa Dispensasi Pengadilan Agama ialah penetapan
yang berupa dispensasi untuk calon suami yang belum mencapai umur 19 tahun dan
atau calon istri yang belum berumur 16 tahun yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama.
Peradilan Agama sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman mempunyai tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta memutuskan/menetapkan setiap perkara yang
diajukan kepadanya. Adapun perangkat Pengadilan Agama yang berwenang menetapkan dispensasi
kawin adalah hakim. Permohonan dispensasi kawin
ditujukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat kediaman pemohon. Dan
dalam surat permohonan itu harus dijelaskan alasan-alasan serta
keperluan/maksud permohonan itu serta dengan siapa rencana perkawinan
termaksud.
Untuk mengetahui kelayakan calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan di bawah umur, maka dilakukanlah persidangan dengan
acara singkat. Dalam penetapan dispensasi
kawin, hakim mempertimbangkan antara lain kemampuan, kesiapan, kematangan
pihak-pihak calon mempelai sudah cukup baik mental dan fisik. Hakim menetapkan
dispensasi kawin harus didasarkan atas pertimbangan yang rasional dan memungkinkan untuk memberikan dispensasi kawin kepada calon
mempelai.
Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam
persidangan dan berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk
memberikan dispensasi tersebut, maka Pengadilan
Agama memberikan dispensasi kawin dengan suatu penetapan.