Jika Terlanjur Meninggalkan Shalat, Lakukan hal Ini
Saturday, 3 October 2015
Sudut Hukum | Jika Terlanjur Meninggalkan Shalat, Lakukan hal Ini
Apabila seseorang sudah terlanjur meninggalkan shalat fardhu dan waktunya sudah habis atau sudah terlewat, maka yang harus dilakukan adalah bertaubat dan minta ampun kepada Allah atas kelalaiannya dari mengerjakan shalat. Selain itu dia tetap wajib untuk mengerjakan shalat yang telah ditinggalkannya itu dengan mengerjakan shalat yang sama, meski waktunya sudah habis. Dan shalat itu disebut dengan shalat qadha’.
1. Taubat
Taubat wajib dilakukan apabila ada unsur kesengajaan ketika meninggalkan shalat fardhu dan tidak ada udzur syar’i yang meringankan.
Sebab perbuaan meninggalkan shalat fardhu itu termasuk dosa besar. Maka agar dosa itu terhapus, caranya adalah dengan bertaubat. Dan bila ada seorang hamba yang bertaubat, tentu Allah SWT berpantang untuk menolaknya. Sebab Allah SWT sudah menjamin hal itu dalam Al-quran :
أَلَمْ يَعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?
2. Qadha’
Jumhur ulama selain mazhab Al-Hanabilah mengatakan bahwa meski pun orang meninggalkan shalat fardhu dengan sengaja tanpa udzur syar’i, maka dia tetap diwajibkan untuk membayar hutang shalatnya, yaitu shalat qadha’.

Dan taubat yang telah dilakukan tidak lantas membuat kewajiban membayar hutang shalat menjadi gugur. Sebab taubat itu dilakukan untuk menghapus dosa atas kelalaian mengerjakan shalat pada waktunya. Sedangkan kewajiban untuk membayar hutang atas shalat yang ditinggalkan tetap masih ada. Maka selain bertaubat, yang harus dilakukan adalah membayar hutang.
Kita bisa membuat perumpamaan masalah ini dengan kasus orang yang mengemplang hutang uang. Misalnya si A pinjam uang kepada si B sebesar 10 juta rupiah. Sesuai kesepakatan, hutang itu harus dibayarkan setahun kemudian. Ternyata sudah lewat setahun, A belum punya uang untuk membayar hutang. Maka seperti biasanya orang yang hutang, A pun menghilang tak tentu rimbanya, karena menghindari tagihan hutang dari B.
Singkat cerita, 5 tahun kemudian A bertemu dengan B dalam kesempatan lebaran, dimana acara itu intinya maaf-maafan. Tentu A tidak bisa begitu saja bilang ke B,”Bersama hari Raya Idul Fitri, saya mohon maaf lahir batin kepada Anda dan mohon hutang 10 juta saya dianggap lunas ya”.
Tentu tidak bisa demikian. Urusan minta maaf karena mangkir tidak bayar hutang pada waktunya mungkin bisa diselesaikan dengan minta maaf. Akan tetapi hutang uang 10 juta tidak bisa selesai dengan sepotong kata minta maaf. Sebab hutang uang tetap hutang. Terkecuali bila B memang mengikhlaskan uangnya ditilep oleh A, tentu hal itu lain urusan.
Pendeknya, selama hayat masih di kandung badan, hutang shalat itu tetap masih tergantung pada pundak seseorang.