Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Sunday, 11 October 2015
Sudut Hukum | Lahirnya UU No 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf
Hadirnya Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun 2004 tentang Wakaf,
merupakan Undang-Undang yang dinantik an oleh segenap Bangsa Indonesia
terutama yang memeluk agama Islam. Karena masalah perwakafan telah menjadi
problem yang cukup lama dan belum ada undang-undang yang secara khusus tentang
wakaf, sehingga perwakafan di negeri kita kurang berkembang secara optimal.
Gagasan dan pemikiran pengeluaran peraturan tentang wakaf adalah
adanya praktek
perwakafan yang dilakukan masyarakat Islam Indonesia yang masih menggunakan
kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan
hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang
atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang
mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif,
dan harta dianggap milik allah semata yang siapa saja tidak akan berani
mengganggu tanpa seizin Allah.[1]
Akhirnya praktik pelaksanaan wakaf semacam ini, pada paruh perjalanannya harus
diakui memunculkan persoalan mengenai validitas legal tentang harta wakaf yang
berujung pada timbulnya persengketaan-persengketaan karena tidak ada buktibukti yang
mampu menunjukkan bahwa benda-benda bersangkutan telah diwakafkan.
Atas dasar Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No.41 tahun
2004 tentang
Wakaf, yang diundangkan pada tanggal 27 Oktober 2004, merupakan apresiasi
pemerintah terhadap filantropi Islam dengan harapan pengelolaan wakaf dapat
berkembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat, serta merupakan
momentum yang sangat strategis dalam upaya pemberdayaaan wakaf.
Oleh sebab itu, dalam Undang-Undang No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf, pemerintah
berupaya memfokuskan perhatiaannya pada penataan administratif wakaf yang
memberi kepastian hukum bagi wakif (pewakaf), nadzir (pengelola) dan maukuf
‘alaih (obyek wakaf) serta mendorong pemanfaatan aset-aset wakaf yang tidak
produktif menjadi berdaya guna dan berhasil guna.
Lebih lanjut, Jaih Mubarok dalam bukunya Wakaf Produktif,
menyebutkan dasar pemikiran atau alasan pembentukan Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 tentang wakaf, sebagai berikut:[2]
- Memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pengembangan dan pengalian potensi yang terdapat dalam pranata keagamaan yang memiliki manfaat ekonomis. Diantara langkah yang dipandang strategis untuk meningkatkan kesejahteraan umum adalah meningkatkan peran wakaf sebagai pranata keagamaan yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai sarana ibadah dan sosial, menjadi pranata yang memiliki kekuatan ekonomi yang diyakini dapat memajukan kesejahteraan umum. Oleh sebab itu, penggalian potensi wakaf dan pengembangan pemanfaatannya sesuai dengan prinsip syariah merupakan keniscayaan.
- Praktik wakaf yang ada sekarang di masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efisien. Salah satu buktinya adalah diantara harta benda wakaf tidak terpelihara dengan baik, terlantar, bahkan beralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keterlantaran dan pengalihan benda wakaf ketangan pihak ketiga terjadi karena: (1) kelalaian atau ketidakmampuan nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf; (2) sikap masyarakat yang kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi sebagai media untuk mencapai kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan peruntukan wakaf.
Sebagaimana penjelasan dari dua alasan tersebut, para penyusun
Undang- Undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf berkeyakinan bahwa pembentukan Undang-Undang
tentang Wakaf merupakan keniscayaan untuk pembangunan hukum nasional
yang juga sebagai alat atau media untuk mencapai kesejahteraan umum.
[1]
Ahmad Djunaidi dan Thobib Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf
Produktif,(Jakarta: Mumtaz Publishing, 2005) hal 57
[2] Jaih
Mubarok, Wakaf Produktif, (Bandung: Simbiosa Rekatama,2008) hal 57