Sejarah Istihsan
Friday, 9 October 2015
Sudut Hukum | Sejarah Istihsan
Awal mula digunakan istihsan adalah ketika ada kasus al-musyarrakah dalam ilmu waris. Kasus ini juga dikenal dengan sebutan al-himariyah.

Jika melihat kaidah umum waris yang berlaku, maka seharusnya saudara sekandung tidak mendapatkan apa-apa, karena sebagai seorang ‘ashabah ia harus menunggu sisa warisan setelah ia dibagi untuk semua ashab al-furudh, yang dalam hal ini suami, ibu dan saudara seibu. Disinilah para sahabat Nabi saw berbeda dalam pendapat :
Pendapat pertama diwakili oleh Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Ibnu Abbas dan Abu Musa radhiyallahuanhum. Mereka berpendapat sesuai kaidah umum waris, yaitu bahwa saudara seibu mendapatkan 1/3 dan saudara sekandung tidak memperoleh apa-apa.
Pendapat kedua diwakili oleh Umar, Utsman, dan Zaid bin Tsabit radhiyallahuanhum. Mereka mengikutsertakan saudara sekandung dalam bagian saudara seibu (1/3). Bagian ini dibagi rata antar mereka. Alasannya karena saudara sekandung memiliki kesamaan jalur hubungan kekerabatan dalam pewarisan ini, yaitu: ibu. Mereka semua berasal dari ibu yang sama, karena itu sepatutnya mendapatkan bagian yang sama.
Jika kita memperhatikan pendapat yang kedua, nampak jelas bagaimana para sahabat yang mendukungnya meninggalkan kaidah umum waris yang berlaku dan menetapkan apa yang berbeda dengannya. Dan dari prosesnya, mungkin tidak terlalu jauh bagi kita untuk mengatakan ini sebagai sebuah istihsan dari mereka.
Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah (w. 150 H). Dimana dalam banyak kesempatan, kata istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan: “Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan Istihsan.”