Hukum Melakukan Perkawinan
Tuesday, 3 November 2015
Sudut Hukum | Hukum Melakukan
Perkawinan
Pada umumnya,
masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan
perkawinan adalah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi oleh pendapat ulama’ Syafi’iyyah.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyyah, Malikiyyah dan Hanabilah, hukum
melangsungkan perkawinan adalah sunnat. Ulama Dzahiriyyah menetapkan hukum
wajib bagi orang muslim untuk melakukan perkawinan sekali seumur hidupnya.[1]
Terlepas dari
pendapat para imam madzhab, berdasarkan nash-nash baik Al Qur’an maupun hadits,
Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang yang mampu untuk melangsungkan
perkawinan. Namun demikian, apabila dilihat dari segi kondisi orang yang
melaksanakan serta tujuan melakukan perkawinan, maka perkawinan dapat dikenakan
hukum wajib, sunnat, mubah, makruh dan haram.
a. Wajib
Perkawinan
diwajibkan bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin
dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya ia tidak
kawin.
b. Sunnat
Orang yang telah
mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau
tidak kawin maka tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan
perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.
c. Mubah
Bagi orang yang
mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan tetapi apabila tidak
melakukannya tidak khawatir berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak
akan menterlantarkan isteri. Perkawinan tersebut hanya didasarkan untuk
memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina
keluarga sejahtera.
Hukum mubah ini
juga ditujukan kepada orang yang antara faktor pendorong dan faktor
penghambatnya sama seperti sudah mempunyai kemauan untuk kawin tetapi belum
memiliki kemampuan atau mempunyai kemampuan tetapi belum mempunyai kemauan yang
kuat untuk melangsungkan perkawinan.
d. Makruh
Perkawinan
hukumnya makruh bagi orang yang mampu memberi nafkah batin namun dia tidak
mampu untuk memberikan nafkah lahir atau sebaliknya dia mampu memberikan nafkah
lahir tetapi tidak mampu memberikan nafkah batin.
e. Haram
Bagi orang yang
tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab
untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila melangsungkan
perkawinan keluarganya akan terlantar dan mengalami penderitaan.
[1]
Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqh, Jilid II, Jakarta
: Departemen
Agama, 1985, hlm. 59