Benarkah RUU Contempt of Court Ancam Demokrasi?
Thursday, 4 February 2016
Sudut Hukum | Benarkah RUU Contempt of Court Ancam Demokrasi?
Draf RUU Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan atau yang lebih
dikenal sebagai RUU Contempt of Court (CoC) sungguh mengagetkan dan menjadi
ancaman sangat serius bagi demokrasi di negeri ini.
RUU tersebut lebih menyerupai produk legislasi yang bersifat
tirani dan bakal mengancam kebebasan pers maupun menjadi racun pembunuh
demokrasi di negeri beradab ini. Tengoklah beberapa ketentuan dalam RUU CoC
tersebut yang dikhawatirkan akan mengubah wajah peradilan yang selama ini masih
terlihat kusam dengan kejadian kasus-kasus korupsi peradilan (judicial
corruption), menjadi berwatak tiran, dan berwajah diktator.
Entah apa yang menjadi latar belakang pemikiran Ikatan Hakim
Indonesia (Ikahi) sehingga sampai menelurkan RUU yang bisa menjadi momok bagi
demokrasi dan berpotensi menebarkan kebencian dari meja hijau yang siap
menyeret para pengkritik peradilan menjadi pesakitan di bui. Setiap orang yang
mengakibatkan terganggunya peradilan diancam pidana enam tahun penjara dan
denda Rp100 juta, demikian yang diatur pada Pasal 17 RUU CoC.
Pasal 19 RUU CoC mengatur bahwa setiap orang yang menghina hakim
atau menyerang integritas atau sifat tidak memihak hakim terancam pidana
maksimal enam tahun penjara dan denda maksimal Rp100 juta. Pasal 24 RUU CoC
mengancam bagi setiap orang yang memublikasikan proses persidangan yang
bertendensi memengaruhi kemerdekaan atau sifat tak memihak hakim dengan ancaman
pidana maksimal 10 tahun penjara atau denda Rp1 miliar.
Ancaman pidana atau denda yang sama juga terdapat pada Pasal 49
RUU CoC terhadap publikasi yang bertendensi dapat memengaruhi penyelenggaraan
peradilan dengan memublikasikan perkara yang sedang berlangsung atau masih
aktif. Bahkan terdapat pengaturan represif yang tak lazim dalam sistem hukumacara yang mengancam saksi yang tidak mau menjawab atau menolak menjawab
pertanyaan dengan ancaman penjara maksimal lima tahun dan dengan maksimal Rp75
juta.
Demikian pula setiap orang yang tak datang sebagai saksi, ahli,
atau juru bahasa atau tidak memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi diancam
dengan penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal Rp7,5 juta.
*** Sejatinya, saat ini sudah ada persebaran ketentuan “Contemptof Court" di beberapa aturan dalam KUHP. Hal itu menunjukkan b a h w a
perlindungan terhadap wibawa hakim sesungguhnya sudah dijamin dalam KUHP.
Dengan demikian, RUU CoC tampaknya tidak mendesak untuk diatur, atau lebih
tepatnya RUU CoC hanya berisi peraturan yang mengatur ulang ketentuan
KUHP.
Ketentuanketentuan dalam RUU tersebut alih-alih dapat
meningkatkan wibawa peradilan, justru bisa terjadi pemberangusan demokrasi yang
kini seharusnya dapat menjadi penopang tegaknya negara hukum demokratis.
Denganmasihbanyaknya perilaku koruptif di lingkungan peradilan yang menyeret
sejumlah hakim maupun panitera dalam kasus-kasus korupsi, RUU CoC justru akan
menjadi perlindungan bagi para koruptor yang bersembunyi di balik toga hakim
maupun seragam panitera peradilan.
RUU CoC justru terkesan paradoks dengan berbagai upaya untuk
menyemaikan kehidupan demokrasi dan akuntabilitas peradilan. Wibawa peradilan
tak perlu dibangun di atas pasal-pasal penebar teror semacam itu, namun
seharusnya dibangun melalui sikap dan perilaku para hakim serta kinerja
peradilan yang sungguhsungguh dapat mewujudkan nilai-nilai keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan bagi para pencari keadilan.
Lembaga peradilan tak perlu membangun “benteng” bagi diri mereka
di tengah masih rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia
peradilan yang dinilai masih sarat dipenuhi praktik-praktik korupsi peradilan
oleh mafia peradilan. Peradilan masih belum dilihat sebagai institusi yang
mampu memberikan solusi keadilan yang mampu menyelesaikan sengketa/konflik di
masyarakat, namun justru masih dilihat sebagai bagian dari permasalahan
struktural yang harus diperbaiki secara serius.
Seluruh larangan yang ada dalam RUU CoC sudah diatur secara
terpisah dalam KUHP yang saat ini berlaku. Seperti Pasal 33 RUU CoC yang
melarang saksi memberikan keterangan tidak benar di muka sidang pidana, padahal
aturan ini sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 242 ayat (2) KUHP dengan
ancaman pidana sembilan tahun penjara.
Tidak terlihat urgensi untuk melanjutkan legislasi RUU CoC yang
justru menjadi bagian dari permasalahan bangsa. Para oknum hakim yang “gatal”
telinganya karena banyaknya kritik atas putusan-putusan aneh yang dihasilkannya
dalam sistem peradilan yang masih sarat dengan berbagai perilaku koruptif
terlihat ingin memaksakan agar RUU CoC tersebut dapat menjadi bagian dari
Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2016.
Hakim yang baik tak perlu takut putusannya dikritik oleh
masyarakat asalkan yang bersangkutan dalam memutuskan sungguh-sungguh
bermahkota keadilan, bukan bermahkota gratifikasi.
*** Hakim yang memutus “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang
Maha Esa” seharusnya bisa menjamin tegaknya negara hukum yang demokratis, bukan
justru sibuk membentengi diri dengan pasalpasal yang berpotensi
mengkriminalisasikan pers maupun pengkritik peradilan.
Setelah sukses melucuti jangkauan kewenangan Komisi Yudisial
dalam mekanisme seleksi para hakim, kini semakin besar keinginan untuk melucuti
jangkauan pengawasan masyarakat terhadap kinerja peradilan dengan menebar
pasal-pasal teror demokrasi dan kebebasan pers. Jika RUU tersebut sampai
diundangkan, dunia peradilan akan semakin terlihat menjadi monster bagi
demokrasi dan tertutup yang bisa mengarah pada pembusukan peradilan.
Alihalih menguatkan independensi hakim, RUU yang sudah ada di
meja DPR itu malah bisa membuat kekuasaan hakim tak terkontrol. Konsep Contemptof Court tidak tepat digunakan dalam konsep peradilan pidana di Indonesia. Di
Indonesia hakim memegang kekuasaan yang begitu besar yaitu hakim sebagai
pengendali utama peradilan, kedudukan jaksa dan terdakwa juga berbeda karena
pembuktian sudah dimulai dari tahapan penyidikan.
Di Indonesia konsep ini tidak dibutuhkan karena hakim memiliki
kekuasaan besar yang tidak perlu ditutup dengan konsep CoC. Dengan RUU CoC ini,
akibatnya, tidak ada satu lembaga atau kekuasaan pun yang dapat melakukan
kontrol terhadap kinerja para hakim dalam menjalankan tugasnya.
Hal yang saat ini diperlukan justru reformasi peradilan dan
perbaikan sistem pengawasan bagi para hakim serta kinerja peradilan dengan
melibatkan kewenanganpengawasanKomisi Yudisial sebagaimana diamanatkan oleh UUD
Negara RI 1945. Konsep Trias Politica menghendaki efektivitas sistem pengawasan
institusi peradilan untuk mewujudkan keadilan sejati dalam mengawasi
pelaksanaan undang-undang oleh lembaga eksekutif.
Hal tersebut hanya dapat diwujudkan jika
institusiperadilanmampumewujudkan asas-asas peradilan baik yang meliputi
asas-asas: tidak memihak, putusan yang adil dan dapat dikontrol pertimbanganhukumnya, tenggang waktu putusan yang layak dan akuntabilitas institusi, maupun
personalia peradilan.
Peradilan yang baik hanya dapat diwujudkan melalui reformasi
peradilan baik secara institusional maupun personal, bukan dengan cara
membangun benteng-benteng perlindungan terhadap serangan pengkritik peradilan
melalui pasal-pasal penebarkebencianyangakanmerusak sistem demokrasi dan
memberangus kebebasan pers. RUU CoC seperti memutar arah reformasi kembali ke
zaman tirani.
Negeri inisaat initelahmemasuki era konsolidasi demokrasi
sebagai buah keberhasilan reformasi politik. Jangan sampai dunia peradilan
justru menjagal keberhasilan pembangunan demokrasi dengan menebar pasal-pasal
teror melalui meja hijau!
*Sindo- DR W Riawan Tjandra SH MHUM Pengajar Senior dan Ketua Bagian Hukum Acara pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta