Sejarah Baitul Maal
Thursday, 11 February 2016
Sudut Hukum | Sebelum islam hadir di tengah-tengah umat manusia, pemerintahan suatu negara di pandang sebagai satu-satunya penguasa kekayaan dan perbendaharaan negara. Dengan demikian, pemerintah bebas mengambil harta kekayaan rakyatnya sebanyak mungkin serta membelanjakannya sesuka hati. Hal ini berarti, sebelum islam datang, tidak ada konsep tentang keuangan publik dan perbendaharaan negara di dunia.
Hingga kini, sudah menjadi asumsi umum bahwa kekayaan yang berlimpah merupakan kunci kesuksesan dan puncak kebesaran dari sebuah pemerintahan di dunia. Oleh karena itu, adalah hal yang lumrah bila pemerintahan dibelahan dunia manapun selalu memberikan perhatian terbesar terhadap masalah pengumpulan dan administrasi penerimaan negara.
Dalam negara islam, tampak kekuasaan dipandang sebagai sebuah amanah yang harus dilaksanakan sesuai dengan perintah Al-Quran. Hal ini telah dipraktikan oleh Rasulullah saw. Sebagai seorang kepala negara secara baik dan benar. Ia tidak menganggap dirinya sebagai seorang raja atau pemerintah dari suatu negara, tetapi sebagai orang yang diberikan amanah untuk mengatur urusan negara.
Berkaitan dengan ini, Rasulullah merupakan kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara pada abad ketujuh, yakni semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dibelanjakan sesuai dengan kebutuhan negara. Status harta hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian, dalam batas-batas tertentu, pemimpin negara dan para pejabat lainnya dapat menggunakan harta tersebut untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Tempat pengumpulan itu disebut sebagai Baitul Mal (rumah harta) atau bendahara negara. Pada masa pemerintahan Rasulullah, Baitul Mal terletak di Masjid Nabawi yang ketika itu digunakan sebagai kantor pusat negara yang sekaligus berfungsi sebagai tempat tinggal Rasulullah. Binatang-binatang yang merupakan harta perbendaharaan negara tidak di simpan di Baitul Mal. Sesuai dengan alamnya, binatang-binatang tersebut ditempatkan di padang terbuka.[1]
Baitul Mal merupakan lembaga keuangan pertama yang ada pada zaman Rasulullah. Lembaga ini pertama kali hanya berfungsi untuk menyimpan harta kekayaan negara dari zakat, infak, sedekah, pajak dan harta rampasan perang. Dan acuan dari perbankan islam bukanlah perbankan konvesional tetapi dari Baitul tamwil[2]. baitul tamwil dan baitul mal sendiri merupakan fungsi utama dari baitul mal wa tamwil.[3]
Harta yang merupakan sumber pendapatan negara di simpan di masjid dalam waktu singkat untuk kemudian di distribusikan kepada masyarakat hingga tidak tersisa sedikit pun. Dalam berbagai kitab hadis dan sejarah, terdapat empat puluh nama sahabat yang jika digunakan istilah modern disebut sebagai pegawai sekretariat Rasulullah. Namun, tidak disebutkan adanya seorang bendaharawan negara. Kondisi yang seperti ini hanya mungkin terjadi di lingkungan yang mempunyai sistem pengawasan yang sangat ketat. Pada perkembangan berikutnya, institusi ini memainkan peran yang sangat penting dalam bidang keuangan dan administrasi negara, terutama pada masa pemerintahan al-Khulafa al-Rasyidun. [4]
Seiring dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahann Umar Ibn Khattab, pendapatan negara mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Hal ini memerlukan perhatiann khusus untuk mengelolanya agar dapat dimanfaatkan secara benar, efektif dan efisien. Setelah melakukan musyawarah dengan para pemuka sahabat, khalifah Umar Ibn Khattab mengambil keputusan untuk tidak menghabiskan harta baitul mal sekaligus, tetapi dikeluarkannya secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ada, bahkan di antaranya disediakan dana cadangan. Cikal bakal lembaga Baitul Mal yang teah dicetuskan dan difungsikan oleh Rasulullah Saw. Dan diteruskan oleh Abu Bakar As-Shiddiq, semakin dikembangkan fungsinya pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Khattab sehingga menjadi lembaga yang reguler dan permanen. Pembangunan institusi Baitul mal yang dilengkapi dengan sistem adminitrasi yang tertata baik dan rapih merupakan kontribusi terbesar yang diberikan oleh khalifah Umar Ibn Khattab kepada dunia islam dan kaum muslimin.
Dalam catatan sejarah, pembangunan institusi Baitul Mal dilatarbelakangi oleh kedatangan Abu Hurairah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur Bahrain dengan membawa harta hasil pengumpulan pajak al-kharaj sebesar 500.000 dirham. Hal ini terjadi pada tahun 16 H. Oleh karena jumlah tersebut sangat besar, Khalifah Umar mengambil inisiatif memanggil dan mengajak bermusyawarah para sahabat terkemuka tentang penggunaan dana Baitul Mal tersebut. Setelah melalui diskusi yang cukup panjang, khalifah Umar memutuskan untuk tidak mendistribusikan harta Baitul mal, tetapi disimpan sebagai cadangan, baik untuk keperluan darurat, pembayaran gaji para tentara maupun berbagai kebutuhan umat lainnya.
Secara tidak langsung Baitul mal berfungsi sebagai pelaksana kebijakan fiskal negara Islam dan khalifah merupakan pihak yang berkuasa penuh terhadap harta Baitul Mal. Namun demikian, Khalifah diperbolehkan menggunakan harta Baitu mal untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini, tunjangan Umar sebagai khalifah untuk setiap tahunnya adalah tetap yakni sebesar 5000 dirham, dua stel pakaian yang masing-masing untuk musim panas dan musim dingin serta seekor binatang tunggangan untuk menunaikan ibadah haji.
Dalam hal penditribusian harta Baitul Mal, sekalipun berada dalam kendali dan tanggung jawab, para pejabat Baitul Mal tidak mempunyai wewenang dalam membuat suatu keputusan terhadap harta baitul mal yang berupa zakat dan Ushr. Kekayaan negara tersebut ditujukann untuk berbagai golongan tertentu dalam masyarakat dan harus dibelanjakan sesuai dengan prinsip-prinsip Al-Qur’an.
Harta Baitul Mal dianggap sebagai harta kaum muslimin, sedangkan Khalifah dan para amil hanya berperan sebagai pemegang amanah. Dengan demikian, negara bertanggung jawab untuk menyediakan makanan bagi para janda, anak-anak yatim, serta anak-anak terlantar, membiayai penguburan orang-orang miskin, membayar utang orang-orang yang bangkrut; membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu.
Khalifah umar ibn khattab menerapkan prinsip keutamaan dalam mendistribusikan harta Baitul Mal. Ia berpendapat bahwa kesulitan yang dihadapi umat islam harus diperhitungkan dalam menetapkan bagian seseorang dari harta negara dan karenanya, keadilan menghendaki usaha seseorang serta tenaga yang telah dicurahkan dalam memperjuangkan Islam harus dipertahankan dan dibalas dengan sebaik-baiknya. [5]
____________
[1]Adiwarman Azhar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi 3 (cet. 4; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2010), h. 51-53.
[2]Nurul Huda dan mohamad Heykal, lembaga keuangan islam, Edisi 1 (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h.25.
[3] Andri Soemitra, Bank & Lembaga Keuangan Syariah, (cet. 1; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), h.451.
[4]Adiwarman Azhar Karim, loc. Cit.
[5]Ibid, h.59