Biografi Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi)
Wednesday 16 March 2016
Sudut Hukum | Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80
Hijriah (696 M) dan meninggal di Kufah pada tahun 150 Hijriah (767 M). Abu
Hanifah hidup selama 52 tahun dalam masa Amawiyah dan 18 tahun dalam masa
Abbasi. Maka segala daya pikir, daya cepat tanggapnya dimiliki di masa Amawi,
walaupun akalnya terus tembus dan ingin mengetahui apa yang belum diketahui,
istimewa akal ulama yang terus mencari tambahan. Apa yang dikemukakan di masa
Amawi adalah lebih banyak yang dikemukakan di masa Abbasi.[1]
Nama beliau dari kecil ialah Nu’man bin
Tsabit bin Zauta bin Mah. Ayah beliau keturunan dari bangsa persi
(Kabul-Afganistan), tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke
Kufah. Oleh karena itu beliau bukan keturunan bangsa Arab asli, tetapi dari
bangsa Ajam (bangsa selain bangsa arab) dan beliau dilahirkan di tengah-tengah
keluarga berbangsa Persia.[2]
(Baca juga: Kitab rujukan Utama Mazhab Hanafi)
Bapak Abu Hanifah dilahirkan dalam Islam.
Bapaknya adalah seorang pedagang, dan satu keturunan dengan saudara Rasulullah.
Neneknya Zauta adalah suku (bani) Tamim. Sedangkan ibu Hanifah tidak dikenal
dikalangan ahli-ahli sejarah tapi walau bagaimanapun juga ia menghormati dan
sangat taat kepada ibunya.
Dia pernah membawa ibunya ke
majlis-majlis atau perhimpunan ilmu pengetahuan. Dia pernah bertanya dalam
suatu masalah atau tentang hokum bagaimana memenuhi panggilan ibu. Beliau
berpendapat taat kepada kedua orang tua adalah suatu sebab mendapat petunjuk
dan sebaliknya bias membawa kepada kesesatan.[3]
(Baca juga: Negara-negara Penganut Mazhab Hanafi)
Pada masa beliau dilahirkan, pemerintah
Islam sedang di tangan kekuasaan Abdul Malik bin Marwan (raja Bani Umayah yang
ke V) dan beliau meninggal dunia pada masa Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur. Abu
Hanifah mempunyai beberapa orang putra, diantaranya ada yang dinamakan Hanifah,
maka karena itu beliau diberi gelar oleh banyak orang dengan Abu Hanifah. Ini
menurut satu riwayat.
Dan menurut riwayat yang lain: sebab
beliau mendapat gelar Abu Hanifah karena beliau adalah seseorang yang rajin
melakukan ibadah kepada Allah dan sungguh-sungguh mengerjakan kewajiban dalam
agama. Karena perkataan “hanif” dalam bahasa arab artinya “cenderung
atau condong” kepada agama yang benar. Dan ada pula yang meriwayatkan, bahwa
beliau mendapat gelar Abu Hanifah lantaran dari eratnya berteman dengan “tinta”.
Karena perkataan “hanifah” menurut lughot Irak, artinya “dawat atau tinta”.
Yakni beliau dimana-mana senantiasa membawa dawat guna menulis atau mencatat
ilmu pengetahuan yang diperoleh oleh para guru beliau atau lainnya. Dengan
demikian beliau mendapat gelar dengan Abu Hanifah.[4]
Setelah Abu Hanifah menjadi seorang ulama
besar, dan terkenal disegenap kota-kota besar, serta terkenal di sekitar
Jazirah Arabiyah pada umumnya, maka beliau dikenal pula dengan gelar: Imam Abu
Hanifah. Setelah ijtihad dan buah penyelidikan beliau tentang hukum-hukum keagamaan
diakui serta diikut oleh banyak orang dengan sebutan “Mazhab Imam Hanafi”.[5]
Ciri-ciri Abu Hanifah yaitu dia
berperawakan sedang dan termasuk orang yang mempunyai postur tubuh ideal,
paling bagus logat bicaranya, paling bagus suaranya saat bersenandung dan
paling bisa memberikan keterangan kepada orang-orang yang diinginkannya
(menurut pendapat Abu Yusuf). Abu Hanifah berkulit sawo matang dan tinggi
badannya, berwajah tampan, berwibawa dan tidak banyak bicara kecuali menjawab
pertanyaan yang dilontarkan. Selain itu dia tidak mau mencampuri persoalan yang
bukan urusannya (menurut Hamdan putranya).[6]
Abu Hanifah suka berpakaian yang baik-baik
serta bersih, senang memakai bau-bauan yang harum dan suka duduk ditempat duduk
yang baik. Lantaran dari kesukaannya dengan baubauan yang harum, hingga dikenal oleh orang
ramai tentang baunya, sebelum mereka melihat kepadanya. Abu Hanifah juga amat
suka bergaul dengan saudara-saudaranya dan para kawan-kawannya yang baik-baik,
tetapi tidak suka bergaul dengan sembarangan orang. Berani menyatakan sesuatu
hal yang terkandung didalam hati sanubarinya, dan berani pula menyatakan
kebenaran kepada siapa pun juga, tidak takut di cela ataupun dibenci orang, dan
tidak pula gentar menghadapi bahaya bagaimanapun keadaannya.
Diantara kegemaran Abu Hanifah adalah
mencukupi kebutuhan orang untuk menarik simpatinya. Sering ada orang lewat,
ikut duduk di majlisnya tanpa sengaja. Ketika dia hendak beranjak pergi, ia
segera menghampirinya dan bertanya tentang kebutuhannya. Jika dia punya
kebutuhan, maka Abu Hanifah akan memberinya. Kalau sakit, maka akan ia antarkan.
Jika memiliki utang, maka ia akan membayarkannya sehingga terjalinlah hubungan
baik antara keduanya.[7]
[1] Moenawir Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1955), Cet. ke-9, h. 19.
[2] Ibid.
[3] Ahmad Asy-Syurbasi, al-Aimatul Arba’ah, Penerjemah Sabil Huda dan Ahmadil, Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), Cet. ke-3, h. 15.
[4] Moenawir Chalil, op. cit., h. 20
[5] Ibid.
[6] Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam as-Salaf, Penerjemah Masturi Ilham dan Asmu’i Taman, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al- Kausar, 2007), Cet. ke-2, h. 170.
[7] Hendri Andi Bastoni, 101 Kisah Tabi’in, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2006), Cet. ke-1, h. 46.