Problematika Hukum dalam Pembatalan Perkawinan
Friday, 22 April 2016
SUDUT HUKUM | Pisahnya
suami isteri akibat fasakh berbeda dengan yang diakibatkan oleh talak.
Sebab talak ada talak ba’in dan talak raj’i. Talak raj’i tidak mengakhiri ikatan
suami isteri dengan seketika. Sedang talak ba’in mengakhirinya seketika itu
juga.
Adapun fasakh,
baik karena hal-hal yang datang belakangan ataupun karena adanya
syarat-syarat yang tidak terpenuhi, maka ia mengakhiri ikatan pernikahan
seketika itu.
Akibat
hukum dari pembatalan perkawinan juga diatur dalam Undang- Undang No. 1 tahun
1974 pasal 28 sebagai berikut:
Pasal 28
(2)
Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
(3)
Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
a.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
b. Suami
atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu;
c.
Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Adapun
juga pengaturan akibat hukum dari pembatalan perkawinan terdapat dalam KHI
pasal 75 dan 76 adalah sebagai berikut:
Pasal 75
Keputusan
pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a.
Perkawinan yang batal karena salah satu dari suami isteri murtad.
b.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
c. pihak
ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76
Batalnya
suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hokum antara anak dengan orang
tuanya.
Dari
beberapa akibat pembatalan perkawinan yang terurai dalam Undang- Undang No. 1
Tahun 1974 pasal 28 dan KHI pasal 75 dan 76 di atas, menunjukkan bahwasannya
pembatalan perkawinan itu ada dua akibat hokum yakni, berlaku surut dan tidak
diberlakukan surut. Pertama, hal yang diberlakukan surut dalam hal pembatalan
perkawinan adalah dari waktu pembatalan perkawinan itu sendiri diberlakukan
surut yang artinya perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Sedangkan
akibat hukum pembatalan perkawinan yang kedua, yakni tidak diberlakukan surut
dalam hal ini ada beberapa poin, yang pertama adalah anakanak yang dilahirkan
dari perkawinan tersebut, meskipun telah terjadi pembatalan perkawinan, akibat
hukumnya jangan sampai menimbulkan kerugian dan kesengsaraan bagi anak-anak
yang lahir dari perkawinan tersebut.
Dengan demikian
jelaslah pembatalan perkawinan tidak berpengaruh terhadap status anak yang
telah mereka lahirkan. Kedua, akibat hukum pembatalan perkawinan diberlakukan
surut terhadap suami atau isteri yang murtad hal itu diatur dalam KHI. Dan yang
ketiga antara KHI dan undang-undang perkawinan maknanya sama yaitu, pihak
ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum
keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dan akibat
hukum yang keempat diatur dalam undang-undang perkawinan pasal 28 (b) suami
atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama
bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih
dahulu.
Dari
beberapa akibat pembatalan perkawinan di atas dalam pasal 28 (b) hanya
menyinggung sedikit soal harta bersama yang diberlakukan surut, dengan alasan
karena adanya perkawinan sebelumnya yang lebih dulu. Namun bagaimana jika tidak
ada alasan adanya perkawinan terdahulu, apakah harta bersama tersebut tetap ada
sebagai akibat hukum dari pembatalan perkawinan. Dalam hal ini belum ada
peraturan yang membahas secara terperinci perihal harta bersama sebagai akibat
hukum dari sebuah perkawinan yang dibatalkan, apakah harta bersama sebagai
akibat hukum pembatalan perkawinan tidak diberlakukan surut ataukah
diberlakukan surut yang berati harta bersama itu dianggap tidak ada. Maka
dengan begitu perlu kita menggunakan beberapa teori pemahaman hukum agar bisa
menafsirkan maksud dari undang-undang, terutama dalam undang-undang perkawinan
pasal 28 tentang akibat hukum dari pembatalan perkawinan.