Qiyas Menurut Imam Syafi’i
Wednesday, 6 July 2016
SUDUT HUKUM | Sesungguhnya qiyas atau ra’yu bukanlah suatu hal yang baru pada masa
Syafi’i. Qiyas telah dikenal dan digunakan sejak masa awal oleh sahabat.
Pokok pikiran Syafi’i mengenai qiyas adalah:
- Bahwa setiap kasus yang terjadi oleh umat islam pasti ada hukumnya, meskipun idak dinyatakan secara tegas, pasti ada petunjuk kearahnya dan hukum dapat dicari dengan ijtihad, yaitu qiyas.[1]
- Pengetahuan yang diperoleh dari qiyas adalah benar secara dhahir dan hanya berlaku bagi yang menemukannya.[2]
- Qiyas itu ada dua tingkatan : sesuatu yang diqiyaskan itu tercakup oleh pengertian ashl sehingga tidak ada perbedaan dalam mengqiyaskannya dan sesuatu itu mempunyai kesamaan dengan beberapa ashl, yaitu dengan mengqiyaskan kepada ashl yang paling mirip, namun orang mungkin akan berbeda pendapat dalam menentukannya.[3]
- Hukum masalah yang tidak ada nashnya haruslah dicari dengan qiyas.[4]
- Jika terjadi perbedaan pendapat, para mujtahid harus mengamalkan pendapatnya masing-masing.[5]
- Sekalipun tidak mampu mendapatkan kebenaran sesungguhnya, orang tetap tidak boleh bertindak hanya berdasar ra’yu semata tanpa dalil.[6]

Dalam berbagai uraiannya, Syafi’i menggunakan qiyas dan ijtihad secara
bergantian dan menegaskan bahwa kedua kata itu adalah dua nama bagi satu makna.[7]
Syafi’i mengambil dan atau mendatangkan hukum qiyas dengan cara:
Baca Juga
- Hanya yang mengenai urusan keduaniaan atau muamalat saja.
- Hanya yang hukumnya belum atau tidak didapati dengan jelas dari nash.
- Cara dalam mengqiyas adalah dengan nash yang tertera didalam.[8]
[1] Al-Syafi’i, Al Risalah. Hlm 447
[2] Ibid, hlm 479
[3] Ibid, hlm 479
[4] Ibid, hlm 483
[5] Ibid, hlm 498
[6] Ibid, hlm 503
[7] Ibid, hlm. 477
[8] M. Ali Hasan, Op cit, hlm. 209-210_