Al-Qur’an dan Sunnah dalam Pandangan Imam Syafi'i
Thursday, 7 July 2016
SUDUT HUKUM | Al-Qur’an dan Sunnah dalam Pandangan Imam Syafi'i.
Al-Qur’an
Syafi’i memandang bahwa al-kitab merupakan sumber dari segala sumber
syari’at, tempat memancarnya sumber lain, tempat dipetiknya pokokdan cabang
dari ajaran syariat islam.
Dari sudut pandang demikian, maka al-kitab merupakan kully syari’ah
(prinsip dasar dari seluruh ajaran syariat agama). Keseluruhan syari’at islam
yang terkandung dalam al-kitab dapat dipahami dari yang tersurat dan tersirat (melalui pengamatan atau penalaran) ataupun dijelaskan oleh sunnah Rasul.

Karena Al-Qur’an diturunkan kepada Muhammad, maka bahasanya adalah
bahasa Arab meskipun berlaku bagi umat sedunia.
Menurutnya pula alasan menggunakan bahasa arab disebabkan bahasa
arab itu bahasa yang kaya dan sangat luas kosa katanya dibandingkan bahasa
lain, aneka macam arti ditemukan dalam satu kata, demikian pula sebaliknya.
Al-Sunnah
Arti sunnah yang biasa disebutkan dalam Al-Risalah dengan
"Khabar" secara lughawi berarti jalan, jalan setiap orang adalah
suatu yang biasa dilakukan dan senantiasa terpelihara, baik terpuji atau tidak.
Dalam istilah syara' adalah sesuatu yang berasal dari nabi yang berbentuk
dalil Syar’i yang tidak dibaca dan tidak mempunyai daya mu'jizat, termasuk
didalamnya ucapan nabi, perbuatan dan pengakuannya. Sunnah berbeda dengan
tradisi dan Syafi’i hanya mengakui sunnah nabi sejauh yang
dinyatakan dalam tradisi dan bersumber dari nabi.
Syafi’i menegaskan bahwa sunnah merupakan hujjah yang wajib diikuti
sama dengan al-Qur’an.
Sejalan dengan pandangannya tentang kokohnya kedudukan sunnah, Syafi’i
menegaskan bahwa bila telah ada hadits yang shahih dari Rasul, maka dalil yang
berupa perkataan orang lain tidak diperlukan lagi.
Fungsi sunnah terhadap Al-Qur’an:
- Sebagai tuntunan yang telah diatur dalam al-Qur’an.
- Sebagai penjelasan berupa rincian atau batasan atas hukum Al-Qur’an.
- Sebagai tambahan, mengatur hukum yang tidak diatur dalam Al-Qur’an.
Syarat-syarat Hadits Shahih:
- Sanadnya bersambung kepada nabi.
- Perawinya tsiqah dalam keagamaan dan selalu berbicara benar.
- Perawinya mengerti makna hadits.
- Riwayatnya selalu sesuai dengan riwayat para ahli.
- Perawi tidak melakukan tadlis, tidak meriwayatkan dari seseorang kecuali hadits yang benar-benar dari orang tersebut
- Persyaratan harus terpenuhi setiap tingkatan dalam jalur periwayatan hadits tersebut.
Rujukan:
- Dr.H. Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam ; Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi'I, (Jakarta; Pedoman Ilmu jaya, 1996)
- DR. Lahmuddin Nasution, Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi'I, (Bandung ;PT. Remaja Rosdakarya, 2001)
- Prof. DR. Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang:Angkasa Raya, cet ke-2, 1993), hlm. 58
- Imam Syafi'I, Al-Umm, jld VII,
- Imam Syafi'I, Al-Risalah,