Metode Istimbath Hukum Imam Abu Hanifah
Tuesday, 9 August 2016
SUDUT HUKUM | Dalam
memecahkan suatu masalah, Imam Abu Hanifah menggunakan beberapa
metode dalam beristimbath, yaitu mengambil Kitabullah sebagai sumber
pokok, sunnah Rasulullah SAW. dan asar-asar yang sahih dan tersiar di kalangan
orang-orang yang terpercaya, pendapat para sahabat yang dikehendaki atau
meninggalkan pendapat mereka yang dikehendaki (apabila urusan itu sampai
kepada Ibrahim, asy-Sya’bi, Hasan, Ibnu sirin dan Sa’id bin Musayyab, maka
beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad), juga menggunakan ijma’, qiyas,
istihsan dan ‘urf. Untuk lebih jelasnya akan dibahas berikut ini:
1. Al-Kitab (al-Qur'an)
Al-Qur'an
adalah kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad
SAW. yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan sumber
hukum tidak kembali kecuali kepada keaslian penetapan al-Qur'an. Menurut
al-Bazdawi, Abu Hanifah menetapkan al-Qur'an adalah lafal dan maknanya.
Sedang menurut as-Sarakhsi, al-Qur'an dalam pandangan Abu Hanifah
hanyalah makna, bukan lafal dan makna.
2. As-Sunnah
As-sunnah
adalah penjelas bagi kitab Allah yang masih mujmal dan merupakan
risalah yang diterima oleh Nabi dari Allah SWT. yang disampaikan
oleh kaumnya yang yakin dan barang siapa yang tidak mengambilnya,
maka dia tidak percaya terhadap penyampaian risalah Nabi dari
Tuhannya.
Ulama
Hanafiyah menetapkan bahwa sesuatu yang ditetapkan dengan al-Qur'an
yang qath’i dalalahnya dinamakan fardu, sesuatu yang ditetapkan oleh
as-Sunnah yang danny dalalahnya, dinamakan wajib. Demikian pula yang
dilarang, tiap-tiap yang dilarang oleh al-Qur'an dinamakan haram dan tiap-tiap
yang dilarang oleh Sunnah dinamakan makruh tahrim.
Ulama
hadits dan ulama ushul membagi hadits kepada:
- Mutawatir
Mutawatir
yaitu hadits yang diriwayatkan secara bersambung oleh orang banyak
yang tidak mungkin sepakat berdusta. Hadits
mutawatir memberi pengertian yakin. Jumhur ulama menetapkan bahwa
Abu Hanifah berhujjah dengan hadits mutawatir.
- Masyhur
Hadits
masyhur ada yang memasukkannya ke dalam bagian hadits ahad. Hadits
masyhur tidak memfaedahkan selain dari dhanni tetapi dapat diamalkan.
Sebagian yang lain menetapkan bahwa hadits masyhur adalah memberi
faedah dan tidak memberi faedah yakin.
- Ahad
Hadits
Ahad menurut asy-Syafi’i dan ulama semasanya adalah yang tidak terdapat
padanya syarat-syarat mutawatir atau masyhur. Jumhur fuqaha menerima
hadits ahad yang diriwayatkan oleh orang yang adil, yang dijadikan
hujjah dalam bidang amali, tidak dalam bidang ilmu atau i’tiqadi.
Abu Hanifah mengamalkan hadits ahad, meninggalkan pendapat yang
berlawanan dengan hadits ahad itu. Sedang syarat-syarat Abu Hanifah
menerima hadits ahad adalah perawinya yang afqah atau mendahulukan
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang afqah atas hadits
yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak afqah.
Sedangkan
menurut mazhab Hanafi, hadits ahad dapat dijadikan landasan hukum
apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Hadits ahad tersbeut tidak menyalahi makna lahiriyah ayat al-Qur'an.
- Hadits ahad itu tidak menyalahi hadits masyhur menyangkut masalah yang sama.
- Hadits ahad itu tidak bertentangan dengan qiyas dan kaidah-kaidah umum syari’at Islam apabila periwayatan hadits itu bukan seorang faqih.
- Hadits ahad tersebut tidfak menyangkut kepentingan orang banyak.
- Hadits ahad itu bertentangan dengan amal dan atau fatwa sahabat yang meriwayatkannya.
Abu
Hanifah dalam menanggapi hadits ahad, ada yang diterima apabila
tidak berlawanan dengan qiyas, jika berlawanan dengan qiyas yang
illatnya mustambat dari sesuatu asal yang danni atau istimbathnya danni
walaupun dari asal yang qath’i atau diistimbathkan dari asal yang qath’i,
tetapi penerapannya kepada furu’ adalah danni, maka didahulukanlah
hadits ahad atas qiyas.
Adapun
jika hadits ahad ditentang oleh asal yang umum qath’i, penerapannya
qath’i pula, maka Abu Hanifah melemahkan hadits, tidak menerimanya
dan menetapkan hukum berdasarkan pada kaedah yang umum
itu.
- Mursal
Hadits
mursal ialah hadits yang tidak disebut nama sahabi oleh tabi’i yang meriwayatkannya,
seperti dikatakan oleh seorang tabi’i, “Bersabdalah Nabi
…. ” Sesungguhnya Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal sebagai
hujjah, karena tabi’i kepercayaan yang diterima haditsnya oleh Imam
Abu Hanifah, menegaskan kepadanya bahwa mereka tidak menyebutkan
nama sahabi yang memberi hadits kepada mereka apabila yang
memberi itu empat orang sahabat.
Jadi,
Imam Abu Hanifah menerima as-Sunnah yang diriwayatkan oleh orang
kepercayaan dan meletakkan hadits-hadits ahad sesudah al-Qur'an. Apabila
hadits-hadits ahad berlawanan dengan kaidah umum, yang telah diijma’i
oleh para ulama, Imam Abu Hanifah menolak hadits-hadits itu dengan
dasar tidak membenarkan bahwa Nabi SAW. ada mengatakannya.
3. Aqwalus-sahabah (fatwa sahabi)
Abu
Hanifah menerima pendapat sahabat dan mengharuskan umat Islam
mengikutinya. Jika ada suatu masalah ada beberapa pendapat sahabat, maka
beliau mengumpulkan salah satunya. Jika tidak ada pendapat sahabat pada
suatu masalah, beliau berijtihad, tidak mengikuti pendapat para tabi’in. tetapi
pada dasarnya Abu Hanifah mendahulukan fatwa sahabat daripada qiyas.
4. Al-Ijma’
Ijma’
adalah sesuatu yang dapat dijadikan hujjah. Ijma’ merupakan kesepakatan
para mujtahidin dari masa ke masa untuk menentukan suatu hukum
dan telah disepakati para ulama untuk dijadikan hujjah, tetapi ada perselisihan
dalam wujudnya setelah masa sahabat dan Imam Ahmad telah mengingkarinya
setelah masa sahabat untuk tidak menyepakatinya dan tidan mungkin
ada kesepakatan fuqaha setelah masa sahabat.
Imam
Abu Hanifah menurut penegasan ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’
menjadi hujjah. Ulama Hanafiyah menerima ijma’ qauli dan sukuti. Juga
menetapkan bahwa tidak boleh mengadakan hukum baru terhadap sesuatu
urusan yang diperselisihkan dari masa ke masa atas dua pendapat saja.
Mengadakan fatwa baru dipandang menyalahi ijma’. Dalam kitab al-Manakib
diterangkan bahwa Abu Hanifah mengambil hukum yang diijtma’i oleh
mujtahidin, tidak mau menyalahi yang telah disepakati oleh ulamaulama Kufah.
5. Qiyas
Abu
Hanifah apabila tidak menemukan nas dalam kitabullah dan sunnatur
Rasul dan tidak menemukan pada fatwa sahabi, maka beliau berijtihad
untuk mengetahui hukum. Beliau menggunakan qiyas, kecuali apabila
tidak baik memakainya dan tidak sesuai dengan apa yang dibiasakan masyarakat.
Jika tidak baik dipakai qiyas, beliau menggunakan istihsan. Qiyas yang
dipakai Abu Hanifah ialah yang dita’rifkan dengan : “Menerangkan hukum
sesuatu urusan yang dinaskan hukumnya dengan suatu urusan lain yang
diketahui hukumnya dengan al-Qur'an atau as-Sunnah atau al-Ijma’ karena
bersekutunya dengan hukum itu tentang illat hukum.”
Pada
dasarnya Abu Hanifah banyak memakai qiyas, karena ia memperhatikan
hukum-hukum bagi masalah-masalah yang belum terjadi dan hukum-hukum
yang akan terjadi, lantaran itu ia mengitimbathkann illat yang menimbulkan
hukum tersebut dan memperhatikan maksud-maksud yang menyebabkan
Nabi menyebutkan suatu hadits. Abu hanifah tidak mencukupkannya
dengan tafsir dahiri, beliau meloihat lebih jauh kepada maksud
dan isyarat-isyarat perkataan.
Abu Hanifah mengistimbathkan aneka macam
illat hukum lalu menta’rifkan cabang-cabang hukum bagi perbuatan-perbuatan
yang tidak diperoleh nas, illat itulah yang dipandang dasar untuk menetapkan
hukum bagi hal-hal yang tidak diperoleh nas. Jika hadits sesuai dengan
hukum yang telah ditarik dengan jalan mempelajari illat, bertambah kukuhlah
kepercayaannya, dan jika hadits itu diriwayatkan oleh orang kepercayaan,
Abu Hanifah mengambil hadits meninggalkan qiyas. Kadangkadang hukum
yang diistimbathkan dengan illat sesuai dengan hadits.
Hal ini bukanlah
berarti mendahulukan qiyas atas hadits. Apabila qiyas tidak dapat dilakukan
karena berlawanan dengan hadits, maka Abu Hanifah pun meninggalkan
qiyas, mengambil istihsan. Pokok pegangan dalam menggunakan
qiyas ialah bahwa hukum syara’ ditetapkan untuk kemaslahatan manusia,
baik di dunia maupun di akhirat. Namun demikian, hukum-hukum syara’
yang berpautan dengan ibadah tidak dapat akal menyelami illatnya.
Maka
dari itu Abu Hanifah membagi nas dalam dua bagian, yaitu :
- Nusus Ta’abudiyah, yang tidak dibahas illatnya. Pada nas-nas ini tidak dilakukan qiyas, karena tidak dibahas illatnya walaupun diyakini ibadahibadah itu disyari'’tkan Allah untuk kemaslahatan manusia.
- Nas-nas yang dibahas illatnya dan ditetapkan hukum berdasarkan illat itu.
Nas-nas
ini adalah nas-nas yang mu’allal, dipelajari illatnya dan maksudnya,
sebabnya dan gayahnya dan padanya berlaku qiyas. Ulama
Hanafiyah mensyaratkan pada qiyas adalah hukum asal, bukan hukum
yang dikhususkan untuk suatu hukum saja, dan nas bukanlah yang dipalingkan
dari qiyas, yakni qiyas yang menyalahi illat yang umum yang ditetapkan
syara’ sendiri. Abu Hanifah berpegang pada umum illat kecuali
apabila berlawanan dengan ‘urf masyarakat, maka Abu Hanifah meninggalkan
qiyas dan mengambil istihsan.
Lantaran Abu Hanifah menggunakan
illat, maka ia terkenal sebagai imam yang memegang ra’yu,
bukan imam yang memegang asar dan terkenallah keahliannya dalam
bidang qiyas, walaupun ia juga seorang imam sunni.
6. Istihsan
Istihsan
secara bahasa adalah memandang dan meyakini baiknya sesuatu.
Istihsan adalah salah satu metode ijtihad yang dikembangkan ulama mazhab
Hanafi ketika hukum yang dikandung metode qiyas (analogi) atau kaidah
umum tidak diterapkan pada suatu kasus.
Macam-macam
istihsan menurut ulama mazhab Hanafi, yaitu:
- Al-Istihsan bi an-nas (istihsan berdasarkan ayat atau hadits)
- Al-Istihsan bi al-ijma’ (istihsan yang didasarkan pada ijma’)
- Al-Istihsan bi al-qiyas al-khafi (istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi)
- Al-Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan)
- Al-Istihsan bil al-‘urf (istihsan berdasar adat kebiasaan yang berlaku umum).
- Al-Istihsan bi ad-daruriyah (istihsan berdasarkan keadaan darurat).
7. ‘Urf
‘Urf
adalah pendapat muslimin atas suatu masalah yang tidak terdaat di
dalamnya nas dari al-Qur'an atau Sunnah atau pendapat sahabat, maka dari itu
‘urf dapat dijadikan hujjah.
‘Urf
dibagi dua :
- ‘Urf sahih, yaitu ‘urf yang tidak menyalahi nas.
- ‘Urf fasid, yaitu ‘urf yang menyalahi nas.
Dari
dua ‘urf yang dapat dijadikan hujjah adalah ‘urf sahih.
Imam
Abu Hanifah mengamalkan ‘urf bila tidak dapat menggunakan qiyas
atau istihsan. Ulama Hanafiyah mengemukakan ‘urf terhadap masalah-masalah yang
tidak ada nashnya, mereka mentakhishkan nas-nas yang umum jika
menyalahi ‘urf umum. Jika qiyas meyalahi ‘urf, mereka mengambil ’urf. Begitu
pula mereka mengambil ‘urf khas dikala tidak ada dalil yang menyalahinya.
Rujukan:
- Prof. DR. Teungku Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Mazhab, Cet. Ke-1, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.
- Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah, Juz II, Darul Fikri al-Arabi, Beirut, tt.