Pengertian dan Dasar Hukum Majelis Syura
Sunday, 7 August 2016
SUDUT HUKUM | Mahkamah Partai Politik dalam partai politik
Islam disepadankan dengan majelis syura dimana berfungsi sebagai
majelis tertinggi untuk menyelesaikan konflik suatu partai dengan cara
musyawarah. Secara umum dikatakan bahwa kata syura memiliki banyak
pengertian, dari asal kata syura dibentuk. Kata syura berasal dari akar kata sya-wa-ra, yang secara etimologi
berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.
Sejalan dengan pengertian ini, kata syura atau dalam bahasa Indonesia menjadi ‚musyawarah‛ mengandung makna
segala sesuatu yang dapat diambil atau dikeluarkan dari yang lain (termasuk
pendapat) untuk memperoleh kebaikan. Hal ini semakna dengan pengertian lebah yang
mengeluarkan madu yang berguna bagi manusia.
Fazlur Rahman mengatakan bahwa kata Syura berasal dari kata kerja syawara-yusyawiru yang berarti menjelaskan, menyatakan atau mengajukan dan mengambil
sesuatu. Syawara adalah tasyawara bermakna berunding, saling
bertukar pendapat, syawir yang artinya meminta pendapat atau musyawarah.
Syura atau musyawarah adalah menjelaskan perkara yang ada, menyatakan
atau mengajukan pendapat dan akhirnya diambil satu keputusan. Dapat dikatakan
bahwa syura atau musyarawah itu adalah bertukar pendapat,
yang akhirnya menghasilkan suatu ide dan menghasilkan satu keputusan bersama
lewat musyawarah.
Dengan demikian secara tidak langsung berarti
memilih ide-ide terbaik dengan cara mengumpulkan sejumlah orang yang memiliki argumentasi,
pengalaman, kecanggihan dalam berpendapat, serta syarat lain yang bisa
memberikan pendapat yang tepat dan keputusan yang benar. Ibn al-Arabi pun
mengatakan, bahwa musyawarah adalah pertemuan guna membahas permasalahan,
masing-masing mereka saling bermusyawarah dan mengemukakan pendapat.
Syura atau pengambilan pendapat dalam Islam adalah salah satu konsepsi
politik diantara konsepsi-konsepsi yang akarnya menancap kuat ditengah
masyarakat Islam, dan menjadi keistimewaan system pemerintahan Islam dari
sistem-sistem pemerintahan selain Islam. Syura telah menjaga
eksistensinya dalam kehidupan politik Islam, untuk mengokohkan hubungan antara
penguasa dengan rakyatnya. Dalam bentuk kekontinuan merujuk penguasa kepada
rakyat untuk melahirkan keputusan-keputusan politik yang menjadi kepentingan
masyarakat luas, yang berangkat dari kesadaran, kematangan dengan pemikiran
kaidahkaidah umum bagi umat Islam.
Secara garis besar pengertian syura adalah sebuah proses pengambilan keputusan atau perumusan dalam
menyelesaikan masalah atau membentuk sebuah peraturan hukum yang berdasarkan
pengumpulan ide-ide atau gagasan dari berbagai pihak yang saling berkaitan yang
didasari tuntutan atau kidah yang terdapat pada al-Qur’an dan as-Sunah, demi
tercapainya sebuah kesepakatan dan demi kemaslahatan bersama.
Dasar Hukum Majelis Syura
Al-Qur’an merupakan suatu landasan yang berisi
petunjuk dan bimbingan etik serta moral dalam kehidupan manusia. Walaupun al-Qur’an
tidak pernah mengemukakan solusi setiap permasalahan dengan jelas hanya
berbentuk isyarat, namun isyarat mengenai petunjuk bernegara dan pemerintahan
memiliki dasar fundamental dalam al-Qur’an. Isyarat tersebut dapat dilihat dari
adanya aturan yang mewajibkan untuk bermusyawarah. Karena musyawarah merupakan
salah satu nilai etika politik yang konstitusional dalam kehidupan bernegara, tentang
prinsip syura pun terdapat dalam al-Qur’an.
Terdapat tiga ayat dalam al-Qur’an yang berisi
tentang anjuran untuk melakukan musyarawah guna mencapai sebuah keputusan. Walaupun
ketiga ayat tersebut dari latar belakang yang berbeda-beda.
Ayat pertama terdapat pada surah Ali-Imran ayat
159 yang berbunyi: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah
mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya‛.
(Surah Ali-Imran: 159).
Ayat pertama ini menjelaskan bahwa menjadikan
urusan diantara kaum muslim diselesaikan dengan cara musyawarah dengan strategi
bagaimana menciptakan suatu lingkungan masyarakat yang menjadi harapan bersama
secara ideal dan harmonis.
Ayat ini dari segi redaksional ditunjukkan
kepada Nabi Muhammad saw, agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu
dengan sahabat atau anggota masyarakatnya. Karena itu ayat ini juga merupakan petunjuk
kepada setiap muslim dan kepada setiap pemimpin agar musyawarah dengan
anggotanya dijadikan sebagai suatu keharusan dalam memutuskan sesuatu untuk
kepentingan umat termasuk dalam masalahmasalah politik yang sedang mereka
hadapi.
Al-Maraghi juga menjelaskan mengenai ayat 159
yang terdapat dalam surah Ali-Imran itu merupakan perintah kepada Nabi Muhammad
untuk berpegang teguh kepadanya. Karena itu Nabi Muhammad tetap melakukan
musyawarah seperti sebelumnya walau dalam keadaan kritis.
Kalau Nabi sebagai orang yang maksum (jauh dari pengaruh hawa nafsu), diperintahkan untuk bermusyawarah
dalam urusan umat, maka bagi umat yang lain sebagai manusia biasa yang tidak
maksum lebih-lebih lagi harus melakukannya. Adapun ayat yang kedua
terdapat pada surah Al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada
para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut
kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena
anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban
demikian. Apabila keduanya ingi menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan
keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu
ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.‛ (Q.S
al-Baqarah ayat: 233).
Ayat kedua ini menjelaskan hubungan rumah
tangga bahwa masa penyusuan dua tahun, apabila suami, istri ingin menyapih anak
mereka atas dasar kerelaan dan musyawarah, dengan maksud kemaslahatan anak, mereka
sepakat menghentikan susuan ataupun menyapih sebelum sampai dua tahun, hal ini
boleh saja dilakukan. Adapun yang ketiga terdapat dalam Asy-Syura ayat 38 yang
berbunyi: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara
mereka, dan mereka menafkahkan sebagaian dari rezeki yang kami berikan kepada mereka‛.
(Q.S Asy-Syura ayat 38).
Ayat ketiga ini menjelaskan sifat-sifat orang
mukmin yaitu mereka menerima (mematuhi) perintah tuhannya, mendirikan shalat,
dan menunaikan zakat, dan dalam menyelesaikan urusan mereka diselesaikan dengan
cara musyawarah.
Sepintas terkesan bahwa ayat yang berbicara
tentang musyawarah sangat sedikit dan itu pun hanya bersifat sangat umum dan
global. al-Qur’an memang tidak membicarakan masalah ini lebih jauh dan detail. Dilihat
secara mendalam, hikmahnya tentu besar sekali. al-Qur’an hanya memberikan
seperangkat nilai-nilai yang bersifat universal yang harus diikuti umat Islam.
Sementara cara, sistem, bentuk dan hal-hal lainnya yang bersifat teknis
diserahkan sepenuhnya kepada manusia sesuai dengan kebutuhan mereka dan
tantangan yang mereka hadapi. Jadi al-Qur’an menganut prinsip bahwa untuk
masalah-masalah yang bias berkembang sesuai dengan kondisi sosial, budaya,
ekonomi dan politik umat Islam, maka al-Qur’an hanya menetapkan garis-garis
besarnya saja.
Bagi umat Islam as-Sunah atau Hadis merupakan
landasan kedua setelah al-Qur’an. Maksud dari as-Sunah disini adalah sesuatu
yang bersumber dari Rasullah saw baik itu berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Dari Abi Hurairah r.a ia berkata: “menceritakan dari Uyainah, dari Zurhi
berkata: Abu Hurairah berkata: ‚Saya (Abu Hurairah) tidak melihat seorangpun yang
lebih banyak musyawarahnya dari pada Raullah saw terhadap para sahabatnya‛.
Rasulullah pun pernah mengatakan kembali: “Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakar telah menceritakan kepada kami Yahya bin
Zakariya` bin Abu Za`idah dan Ali bin Hasyim dari Ibnu Abu Laila dari Abu Az
Zubair dari Jabir dia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
bersabda: "Apabila salah seorang dari kalian meminta nasehat kepada saudaranya,
hendaklah ia menunjukkan jalan yang benar."
Hadis diatas menerangkan dan menyerukan betapa
pentingnya bermusyawarah atau menolong seseorang dalam menyelesaikan berbagai macam
persoalan baik tentang persoalan dunia maupun akhirat. Karena dengan cara
bermusyawarah dapat memudahkan seorang untuk keluar dari permasalahan yang
terdapat pada dirinya.
Rujukan:
Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah (Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam), (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001),
M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1996),
M Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Cet Ke- 3 (Jakarta: Kencana,2003),
Artani Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001),
Mahmud Abd Al-Majid Al-Khalidi, Analisis Delik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2004)
Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Kalam Mulia, 1996.
Hadis Ibnu Majjah, penerjemah Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Juz II. (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
M Hasbi Amiruddin, Konsep Negara Islam Menurut Fazlur Rahman, (Yogyakarta: UII Press, 2000),
Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat Dalam Rambu-Rambu Syariah, Cet Ke- 3 (Jakarta: Kencana,2003),
Artani Hasbi, Musyawarah Dan Demokrasi, (Ciputat: Gaya Media Pratama, 2001),
Mahmud Abd Al-Majid Al-Khalidi, Analisis Delik Kaidah Pokok Sistem Pemerintahan Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2004)
Zul Asyri, Pelaksanaan Musyawarah Dalam Pemerintahan Khulafaur Rasyidin, (Jakarta: Kalam Mulia, 1996.
Hadis Ibnu Majjah, penerjemah Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Juz II. (Beirut: Dar al-Fikr, tt).